03. biasa saja

164 23 7
                                    

2018

Setelah insiden Akila yang menitip roti kepada Aisha untuk Dava, beberapa orang mulai menggoda Dava dan menyebut namanya untuk disandingkan dengan Akila si Kakak kelas yang katanya mempunyai banyak mantan itu. Hingga Dava pun marah kepada Aisha yang menjadi tersangka bocornya informasi ini.

Aisha sih, biasa saja saat Dava marah-marah kepadanya, perempuan itu hanya menganggap angin lalu dan percaya jika Dava akan bersikap sama lagi, nanti.

Terbukti, baru saja beberapa jam lalu laki-laki itu marah-marah kepada Aisha, sekarang, Dava kembali memanggil Aisha dengan nada biasa saja, tidak seperti tadi yang terdengarkan menyeramkan untuk beberapa orang kecuali si keras kepala Aisha yang terlihat santai saja, padahal dia yang tadi membuat Dava marah, namun yang panas dinginnya orang-orang sekitar yang mendengar.

"Apa? mau marah lagi lo?" tantang Aisha, membuat Dava cengengesan, nggak jelas.

"Agak anjir juga ya si Dava-Aisha ini," celetuk Geza yang didengar Sonya dan Sisil.

Sisil mengangguk, tidak percaya jika sahabatnya itu memiliki mental sebaja itu, jika Sisil menjadi Aisha saat dimarahi Dava tadi, mungkin dia akan langsung mengadu ke guru, atau menangis keras.

"Gue kalo jadi si Aisha udah enggak mau lagi sih kenal sama yang namanya Dava," ujar Sonya diangguki Sisil, benar, dia juga. Apa Aisha tidak kesal dengan Dava yang tadi marah-marah di depan anak kelas?

Namun nampaknya, Aisha memang benar-benar tidak marah, dan mungkin saja dia—tidak menganggap marahnya seorang Dava itu nyata.

Karena Sisil kembali mendengar godaan Aisha kepada Dava yang masih berbunyi sama. 'Pacarnya Kak Akila lagi apa sih.' , atau menyebut nama Akila berkali-kali di dekat Dava yang nampaknya sangat sensitif dengan nama itu.

Gila.

Kembali lagi kepada Aisha yang sedang menyapukan lantai yang sangat kotor karena baru saja kelas ini melakukan kerajinan seni budaya menggunakan kertas lipat yang digunting berbagai macam bentuk dan semua puing-luing sobekan kertas itu menbuat ruangan ini sangat berantakan tidak jelas.

Sialnya lagi, Aisha petugas piket hari ini.

"Minjem pulpen."

"Ogah."

"Pelit, kuburan lo sempit."

"Bodo amat, enggak sudi gue minjemin pulpen suci gue sama orang penuh dosa kayak elo."

"Anying lo!"

Aisha tertawa, berhasil membuat Dava kesal, lagi. Lalu gadis dengan rok biru itu kembali menjalankan lagi kegiatannya yang tertunda.

Lalu tanpa izin, Dava berjalan, mulai membuka tempat pensil Aisha yang tergeletak di atas meja dan mencari pulpen yang sudah biasa dia pinjam, dengan seenaknya mengambil pulpen itu lalu kembali ke meja, karena kini Aisha sedang membereskan sampah kertas itu dan menyeroknya, memasukan kedalam tong yang ada di ujung kelas.

Aisha lalu melihat dari kaca, kegiatan di luar kelas tepatnya di lapangan, di sana—ada Ilham dan Leana yang sedang saling mengejar entah sedang memperebutkan apa.

"Woy Cil, tau enggak?"

"Apa?" tanya Aisha tidak minat mendengar pertanyaan Dava, hingga melihat sesuatu familiar di tangan Dava membuatnya kembali mengeluarkan suara keras.

"DAV—"

"Diem dulu, mau ngomong gue."

"Ngomong apa? paling juga enggak penting."

Dava menghentikan pergerakan tangannya dan melihat Aisha. "Kelas delapan gue enggak di sini lagi loh," ujar Dava membuat alis Aisha mengerut.

"Iyalah dodol, kelas delapan mah di atas enggak di sini."

TimelineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang