7. Got a new job

2.8K 126 4
                                    

Secara refleks Leah berdiri. “Pak Gabriel baru dari sekolah? Saya pikir Aurora sudah dijemput dari tadi.”

Leah berpikir seperti itu karena taman ini sangat dekat dengan sekolah.

“Saya sedang menemani anak saya bermain di sini. Karena saya tidak memiliki pekerjaan mendesak sampai sore, jadinya kami kemari setelah jam sekolah berakhir tadi.” Gabriel menunjuk Aurora yang sedang bermain perosotan dan barulah Leah menyadari kehadiran Aurora juga. “Dari jauh saya melihat Anda seperti orang yang saya kenali. Dan setelah kemari ternyata dugaan saya benar. Anda belum pulang, Bu Leah?”

Leah mengangkat kantong belanjaan yang masih berada di tangannya. “Saya mampir sebentar untuk membeli beberapa keperluan lalu bersantai di sini.”

“Begitu ternyata.” Gabriel kemudian memanggil anaknya, “Ara, kemari! Ada gurumu di sini.”

Anak perempuan yang sangat cantik dengan patuh berlari kecil mendekati ayahnya sebelum memeluk kaki ayahnya. Begitu menyadari ada guru yang dia kenali, dia segera menyapa Leah, “Siang, Bu Leah.”

“Siang juga, Aurora.” Setelah tersenyum pada Aurora, Leah kemudian menatap Gabriel. “Sudah waktunya saya pulang. Maaf, Pak Gabriel, saya telah mengganggu waktu Anda dan Aurora.”

“Itu bukan masalah sama sekali. Tolong jangan minta maaf. Kebetulan kami juga ingin kembali ke tempat kerja saya sekarang. Saya bisa mengantar Anda ju—”

Sebelum Gabriel bisa menyelesaikan ucapannya, Leah sudah menggelengkan kepalanya. “Oh tidak perlu, Pak. Tempat tinggal saya cukup dekat dari sini. Itu di sana.”

Melihat bangunan yang ditunjuk Leah, Gabriel kemudian tersenyum tipis. “Sangat dekat ternyata, kalau begitu jika saya main ke sana juga tidak masalah bukan?”

“Apa?” Leah menatap Gabriel dengan mata besarnya membuat Gabriel terkekeh menawan.

“Saya hanya bercanda.”

“… Oh.” Leah dengan cepat menunduk malu.

Gabriel menatap puncak kepala Leah sedikit lama. Dia kemudian membersihkan tenggorokannya sebelum bertanya, “Bu Leah, apa Anda memiliki kenalan yang bisa mengajar les anak TK?”

Lirikan mata Leah naik ke atas untuk menatap Gabriel.

“Guru les Ara berhenti bulan lalu karena melahirkan dan sampai sekarang saya masih mencari penggantinya. Jika Anda tahu, kabari saya.”

“Uhm, kalau Bapak tidak keberatan, saya bisa menjadi guru les Aurora. Maaf jika kurang sopan atau sikap saya buruk, tapi saya memang butuh pekerjaan tambahan.” Leah memberanikan dirinya untuk jujur dan setelah itu dia menjadi gugup.

“Sungguh? Itu lebih baik lagi. Dengan orang yang sudah saya kenali mengajar anak saya, saya tidak perlu merasa khawatir.”

Leah tergelak kaget sekaligus senang. Ternyata Gabriel setuju dengan pengajuan dirinya. 

“Jadi, Bu Leah kapan bisa mengajar?”

“Mulai hari ini juga saya bisa!”

Gabriel tersenyum dalam pada Leah. “Sangat baik. Saya tunggu sore ini.”

Leah menatap Gabriel yang bercahaya. Selain tampan, bukankah pria ini sangat baik? Leah curiga, Gabriel ini sebenarnya utusan Tuhan yang bertugas membantu umatnya.


“Tolong ketikkan nomor Anda agar saya bisa mengirim alamat rumah kami.”

***

Di dalam lift, Leah tidak berhenti menatap nomor kontak Gabriel di ponsel usangnya seraya tersenyum.

Setelah kesedihannya karena kehilangan salah satu pekerjaannya, dia diberi pekerjaan baru secepat yang tidak ia kira. Leah sampai berpikir kebaikan apa yang dia lakukan sebelumnya hingga mendapatkan keberkahan sangat cepat setelah tertimpa musibah?

Ponsel Leah bergetar ketika pintu lift terbuka. Leah mendesah pelan melihat nomor familiar namun tidak dia simpan. Dia menolak panggilan itu dan membuka mobile banking. Mungkin karena ingin menangis bahagia, Leah yang selalu merasa sedikit kesal tiap kali membuka mobile banking mulai bersenandung dengan senang.

Di dalam unit Benjamin sedang mencuci bekas piring kotornya. Mendengar suara pintu terbuka lalu Leah yang masuk dengan wajah bahagia, Benjamin tidak bisa tidak menatapnya.

“Siang,” Wanita itu dengan sopan menyapa Benjamin singkat sebelum bergerak ke lemari es.

Ben mengangguk singkat.

Sambil mengisi bahan makanan yang dia beli tadi, Leah sesekali melirik Ben yang sedang mengeringkan tangannya dengan handuk kecil. “Uhm, tentang tadi malam ....”

Ben menatapnya dan menunggu Leah menyelesaikan ucapannya.

“Maaf saya mengganggu Anda tadi malam. Malam itu saya memang butuh teman bicara dan karena sudah larut saya tidak nyaman menghubungi teman saya. Dan, terima kasih untuk dukungan Anda tadi malam. Anda cukup baik dan menenangkan saat menghibur orang lain.” Leah tersenyum.

Melihat senyum tulus Leah, Ben termenung untuk waktu yang lama dengan manik mata tampak hidup.

Leah yang melihat Ben melamun memanggilnya, “Pak Benjamin?”

Membersihkan tenggorokkannya, Ben mengalihkan tatapannya. “Saya senang melakukannya. Oh ya, tentang lowongan—”

“Saya sudah mendapatkannya!” Leah berseru dengan semangat.

“... Sudah?”

Leah mengangguk. “Ya, sudah. Orang tua salah satu anak murid saya mencari guru les, jadi saya mengajukan diri. Saya akan mulai mengajar sore ini juga. Benar kata Anda, Tuhan memberikan pekerjaan pengganti yang lebih baik. Akhirnya, jam malam saya kembali lagi. Omong-omong, Anda belum ke balkon, kan?” Leah bertanya karena kertas di sana sedikit miring.

Ben membutuhkan waktu sekitar 5 detik sebelum menggeleng pelan. “Kaki saya belum menginjak lantai balkon.”

Ben tidak berbohong. Kakinya masih berada di dalam unit saat menggeser pintu.

Leah menghela napas lega. “Betapa leganya. Tolong jangan ke sana dulu sampai beberapa jam lagi ya, Pak. Lalu saya akan kembali ke kamar saya. Permisi.”

Benjamin menatap Leah yang memasuki kamarnya dengan perasaan lebih baik dari malam sebelumnya. Setelah pintu itu tertutup, dia kemudian mengeluarkan ponselnya sambil menghela napas dan menghubungi seseorang. Setelah beberapa saat, seberang telepon pun mengangkat panggilannya.

“Ada apa? Kamu sudah merindukanku, Ben?” suara wanita itu terdengar ceria dan hidup.

“Mengenai lowongan yang aku tanyakan tadi pagi, temanku tidak jadi mengambilnya. Maaf.”

“Hanya itu? Aku kira apa. Yah tidak masalah. Jika dia membutuhkan pekerjaan, cari saja aku.”

“Hm.”

“Tapi kamu belum menjawab pertanyaan awalku. Apa kamu tidak merindukanku?”

Ben tersenyum tipis. “Tentu saja aku merindukanmu, Vi.”

Lama tidak mendengar suara di seberang telepon. Beberapa saat berikutnya terdengar suara decihan kesal.

“Curang. Sudahlah aku akan menutup panggilan ini. Oh aku hampir lupa, bulan depan aku akan kembali. Aku akan menemuimu.”

“Hm. Aku akan menunggumu.”

Melihat nama kontak Vivi di layar ponselnya, Benjamin mengusapnya sambil tersenyum.

Something About You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang