62. The Last Chapter

4K 129 20
                                    


Rambut Leah yang diurai ke belakang tampak halus dan berkilau. Dia menggunakan pakaian yang rapi berwarna merah muda lembut dengan beberapa perhiasan manis melekat di badannya. Bahkan kukunya diukir dan dihias dengan indah. Mengangkat sedikit kepalanya, wajah wanita itu tampak segar dan bersinar dengan riasan. Saravati bisa mengambil kesimpulan jika wanita ini bahagia.

Mengetahui bahwa ibunya menatapnya, Leah menoleh ke samping untuk membalas tatapan itu. Ketika Saravati menggerakkan tubuhnya untuk menghadapnya, dia pun melakukan hal yang sama.

"Kamu tampak baik-baik saja," ujar Saravati membuka pembicaraan, "Leah."

Ketika mendengar Saravati menyebutkan namanya, betapa menyenangkan rasanya. Seperti angin sepoi-sepoi di ladang penuh padi.

Leah ingin membalas kalimat yang sama namun kantung mata yang tebal di wajah ibunya membuat dia tidak merespons. Wajah kuyu dan tubuh yang semakin kurus. Leah masih ingat dengan jelas, ibunya tidak seperti ini ketika dia angkat kaki dari rumah. Apakah karena faktor usia?

"Aku dan Kania masih berjualan sayuran di pasar namun tidak sebaik dulu. Jualan kami selalu sepi dan penghasilan dari sayur hanya bisa untuk biaya makan di hari itu dan modal jualan besok harinya."

Apa uang kirimannya setiap bulan tidak cukup? pikir Leah.

"Tiga bulan setelah kepergianmu, Kania mengetahui jika Adri ternyata sudah beristri dan memiliki anak yang baru dilahirkan. Dia menceritakannya kepadaku."

Sontak saja Leah tersentak kaget dan menatap ibunya tanpa bisa berkata-kata. Ibu tahu kebohongan Adri? Jika dia tahu secepat itu lalu ... kenapa ....

"Dia menangis sepanjang waktu, menyesali keputusannya yang lebih memilih mempercayai mantan suaminya dibandingkan adik kandungnya sendiri. Begitu juga aku .... Aku merasa sudah gagal menjadi seorang ibu." Suara Saravati terdengar bergetar namun samar. Dia membasahi bibirnya. "Kami ingin menghubungimu dan menyuruhmu kembali— tidak, kami ingin menemuimu dan meminta maaf lalu mengajakmu kembali tapi kami sangat malu. Kami begitu malu untuk menemuimu karena selain apa yang telah kami lakukan padamu, kamu juga mengirimkan uang untuk kami berdua. Itu ... benar-benar membuatku merasa amat bersalah."

Saravati menatapnya dengan mata memerah. "Aku tidak menyuruhmu untuk mengirimkan uang, kenapa kamu melakukan itu?"

"... Aku hanya ingin melakukannya," jawab Leah jujur membuat Saravati terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya.

"Bagaimana bisa kamu tetap sebaik itu .... Apa kamu lupa? Aku tidak mempercayaimu, aku menatapmu jijik, aku marah padamu, aku bahkan mengusirmu. Seharusnya kamu membenci kami bukannya mengkhawatirkan kami," ujar Saravati getir.

Leah sedikit menunduk dan tersenyum simpul. "Entahlah. Aku hanya mengikuti naluriku saja. Kalian juga korban sama sepertiku, hanya bedanya kalian memakan mentah-mentah kebohongan pria itu."

Saravati mengepal tangannya kuat lalu mengeluarkan sebuah kartu ATM dari dalam saku bajunya. Dia mengulurkan tangannya ke Leah yang bingung. "Aku dan Kania tidak berani menggunakan uangmu. Jadi, kami menyimpan semuanya di sini. Ambillah."

"Apa? Tapi bukankah tadi bilang ...." Leah kembali terkejut. Mereka kesulitan tapi tidak mau menggunakannya?

"Kamu bersedih selama bertahun-tahun karena kami tidak mempercayaimu, bagaimana bisa kami hidup bahagia dengan uang pemberianmu?"

"Tapi aku tidak masalah dengan itu," gumam Leah pelan.

"Aku tahu betapa tidak tahu malunya aku kemari setelah apa yang terjadi padamu selama ini. Tetapi setelah mengetahuinya sepuluh tahun yang lalu, aku benar-benar tidak bisa menemuimu karena ... sangat takut. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan jika bertemu denganmu, mungkin saja kamu tidak mau mendengar permintaan maaf dan mengusir kami seperti yang aku lakukan padamu. Dan setelah melihat persidangan tadi, perasaan kami menjadi semakin bersalah. Aku sungguh tidak tahu jika selama ini keparat itu memanfaatkanmu. Sungguh, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri karena menjadi penyebab kamu menderita selama ini. Tolong terima kartu ini."

Kami?

Tepat saat itu, seseorang hadir mendekati mereka dari belakang Saravati. Dan Leah mengenali itu adalah Kania, kakaknya. Wanita itu tampak tidak jauh beda dengan ibu mereka. Mereka kelihatan kelelahan dan kuyu.

Kania menunduk sedih dan berbisik pelan, "Maaf, Leah, karena tidak mempercayaimu."

Leah kemudian melirik tangan Saravati yang masih terulur tanpa kenal lelah. Jari-jari ibunya tampak kasar dan kotor.

Selang beberapa saat terdiam, Leah kemudian berkata, "... Aku tidak membutuhkannya."

Saravati mulai lesu. Dia tahu seseorang tidak akan melupakan semua penderitaan yang dialaminya selama itu dalam sekejap mata. Tentu saja dendam selama bertahun-tahun itu menumpuk dan perlu dibalaskan kepada mereka berdua.

"Kalian lebih membutuhkannya. Pergunakanlah dengan baik," lanjut Leah dengan suara lembut.

Saravati membuka matanya cepat sedangkan Kania menatap Leah lebih dulu kemudian disusul dia. Bibir Leah membentuk senyum tipis ketika menatapnya.

"Bu, mulai sekarang jangan merasa bersalah lagi. Kamu juga, Kak. Aku sudah bahagia sekarang, tidak menderita lagi."

"Leah ...." Bibir Kania bergetar. Tangannya mengepal erat.

Tangan Saravati yang masih menggenggam kartu ATM, menggenggamnya sangat kuat hingga bergetar. Dia menggigit bibirnya sebelum menarik napas. "Aku tidak akan meminta maaf. Apa pun yang terjadi, sebahagia apa pun kamu ... jangan pernah memaafkanku. Jangan pernah ...."

Kania menitikkan air matanya melihat kepedihan ibu mereka. Dia segera membuang wajahnya merasa tidak kuat.

Tanpa salam perpisahan yang lebih baik, Saravati kemudian berbalik dan berjalan menjauh bersama Kania.

Dan Leah yang melihat kepergian mereka mulai berseru agak nyaring, "Aku sudah bahagia sekarang, jadi ... tidak perlu mengkhawatirkanku! Dan berbahagialah!"

Deg!

Saravati berhenti melangkah. Tangannya mengepal kartu ATM semakin kuat. Sedangkan Kania menoleh ke belakang menatap adiknya.

Leah tersenyum manis. "Jika ... jika kalian merindukanku, datanglah ke tempat tinggalku kapan pun."

"Leah ...," gumam Kania.

"Kania," panggil Saravati, "ayo."

Leah menyaksikan mereka berdua kembali berjalan. Punggung ibunya tidak lagi tegap. Dari tempatnya dia bisa melihat wanita tua itu mengusap air matanya beberapa kali. Dia berharap pertemuan mereka berikutnya, Saravati dan Kania berubah lebih baik dari hari ini.

"Sudah?"

Suara pria yang sudah dia kenali membuat Leah menoleh ke samping dan tersenyum lebar. Ben sudah berdiri di sebelahnya. "Apa aku naif?"

Tersenyum, Ben mengulurkan tangan kanan yang diterima Leah tanpa berpikir panjang. "Ya. Tapi kamu kelihatan keren. Aku sangat bangga pada kekasihku ini."

"Benarkah?" Berjalan berlawanan arah dengan Saravati dan Kania, Leah tertawa bersama Ben.

Kania sekali lagi menoleh ke belakang supaya bisa melihat adiknya. Namun, hal yang tak terduga membuat dia bergeming di tempatnya.

Saravati yang menyadari Kania berhenti segera menoleh. "Kania—" Melihat anak tertuanya yang termenung, dia berhenti bicara. Kemudian ikut menonton apa yang disaksikan Kania.

Di sana Leah sedang bergandengan tangan dengan seorang pria. Mereka tersenyum lebar bersama tanpa beban.

"Bu, aku merindukan senyuman Leah yang itu." Kania tersenyum dan menitikkan air matanya. "Dia benar, Bu. Dia bahagia ...."

Memejamkan matanya, Saravati ikut tersenyum. Dia melanjutkan perjalanannya dengan kali ini langkahnya sedikit lebih ringan.


*END*


Tinggalkan jejak dulu sebelum scroll :*

Something About You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang