20. Change position

2.7K 119 6
                                    

Dan Leah berakhir di dalam kamar Ben dengan sapu di tangannya. Jujur saja Leah masih memikirkan jawabannya sebelumnya. Karena kali ini dia membantu, bukan dibantu, artinya dia tidak perlu mencium Ben. Yah, untuk kali ini ucapan pria itu bisa dia pegang.

Berada di dalam kamar Benjamin untuk pertama kalinya membuatnya secara alami mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan. Kamar pria itu tidak memiliki banyak aksesori ruangan bahkan tidak ada sama sekali poster di dinding seperti kamar para pria pada umumnya. Tanpa banyak membuang waktu Leah segera melakukan tugasnya, hanya menyapu dan mengemasi tempat tidur pria itu.

Benjamin memiliki kasur yang lumayan besar dari milik Leah. Dia juga memiliki lemari dan rak pajangan seperti di kamar Leah jadi Leah tidak terlalu peduli dengan itu. Namun yang menarik perhatian Leah sepanjang dia berkemas adalah meja komputer Benjamin. Di meja panjang itu terdapat 3 monitor dan kursi gaming atau content creator.

Sambil melipat selimut, Leah baru menyadari ini. Selama dia tinggal bersama Benjamin, dia sama sekali tidak tahu apa pekerjaan pria itu dan apa yang dilakukannya. Leah tidak pernah melihat Benjamin sibuk menyiapkan dirinya pagi-pagi sekali untuk berangkat kerja. Saat siang hari Leah kembali dari mengajar di sekolah juga Benjamin masih berada di rumah dengan pakaian rumahannya. Begitu juga malam. Yang Leah ketahui hanya di saat pria ini mengurung dirinya di dalam kamar, itu akan memakan waktu 4 hingga 5 jam sebelum keluar untuk makan dan kembali lagi mengurung dirinya. Pernah juga sesekali dia akan pergi keluar dengan pakaian rapi namun di jam yang tidak tentu.

Melihat jumlah monitornya sebanyak ini membuat Leah menarik kesimpulan bahwa Benjamin bekerja dari rumah.

Karena aktivitas beres-beresnya sudah selesai, dia melirik ke arah pintu yang terbuka sejenak sebelum berjalan menuju kursi tersebut. Benjamin pasti masih di luar, pikirnya. Dia duduk sambil menyandarkan punggungnya dengan nyaman. Saking nyamannya, dia sampai mengerang.

“Coba saja kursi guru juga seperti ini di sekolah ….” Leah membuka matanya. “Apakah Ben seorang pro player?

“Bukan.”

Suara Ben yang muncul tiba-tiba di belakangnya membuat Leah melompat dari kursi dan menjerit kaget. 

“Astaganaga! Oh Tuhan. Aku kira hantu ….” Leah menyentuh dadanya yang hampir copot. “Sejak kapan Anda kembali?!”

“Baru saja,” Ben menjawab.

Leah melirik ke sembarang arah karena malu dengan perilakunya yang tidak sopan tadi. Namun karena hal itu dia tidak sengaja melihat sesuatu yang tidak asing di rak pajangan.

Sebuah mainan helikopter. 

Tanpa disuruh kaki Leah bergerak mendekati rak untuk melihat helikopter dari dekat. Dan dia melihat sebuah goresan panjang di bawahnya yang mana sebuah tanda yang sama dengan helikopter yang pernah jatuh di kakinya di depan sekolah di hari itu. 

Leah pun menoleh ke arah Ben. “Sejak kapan Anda memiliki ini?”

Pandangan mata Ben mengikuti arah tunjuk Leah. “Aku pikir sudah dua tahun lebih.”

Leah melirik helikopter mainan tersebut kembali lalu menatap Ben. “Apa Anda sering memainkan ini di taman bermain di bawah? Di taman di sebelah TK.”

Ben menganggukkan kepalanya dan Leah lekas mendekat.

“Anda bermain di sana?”

Sekali lagi Ben mengangguk. “Ya, seminggu sekali aku selalu ke taman untuk memainkannya. Kenapa?”

“Saya mengajar di sekolah itu!” seru Leah yang mendapat berita baru itu.

“Aku tahu,” ucap Ben menyebabkan Leah mengangkat alisnya.

“Anda tahu saya bekerja di sana?”

Ben mengangguk. “Aku sering melihatmu menunggu anak-anak dijemput orang tua mereka.”

Secara naluriah Leah bergerak mundur dengan sikap waspada. Pria ini sudah menyukainya sebelum Leah pindah kemari? “Jangan bilang karena itu Anda memberikan harga murah untuk kamar di sini.”

Melihat wajah datar Ben yang bertahan hingga akhir, membuat Leah tahu pikiran buruknya salah. Dan Leah menutupi sikap percaya dirinya dengan berdeham.

“Aku tidak peduli dengan orang yang tidak aku kenal. Tapi karena kamu tinggal di sini, adalah hal normal aku bisa mengenalimu di luar apartemen semenjak kedatanganmu.”

“Begitu ….” Leah melirik mainan helikopter lagi. Melihat bagaimana pria ini meletakkannya di tempat yang sangat baik, benda ini pasti sangat disayanginya. “Anda pasti menyukai mainan Anda.”

“Hmm. Itu hadiah.”

Hadiah dari seseorang, pastinya amat berharga.

“Kamu ingin memainkannya?” tanya Ben membuat Leah mengangkat alisnya bertanya. Jadi dia menambahkan sambil menunjuk mainan helikopter. “Itu.”

Sontak saja Leah menggeleng seraya tertawa kikuk. “Tidak, terima kasih.”

Dari bentuknya saja Leah sudah tahu barang itu pasti mahal. Jika Leah tidak sengaja merusaknya, bagaimana? Permintaan maaf saja mana bisa mengganti kerugiannya.

Leah juga masih ingat dengan sangat jelas di hari itu, hari di mana Ben merampas helikopter ini dari tangan Leah. Sudah dipastikan Ben bukan orang yang suka mainannya dimainkan orang lain. Leah mana mungkin berani memainkannya.

“Baguslah. Aku khawatir barang itu akan rusak jika kamu memainkannya.”

“…” Pria ini benar-benar ….

“Tapi aku bisa mengajarimu jika kamu mau.”

“Saya berjanji suatu hari saya akan mencobanya,” Leah berkata seraya mengatupkan gigi. Dia bersumpah, jika hari itu tiba, dia akan merusaknya tanpa mempedulikan ganti rugi. “Karena saya sudah selesai bersih-bersih di kamar Anda, saya akan per—”

Leah tiba-tiba berhenti berbicara ketika Benjamin mendekat lalu mencium bibir Leah.

Di momen yang mengejutkan tersebut, Leah membeku. Sebab, tidak hanya menempelkannya saja seperti yang biasanya Leah lakukan. Benjamin juga memperdalam ciumannya. Ini definisi dari syok dua kali lipat!

Ketika pria itu agak menjauh, Leah yang kepala dan pikirannya kosong mengerjapkan matanya beberapa kali. Dan dengan lambat pipinya mulai bersemu tipis.

“A-apa yang baru saja kau lakukan?!” Leah memekik sambil menutup mulutnya.

“Rasa terima kasihku.”

Jawaban polos Benjamin menyebabkan mulut Leah menganga. Rasa terima kasih katanya?

“Kamu sudah membantuku mengemasi kamarku, jadi aku berterima kasih.”

Wajah Leah berangsur-angsur menjadi merah padam. Jika Leah tahu bayaran karena tidak ingin berterima kasih pada Benjamin adalah posisi mereka yang dibalikkan, Leah tidak akan pernah ingin membantu pria ini sama sekali!

Benjamin memiringkan kepalanya bingung. “Kamu ingin aku berterima kasih sekali lagi?”

“DASAR BERENGSEK! AKU AKAN MELAPORKANMU KE TEMANKU! Huaaa, Esther ...!” teriak Leah ingin menangis sambil berlari keluar dari kamar Benjamin.

Mengusap sudut bibirnya, tatapan Benjamin yang biasanya datar berubah menjadi lembut.

*TBC*

Segini dulu ya. Besok lanjut update belasan chapter lagi sekalian revisi huehehe.
Jika kalian suka cerita Something About You jangan lupa klik bintang dan komen ya. Biar aku semangat:''

Enjoy reading, My Loves :*

Something About You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang