19. Persamaan Rasa

10 2 1
                                    

Selang waktu, kini aku berada di lantai tiga gedung ini. Sekilas sama sekali tak menemukannya. Aku hanya dapat menemukan Theresia yang sedang terdiam di depan kelas sambil menatap langit kelabu.

Aku coba menghampirinya. Namun, dia langsung berbalik badan dan masuk ke dalam kelas. Aku tak ingin cari masalah dengan masuk ke kelas orang lain. Selain itu, aku tak mengenali siapapun di sana.

Pilihan terakhir adalah mampir ke atap gedung ini. Namun, mendapati pintu menuju atap gedung tak terkunci. Aku berpikir, mungkin ada seseorang yang baru saja ke sana. Aku langsung memberanikan diri menuju ke tempat itu.

Benar saja, Diana ada di sana. Berdiri di pinggiran memegangi teralis. Dia belum menyadari kehadiranku. Mungkin terlena memandangi sesuatu yang menarik di bawah sana.

"Diana!" panggilku.

Dia tak bergeming. Deru angin sial ini menghalangi.

"Diana!"

Masih tidak terdengar.

Inginku menyerah dan mengambil langkah. Mungkin kucoba lagi.

"Diana," panggilku.

"Jika mau terus berteriak seperti orang gila, lebih baik pergi. Kamu menggangguku!" Balasan yang lantang namun terasa dingin. Sesaat udara di tempat ini tidak terasa karena hal tersebut.

Aku mulai terdiam pasrah karena perkataan tajam darinya. Sekilas sebuah pikiran terpintas di dalam kepalaku.

Akankah dia mulai membenciku juga?

Namun, aku tak bisa menyerah begitu saja. Jika dibiarkan begini saja, mungkin dia bakal membenci semua lelaki. Aku tidak mau sampai kelas ini kehilangan sesosok dewi kebaikan yang ceria nan perhatian.

"Diana! Dengarkanlah aku!" Sekali lagi aku berusaha untuk memanggilnya. Namun, tetap saja dirinya tak memperhatikanku, "Kupikir, kalau kubilang nanti, rasanya kamu gak bakal sempat," sambungku.

Dia masih pura-pura tidak mendengarnya. Sialan! Apalagi yang harus kulakukan. Sebentar lagi masuk jam pelajaran pula. Ah, kalau begini jadinya, aku harus pasrah dan berusaha.

"Mungkin ... sekarang dirimu tak ingin memperhatikan ... jangankan memperhatikan, bahkan kamu tak ingin mempedulikanku, iya 'kan?"

Aku benar-benar pasrah dan tak terbayangkan cara yang tepat untuk meluluhkan hatinya.

Aku coba mendekat.

"Cukup, diam di sana dan jangan mendekat!" bentaknya masih tak memandangiku.

Mataku langsung terbelalak dan merasa kaget serta kesal dalam batin. Baru kali ini rasanya dibentak seorang gadis. Tak pernah ada yang berani membentakku sebelumnya. Namun, aku harus tetap sabar karena yang dihadapanku sekarang adalah sang pujaan hati.

"Lalu apa yang harus kulakukan agar bisa diperhatikan olehmu, hah?!" balasku sedikit menaikkan nada bicara.

Sudahlah, aku tak bisa lagi mempertahankan sisi keren dan puitis ini. Namun, perasaanku mengatakan, aku dan Diana sama-sama kesal.

Jujur ... aku masih tak paham sama sekali.

Kenapa dia bisa secuek dan sejutek ini?

Tidak hanya kepada Reindra aja, bahkan diriku menjadi korban.

"Sikapmu yang dulu dengan sekarang sangat berbeda, Diana!"

"Emang kenapa?"

Kepalanya mulai menengadah seolah-olah dirinya sudah tak peduli akan sekitarnya. Di saat-saat seperti ini, aku rasa mundur adalah tindakan yang akan kusesali seumur hidup. Aku kembali memikirkan sesuatu tentang kemungkinan dan masa lalu yang telah terjadi di sekelilingnya.

ReshuffleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang