Aisha menatap kosong laptop menyala yang berada di atas meja, daritadi yang dilakukannya hanyalah diam ditambah suasana hening membuat Aisha merasa begitu hampa atas apa yang dia hadapi sekarang.
Air matanya kembali turun, mengingat masalah yang dia dapatkan di tempat kerja yang sialnya berdampingan dengan suatu hal kurang baik yang juga terjadi di kuliahannya.
Matanya masih saja menatap kosong dengan air yang semakin deras turun, perempuan itu bahkan tidak repot-repot mengusapnya membiarkan air itu turun dan membasahi pipi hingga jatuh membasahi baju.
Tidak ada isakan, maupun suara yang dikeluarkan, Aisha benar-benar menangis dalam diam seperti yang biasa dia lakukan.
Terkadang dia iri dengan orang-orang disekitarnya, masuk perguruan tinggi negri, nge kos dan bersenang-senang tanpa memikirkan biaya, mempunyai banyak waktu luang untuk menikmati masa muda—rasanya menangis seperti ini selalu membuat pikirannya merambat memikirkan banyak hal yang menyakitkan.
Entah sampai kapan dia akan tahan dengan segala hal yang terjadi belakangan.
Dia rindu masa-masa terbaiknya, saat dia hanya perlu pergi ke sekolah, pulang jam dua siang dan memakan makanan sore yang sudah disiapkan ibunya, bermain dengan teman sebaya tanpa merasakan rendah diri karena saat itu mereka masih sama atau bahkan mengerjakan tugas sederhana yang dulu dia kira menyebalkan itu jelas jauh lebih baik dengan keadaan yang sekarang dia dapatkan.
Saat masih sekolah dulu, tidak ada satupun orang dewasa yang memberi tahu dia tentang hidup yang sebenarnya hingga Aisha merasakan semuanya secara tiba-tiba. Begitu keluar dari SMA, Aisha merasa dia hilang arah, kebingungan luar biasa datang menghancurkan segala rencana sempurna yang akhirnya tidak dapat terealisasikan dengan baik.
Takdir memang tidak ada yang tahu, Aisha sendiri tidak pernah menyangka jika dia akan pergi sejauh ini sendirian, jauh dari keluarga, keluar dari zona nyamannya, dituntut harus bisa mengerjakan semuanya, bahkan dia masih mengingat betapa malasnya dia hanya untuk menggerakan sapu untuk membersihkan lantai, namun lihat lah Aisha sekarang.
Dia berdiri di kakinya sendiri.
Namun kali ini, Aisha sedang—lelah. Dia muak.
Kepada semuanya, siapa di sini yang salah?
Dia ingin pulang, menangis seperti anak kecil dan berlaku lagi seperti anak sekolahan yang sempurna.
Dia ingin pulang.
Namun dia terlalu jauh untuk itu.
Tok Tok Tok ....
Hingga suara pintu yang terketuk membuat Aisha bingung dengan keadaan dan—apa yang harus dilakukannya?
Membuka pintu itu dan memperlihatkan seberapa kacau dia, atau diam saja tanpa menjawab seolah memberi kode pengusiran halus?
"Aisha, ini saya Alvian ..."
Aisha masih tidak menjawab, dia sedang berperang dengan pikirannya sendiri tentang apa yang harus dilakukannya sekarang.
"You okayy?" tanya Alvian yang masih tidak juga mendapatkan jawaban.
"That's okay, I'll be here, for you."
"Everything will be alright."
Ungkapnya seolah tahu apa yang sedang Aisha sembunyikan.
Sekaligus menjadi kalimat penenang pertama yang dia dengar dari orang lain.
Karena selama ini, Aisha hanya bisa mendengar kalimat itu dari hatinya sendiri, tidak pernah ada yang menyakinkan dia seperti yang Alvian lakukan kali ini.
...
Ini sudah menjadi hari ke tiga Aisha di kampung halaman. Wajah cerahnya terus dia perlihatkan merasa sekarang adalah waktu yang baik saat dia bisa kembali berkumpul bersama keluarganya setelah melewati beberapa bulan yang penuh tantangan kemarin.
Setelah drama nangis dan ditenangkan oleh Alvian hari itu, Aisha menjalani hari-harinya dengan baik. Masalah pun perlahan bisa dia lewati hingga sampai lah Aisha di musim liburan, dan memanfaatkannya sebaik mungkin hingga tidak berpikir banyak untuk pulang sesuai yang dia inginkan akhir-akhir itu.
Aisha yang sedang berdebat kecil dengan adik bungsunya menghentika gerakan tangannya saat seorang laki-laki yang dia tidak kenali tiba-tiba berhenti di depan rumah.
"Maaf, tau rumahnya Aisha Dek?"
Aisha mengerutkan alisnya kemudia menunjuk dirinya sendiri. "Saya Pak, ada apa ya?"
"Oh, kamu Aisha toh Dek, ini ada yang minta saya bagiin undangan."
Selembar undangan kemudian Aisha terima masih dengan raut bingungnya, matanya kemudian membelalak membaca nama yang tertera.
"Fierra itu Pak, ini Fierra temen saya?"
"Loh, Mbak Fierra tuh temen kamu? kirain kamu masih SMA Dek," ujarnya membuat Aisha tersenyum ragu.
"Temen saya ini Pak, dari SD sampe SMP. seangkatan."
"Oh gitu, yasudah jangan lupa dateng loh, saya pamit."
"Iya, terimakasih Pak."
Aisha masih dengan raut terkejutnya membuks lembaran undangan hitam bercorak keemasan itu, matanya membaca secara perlahan hingga menyadari jika acara ini akan berlangsung dua hari lagi.
"Undangan dari siapa Sha?" tanya mama Aisha yang ikut duduk di samping anak sulungnya.
"Fierra Ma, inget enggak?"
Undangan yang berada di tangan Aisha kini sudah berpindah menjadi di tangan mamanya yang ikut membaca. "Fierra yang bareng-bareng sama kamu sama Yola itu?"
"Iya Ma! enggak nyangka banget nggak sih, aduh takut bangett, aku belum siap dewasaa," ujar Aisha sedikit merengek, merasa takut saat akhirnya dia mulai mendapatkan undangan pernikahan dari teman seangkatannya.
"Kamu ini, harus di siap-siapin dong, udah sana makan dulu."
Aisha tidak bisa makan dengan lahap mengingat dua hari lagi dia akan pergi ke pesta sahabatnya itu. Meskipun mereka memang sudah lama tidak berkabaran, Aisha jelas akan datang untuk menghargai Fierra, ingat bagaimana dekatnya mereka dulu, akan sangat canggung jika Aisha milih skip ditambah lagi sekarang secara kebetulan dia berada di kampung halamannya.
Namun yang menjadi ketakutannya sekarang adalah: dia belum siap bertemu orang itu.
Dengan apa yang akan terjadi nantinya, Aisha merasa akan sangat canggung.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Timeline
Teen Fiction[𝐞𝐧𝐝] Tentang Aisha Pricilla dan sesuatu di masa lalu yang belum usai. Aisha merasakan perasaan yang tidak dia harapkan, bagaimana bisa dia secara tiba-tiba menyukai orang yang berada di masa lalunya. Mereka sudah lama tidak bertemu, namun deta...