31. jadi siapa?

22 4 0
                                    

Aisha kini sedang menatap lelah teman kerjanya yang sedang menjelaskan kesalahan yang dilimpahkan kepadanya, padahal Aisha jelas tahu dan sadar jika yang salah disini bukan hanya dirinya namun karena sekarang Aisha merasa terlalu malas untuk berdebat dan membuat keributan, maka yang dilakukannya hanyalah menganggukan kepala, seolah menjadi robot yang penurut.

Aisha akan membenarkan segala ucapann lawan bicaranya ini karena malas berdebat bahkan jika orang ini berkata hujan turun dari gunung Aisha akan mempercayainya saja—supaya semua lebih cepat.

"Ada apa ini?" hingga kedatangan Alvian datang, membuat orang yang tadi nyerocos panjang itu akhirnya berhenti berbicara dan mulai memperlihatkan wajah kalutnya.

"Ini Pak, Aisha—"

"Apa salah dia sampe kamu bentak dia di depan umum seperti ini Desi? udah ngerasa punya jabatan lebih tinggi padahal kalian setara? apa yang buat kamu berani bertindak seperti ini, coba jawab saya."

Oh, Alvian ini memang tegas, dan ketegasan bicaranya itu tidak memerlukan nada tinggi. Berbicara pelan seperti ini pun sudah berhasil menaikan ketegangan dalam ruangan ini. Terlebih Desi, perempuan yang umurnya sudah mencapai dua puluh lima tahun itu memegangi kertas dengan gemetar, wajahnya menunduk dengan warna pucat pasi, menunjukan seberapa takut dan tertekannya wanita itu bahkan hanya dengan mendengar ucapan penuh penekanan yang Alvian layangkan tanpa sedikitpun nada tinggi.

"Kenapa hanya diam Desi Ayu? ayo sebutkan alasan kamu, saya mau dengar."

Tak kunjung mendapatkan jawaban, Alvian akhirnya membubarkan kerumunan karyawan dan membiarkan mereka kembali mengerjakan pekerjaannya. Aisha yang mendaftar dengan ijazah SMA jelas belum mempunyai jabatan apapun, dia hanya— entah apa disebutnya namun Aisha ingin segera lulus supaya dia bisa mendapatkan jenjang karir yang lebih jelas dari pada sekarang.

"Desi Ayu, harap ke ruangan saya. Saya tunggu lima menit," ujar Alvian sebelum benar-benar berjalan meninggalkan tempat ini untuk pergi ke ruangannya sendiri. 

Aisha mengeluarkan napasnya legas setelah beberapa saat dia merasa udara sangat terbatas karena tegangnya ruangan, dia kemudian berjalan kembali ke tempat dimana biasa dia menghabiskan waktu.

"Gila sih Pak Alvian tuh emang enggak main-main, tegas banget cuy."

"Si Desi sih malu kata gue, udah tau salah, malah nyalahin orang, mampus sih sekarang pasti lagi dimarahin tuh."

"Alah orang kayak gitu mah pantes kali dimarahin juga, makin lama makin seenaknya, ngerasa paling senior gara-gara udah tua kali ya."

Ungkapan seperti itu seolah menjadi suara pengiring Aisha yang berjalan sendirian. Rasanya kepalanya semakin berdenyut sakit dengan masalah tak terduga ini.

Rasanya dia semakin tidak kuat.

"Aisha, lo pucat banget, sakit?"

Aisha yang tadinya sedang memegangi kepala mendonggak, menemukan salah satu teman kerjanya memegangi pundaknya dengan raut khawatir.

"Eh, enggak kok Kak. Cuma agak pusing dikit."

"Mau pulang aja?"

"Hah?"

"Gimana, mau pulang aja, biar gue anterin. "

"Enggak usah Kak, nanggung bentar lagi juga pulang kok, gue masih kuat. Aman."

Perempuan itu menatap Aisha penuh ragu, kekhawatiran masih bisa terlihat di matanya, membuat Aisha diam-diam merasa hangat, menyadari jika ada orang yang peduli kepadanya. "Beneran?"

"Iya Kakk, makasi ya."

"Iya santai ih, kayak sama siapa aja. Kalo gitu gue ke atas dulu ya, masih ada kerjaan. Lo jangan terlalu maksain, kalo cape istirahat oke?"

TimelineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang