Chapter 40

4.7K 188 25
                                    

Di tepi ranjang, Rine duduk dengan tatapan kosong bagai tubuh yang kehilangan jiwa. Kelopak matanya membengkak akibat tangis yang tak henti-henti. Kantung matanya membesar karena jam tidurnya tidak sesuai. Malam-malam Rine terasa bagai penyiksaan. Kepalanya begitu berisik diisi oleh pikiran-pikiran buruknya. Batinnya begitu sakit karena penyesalannya yang begitu dalam.

Rine merasa benar-benar kehilangan kekuatannya. Pusat dunianya seolah hancur begitu saja. Tidak ada lagi yang dapat Rine lakukan selain memandangi potret pernikahan dirinya dengan Ashraf yang diabadikan dalam album foto.

***

Hari ke-125

To: Ashraf

Hai Ash, ini Rine.
Aku kembali lagi untuk menulis pesan.
Sudah 125 hari sejak kamu pergi.
Kata merelakan ternyata masih cukup asing untukku.
Sejak hari itu, aku masih belum bisa memaafkan diriku sendiri. Benakku selalu berandai-andai. Andai saja aku bisa datang lebih cepat, andai saja aku tidak pergi keluar untuk belanja, andai saja aku tau bagaimana perasaan kamu yang sesungguhnya. Andai saja aku bisa mencegahnya...

Ash ... bahkan sampai saat ini, rasa cintaku tidak berkurang sedikit pun. Aku masih tetap mencintai kamu, layaknya kamu ada di sisi aku. Seperti saat kita saling bersandar menikmati matahari tenggalam di Pantai Parangtritis. Seperti saat kita menikmati makan siang bersama di waktu istirahat kerja. Seperti saat kamu memasakkan sarapan untuk aku. Seperti saat kamu tidak pernah membiarkan aku sedikit pun jauh, dari Milan hingga Paris. Seperti saat pertama kalinya kita bertemu ... dan kamu menatapku dengan dingin di Restoran kala itu.

Ash ... doaku masih sama setiap harinya. Sejak kamu tidak lagi di sisiku, aku selalu berdoa kepada Tuhan, agar suatu saat nanti ... kita bisa dipertemukan lagi. Even in another life, I still want to be your wife.

————————————————————

Aku menatap Ashraf dari kejauhan. Dia sedang duduk menyendiri di bangku taman. Pandangannya selalu menatap langit setiap kali dia keluar dari kamarnya. Tubuhnya kian hari kian kurus, pipinya menirus, matanya juga semakin cekung, sorot matanya kosong. Dia hanya tubuh yang bernyawa namun seakan ditinggalkan oleh jiwanya.

Malam itu, aku memang berhasil menyelamatkan Ashraf yang berusaha mengakhiri hidupnya, namun tidak dengan jiwanya. Kondisi mental Ashraf hancur berantakan. Pasca dia sadar, Ashraf tidak lagi berbicara denganku atau dengan siapapun. Dia hanya diam, menatap sekilas dengan mata yang kosong lalu mengalihkan pandangannya. Dokter menyarankan agar Ashraf melakukan rehabilitasi psikososial dan sekarang, di sinilah dia berada. Sudah empat bulan Ashraf tinggal di panti rehabilitasi kejiwaan ini, aku terpaksa harus memilih keputusan yang sulit itu demi kebaikannya.

Aku masih berharap bisa melihat Ashraf seperti dulu lagi, ketika kami baru sama-sama mengenal, dia yang dingin namun sosoknya penuh perhatian dan peduli kepadaku.

Seperti janjiku kepada Ashraf, apapun yang terjadi aku tidak akan pernah meninggalkannya. Aku akan menunggu, hingga Ashraf kembali kepadaku.

***

Ellen, satu-satunya sahabatku kini sudah kembali ke Indonesia. Ternyata, hidupnya juga tidak luput dari masalah. Aku baru tahu bahwa sudah satu tahun ini keluarganya mengalami kebangkrutan. Ellen pun harus kembali ke Indonesia untuk mengurus keluarganya sekaligus menjadi tulang punggung, menggantikan ayahnya yang meninggal satu bulan yang lalu.

Kini, aku sedang bertemu dengannya di salah satu Cafe usai mengunjungi Ashraf. Meski Ellen memiliki kesan yang cuek, namun sebenarnya dia begitu peduli terhadap orang-orang di sekitarnya. Bahkan ketika dia sendiri sedang berjuang dengan masalah hidupnya, Ellen masih sempat menanyakan kondisiku serta menyempatkan waktu untuk bertemu denganku.

Hot and Cold ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang