Malam itu, Rine membawa Ashraf pulang. Tanpa kata-kata, hanya sentuhan lembut tangan mereka saling menggenggam, di dalam mobil yang melaju, Ashraf menyandarkan kepalanya di bahu Rine. Lelaki itu tertidur dengan lelap seolah dirinya sudah terjaga untuk waktu yang sangat lama. Hembusan napasnya terdengar teratur, setiap tarikannya begitu damai. Ashraf seperti baru merasakan ketenangan setelah sekian lama.
Sepanjang perjalanan mereka menuju rumah, Rine hanya memandang ke luar jendela. Beberapa kali ia menghapus air matanya yang membasahi pipi. Rine menangis dalam diam, ia hanya bisa melampiaskan rasa sesaknya dengan menggigit bibir dalamnya. Tangan Rine semakin erat menggenggam tangan Ashraf. Rasa bersalah, takut, khawatir, serta sedih bercampur menjadi satu. Kini, Rine tahu luka seperti apa yang selama ini Ashraf tutupi dari banyak orang.
***
Radar pandangan Rine seolah tidak mau terlepas dari Ashraf. Sejak bangun tidur, apapun yang Ashraf lakukan, kemana pun ia pergi: kamar, ruang kerja, kamar mandi, Rine tidak ingin melewatkannya. Instingnya seolah ingin terus mengawasi Ashraf. Meski begitu, Rine tidak mau terlihat terang-terangan mengawasinya, apalagi sampai Ashraf tahu. Dia tidak ingin membuat Ashraf merasa tak nyaman.
Di ruang tengah, Rine duduk di sofa seraya memegang buku. Alih-alih membacanya, perhatian Rine justru teralih ketika melihat Ashraf yang baru datang dari halaman belakang, ia lalu pergi menuju lantai dua. Dari sudut matanya Rine melihat lelaki itu menaiki tangga. Konsentrasi Rine seketika buyar saat mendengar ponselnya berdering.
"Halo, mom?"
"Rine, kamu sudah siap?"
Tubuh Rine menegak. Ia baru ingat akan sesuatu, pikirannya sepanjang hari ini sibuk terhadap hal lain sampai-sampai melupakannya.
"Astaga mom ... sebentar, aku siap-siap dulu ya." Ia segera melesat menuju kamarnya dan saat baru membuka pintu, Rine melihat Ashraf tengah bersiap-siap. Lelaki itu sudah berganti pakaian dan tengah memakai jaketnya.
"Kamu mau ke mana?" Tanya Rine membuat Ashraf menoleh.
"Aku mau ke rumah mamah. Ada orang yang mau beres-beres di sana."
Rine mengangguk-angguk. "Ee ... aku lupa kasih tau kamu, kalo hari ini kita diundang untuk datang ke acara amal yayasannya mommy. But no worries, aku dateng sendiri aja," ucap Rine dengan cepat.
Ashraf pun terdiam sejenak. "Are you sure?"
Senyum Rine mengembang. "Iya."
Ashraf mengangguk. "Sebentar," ia mengisyaratkan Rine untuk menunggu lalu keluar menuju ruang kerjanya. Sementara menunggu Ashraf, Rine berganti baju dan bersiap-siap. Ketika Rine sedang mengancingi blouse-nya, Ashraf muncul dan memberikan sebuah amplop. Rine mengecek isinya dan ternyata amplop tersebut berisi sebuah cek.
Ashraf meletakan tangannya di bahu Rine. Ia berkata, "Maaf aku nggak bisa nemenin kamu. Sampaikan salam aku buat orang tua kamu ya?" Lalu tangannya beralih mengusap pipi Rine.
Hal tersebut membuat Rine tersenyum lebar seraya mengangguk-angguk. "Kamu juga hati-hati. Kabarin aku kalau udah sampai atau ada sesuatu, please ...?" Rine memohon dengan tatapannya.
Ashraf menatap Rine sejenak kemudian mengangguk samar.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hot and Cold ✔
Romance18+ He's so cold and i'm burning. He's ice and i'm fire. ****** Florine Salim (called: Rine) Ashraf Danujaya (called: Ash) Keduanya memiliki kepribadian yang bertolak belakang. Jika Ashraf adalah es maka Florine merupakan api. Ashraf sangat dingin...