10. Menahan Keputusan

26 3 0
                                    

Astaga ....

Astaga aku tak percaya ....

Aku tak percaya pada diriku sendiri.
Aku telah mengatakan hal tersebut kepadanya.

Huh ....

Inilah yang terjadi, beginilah spontanitasku. Jikalau diriku dibiarkan berhadapan dengan seorang gadis dalam waktu yang cukup lama. Memicu untuk menampakkan sisi puitis yang selama ini kusembunyikan. Selain itu, ekspresi Diana tak setengah-setengah menanggapi apa yang kuucapkan.

Kurasa dia akan mengucapkan sesuatu, "Oh oke ... kalau itu yang kamu mau."

Dia langsung duduk di sampingku berhiaskan raut wajah tersenyum gembira. Namun, masih saja dirinya memalingkan pandangan seakan-akan tak berani menatapku. Aku mulai merasa tegang dan canggung. Kurasakan hal tersebut, karena jarang sekali bisa duduk berdekatan dengan seorang gadis.

Tanpa menatapnya dan fokus memandangi langit kelabu. Aku coba untuk memulai pembicaraan, "Jadi ... gimana soal kerja kelompoknya?"

"Ah iya, sebenarnya aku manggil kamu ke sini karena ...." Dari ucapan itu aku serasa mulai ditatap olehnya.

Batinku mulai memikirkan bahwa gadis ini nampaknya hanya ingin memberikan flashdisk dan memerintahkan untuk mencetak tugas kelompok.

"Ehm, jangan marah ya ... awalnya aku tuh pingin ngasih kamu flashdisk yang isinya tugas kelompok kita," ucapnya terhenti.

"Lalu?" tanyaku datar mulai memandangi matanya.

"Tapi, aku pingin ngasih tau kamu ... biar lebih jelas, makanya aku nyuruh kamu ke sini," sambungnya sesekali memalingkan pandangan.

Kalau aku gak datang ke rumahmu, gimana caranya coba memberikan flashdisk kepadaku? Ah iya, bukannya bisa yaa mengirimkan lewat e-mail atau line. Astaga, kok aku mulai merasa kesal berbincang-bincang dengan gadis satu ini. Kutatap wajahnya guna memancing agar menuju topik utama.

"Mau ngejelasin apa?" tanyaku datar menunjukkan perasaan heran.

Sekarang Diana sepenuhnya melihatku. Namun, dia kini kebingungan seakan-akan harus mulai darimana.

Kucoba tuk bersabar. Sembari menunggu pembicaraan, aku kembali meminum teh buatannya. Aku masih merasa kedinginan karena suasana di luar masih hujan. Akan tetapi, teh ini berusaha menghangatkan tubuh.

"Sebenarnya ... aku tak perlu menjelaskan apapun tentang tugas kelompok kita ...," ucap Diana lagi-lagi memalingkan pandangan berusaha menyembunyikan rasa malunya.

"Lalu? Apakah ada hal lain yang ingin kamu katakan?" tanyaku tetap bernada datar.

"Ada ... tapi, sepertinya aku terlalu banyak berpikir untuk mengungkapkan hal ini," ucapnya masih tak menatapku.

Mengungkapkan hal ini? Cobaan macam apa lagi yang harus kujalani. Apakah ini akibat dari terlalu asik telpon'an dengan Alisa? Sehingga aku harus terjebak di tempat ini dan mendengar apa yang akan ia ungkapkan?!

"Katakan saja, dari pada dipendam dan menyakiti isi hatimu." Entah kenapa aku berkata begini, dasar diriku yang sangat bajingan.

"Namun, tanggapanmu nanti yang lebih menyakiti isi hatiku," balasnya sedikit melihat ke arahku dengan senyum manis yang menunjukkan bahwa dia sudah memperkirakan ucapanku.

Sepertinya dia sudah berpikir akan reaksiku terhadap ungkapan yang ia pendam selama ini. Satu hal yang kusadari, sejak kapan dia bisa berkata secara aesthetic.

"Huh ... sudahlah, katakan saja. Soalnya aku ga bisa berlama-lama di sini." Sekarang giliranku yang membuang pandangan ke arah lain.

"Eh besok-besok aja deh kalau gitu," ucap Diana terdengar mencari-cari alasan.

ReshuffleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang