7.5. Prasangka

23 4 2
                                    

Aku sedikit menampakkan ekspresi syok di depannya yang baru saja mengatakan sesuatu. Bagiku, kalimat yang diutarakan itu sangatlah erat kaitannya dengan Reindra. Kurasa dia ini termasuk orang yang blak-blak'kan. Raut wajah itu juga tak setengah-setengah setelah mendengar pernyataanku tentang sekelas dengan Reindra. Namun di sisi lain, aku nampak sedikit tidak terima dengan apa yang Theresia katakan. Aku seketika terdiam seribu kata dan mencoba memikir suatu alasan.

Yaaa ....

Suatu alasan di balik perasaan yang sedari dulu tak pernah kubuka kepada siapapun. Tapi, terbuka begitu saja karena sikap dari dirinya yang kini kusukai.

Di pikiranku saat ini, Reindra hanyalah seorang teman kelas yang kusukai. Dilihat dari caranya bersosialisasi sangatlah biasa, apalagi interaksi dengan seseorang yang baru saja dia kenal.

Selain itu, bagiku dia hanya lelaki biasa yang suka mengkhayal. Tapi, terkadang bisa menjadi seseorang yang puitis. Hanya saja, belakangan ini dia tidak pernah menampilkan sisi puitisnya itu.

Dia adalah lelaki pertama yang kukenal di kelas ini. Dirinya yang dulu tak sedingin yang sekarang. Dulu Reindra sangatlah perhatian kepadaku dan akrab sekali jika berbicara denganku.

Namun, aku tak mengerti sama sekali. Apa yang menyebabkan lelaki itu hingga kini bersifat seperti itu kepadaku. Meskipun, Reindra sama sekali tak pernah bersikap buruk kepadaku. Dia selalu saja menghindar. Sikapnya itu kadang membuatku tak bisa melupakan perasaan ini.

Sebuah fakta yang baru kusadari. Reindra ini sebenarnya terkenal hingga ke kelas lain. Dulunya aku pernah mendengar rumor ini dari beberapa temanku. Namun, aku tidak mempedulikan hal tersebut. Karena aku sendiri waktu itu hanya menganggap dia sebagai orang yang suka mengkhayal dan baik kepada siapapun, terutama seorang gadis.

Hal yang tak kumengerti hanyalah apa yang menyebabkan dirinya menjadi bersikap dingin kepadaku. Bahkan sebelumnya, aku kerap menggangap dia itu suka mencari-cari perhatian dariku. Namun, waktu itu mungkin saja aku yang tak terlalu menghiraukannya.

Padahal dia sendiri yang membuat hatiku terbuka setelah sekian lama tertutup sedari Sekolah Menengah Pertama. Hingga aku benar-benar menaruh perasaan kepadanya. Namun, dia malah perlahan-lahan semakin menjauh dariku.

Walaupun aku tetap bertahan memberi perhatian kepadanya, serasa masih tak sanggup mengartikan sikap itu.

Meskipun kudengar dia mendapatkan kenalan seorang gadis manis berkat karya tulisnya.

Meskipun kudengar tentangnya saat ini banyak mempunyai janji dengan seseorang.

Aku jadi meragu kepadanya dan terasa berat ungkapkan cinta, padahal awalnya kumerasakan perhatiannya. Sehingga kurasa aku memberikan sebuah kesempatan kepada yang lain untuk mendekati dirinya.

Belum lagi, aku merasa bimbang mengenai David yang belakangan ini selalu saja perhatian kepadaku. Padahal awalnya ada kerenggangan antara hubunganku dengan lelaki tersebut. Namun, apa alasan dia selalu saja memberikan perhatian kepadaku?

Mungkin bisa aku kesampingkan dulu mengenai David, karena aku masih lebih penasaran dengan gadis yang diajak ketemuan oleh Reindra dan ucapan dari Theresia ini.

Aku sempat berpikir apa yang dia katakan itu, mungkin saja ada hubungannya yang dilakukan Reindra waktu itu. Aku memberanikan diri menjawab perkataannya, karena kesal saja sih mendengar pengakuan seperti itu secara cepat padahal kita baru saja berkenalan. Aku mencoba memikirkan apa yang seharusnya kubalas atas perkataannya itu.

Jika kulihat lebih serius, sikapnya sih seperti malu-malu dan itu membuatku kesal. Karena aku sendiri yang bisa dibilang sering bersikap begitu di depan Reindra saja belum tentu mendapatkan respon yang kuinginkan.

Kucoba membalas perkataannya, "Hah? A ... a-apa yang kamu katakan tadi?"

Heh ... kenapa aku yang malah terbata-bata?

"Eh gak ada kok ...," balas Theresia melihat ke arah lain dan tetap terlihat malu.

Aku mulai serius, "Tapi aku dengar kamu suka sama dia kan ...."

"Eh ... tadi aku kurang lengkap berbicara, yaa?" Seketika dia melihatku dan ekspresi wajahnya berubah seratus delapan puluh derajat menjadi bingung serta keheranan.

Kupikir dia rada gugup kalau berbicara. Yaa ... sama sepertiku sih sebenarnya.

"Tadi kamu cuma bilang sebenarnya cuma suka sih," jelasku kembali.

"Maksudnya tuh, aku suka aja sih sama cerita yang dia buat ...," ucapnya tersenyum mencoba menepis rasa malu.

Sesuai perkiraanku jika yang dikatakan dia itu, mirip dengan isi pesan Reindra. Aku mulai memejamkan mata dan memikirkannya.

Astaga ....

Sayangnya aku lupa siapa nama pengirim pesan itu. Ingatanku samar sekali, yang kuingat hanyalah inisial pengirim, yaitu A. Namun Inisial itu tidak cocok dengan Theresia, atau A itu mengacu pada nama belakangnya?

"Diana?" panggil Theresia.

"Ah iya? kenapa?" sahutku membuka mata dan menatapnya kembali.

"Kenapa diam-diam aja?" tanya Theresia heran.

Aku mencoba mencari-cari alasan, "Yaa ... kalau dipikir-pikir Reindra suka mengkhayal sih."

Theresia sedikit mendekat. "Wah benarkah ...," ucapnya kagum.

"I-iya kok ...," balasku gugup karena jaraknya yang cukup dekat bagiku.

Kurasa aku tak dapat bertahan lama dengan topik ini. Lebih baik kucoba mengalihkan topik ke materi yang akan dibahas pada ekstra nanti. Di pikiranku, Theresia ini mungkin saja seseorang yang mengajak Reindra ketemuan beberapa hari yang lalu. Namun, dia sendiri saja tidak datang waktu itu. Begitupula dengan gadis yang dia ajak.

Mungkinkah jika Reindra mengalihkan lokasi ketemuannya dan bertemu dengan gadis itu seorang diri.

~***~

ReshuffleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang