Prologue

228 22 7
                                    

Langit nampak tengah murung dan ingin bersedih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langit nampak tengah murung dan ingin bersedih. Namun, serasa tertahan dengan keadaan alam yang ada. Kesadaranku didukung oleh posisi menghadap langit di tengah halaman rumah. Diriku sama sekali tidak memahami cara alam bekerja. Akan tetapi, bisa kunilai bahwa alam bisa kejam dan baik di waktu yang tak dapat diperkirakan. Bagaikan pisau bermata dua tanpa gagang.

Aku dapat berpikir seperti itu karena momen ini sangat bersinggungan dengan kabar yang terdengar dari rekan seorang gadis. Kabarnya sedang jatuh sakit serta dalam masa rawat jalan. Tanpa mengembangkan pikiran, diriku masuk ke dalam rumah guna mengambil beberapa buah apel dan sebungkus roti tawar dari dalam kulkas. Sembari mencari aku langsung menanyai, lokasi kediaman sang gadis.

Setelah persiapan usai. Aku langsung mengunci rumah dan bergegas menunggangi Yamaha Byson FI Tahun 2016. Mengingat dengan baik alamat yang diberitahu lalu menarik gas menuju lokasi.

Aku cukup tak mengerti dengan pemikiran dan perasaan ini. Karena dua hal tersebut sangat kontradiksi. Berusaha berpikir logis jika bahwa tak perlu khawatir. Namun, jiwa manusiawi ini menuntun untuk tetap peduli. Selama perjalanan ini terkadang suka berpikir bahwa aku sebenarnya bukanlah sosok yang seperti ini.

Kebut-kebutan bak kesetanan untuk segera sampai di kediamannya.

Mengapa hal tersebut dapat membelah perspektif antara pemikiran dan tindakan?

Sehingga, pada akhirnya aku sampai di lokasi yang dituju yaitu di Legian.

Aku merasa sangat minder dikala melihat rumah luas nan megah itu. Seketika diriku menampak pada diri sendiri. Rasanya bagaikan bumi dan langit.

Ingin rasanya berputar kembali menuju griya. Namun, dua pilihanku ini serasa akan memberikan jawaban yang sama. Balasan yang pastinya akan terdengar tidak merdu di telinga.

Aku hanya dapat mengurungkan niat. Karena dirasa lebih baik mengambil tindakan untuk mengetuk gerbang tersebut.

Baru saja turun dari motor, pintu gerbang itu bergeser dengan sendirinya. Pergeseran tersebut menampakkan seorang pria berumur. Kurasa ia adalah sosok ayah dari sang gadis.

"Kamu siapa?" tanya beliau sembari melirikku dari bawah sampai atas, termasuk juga motor yang kubawa.

"Selamat Sore Pak, Saya-"

"Mau jenguk, kan? Hahaha jarang banget loh ada temen cowok yang berani jenguk dia," potong Beliau.

"Bener banget pak hehe, kok bapak tau?" balasku kembali bertanya.

"Ah ga mungkin lah kamu pacarnya, lagian kamu juga masih sama-sama sekolah toh, mau dikasih makan apa anak saya kalau kamu sendiri belum kerja," jelas Beliau bernada meremehkanku dengan sesekali memalingkan pandangan.

Pemikiran yang sangat realistis untuk sosok ayah. Pantas saja hal beginian dapat membuat gadis itu selalu menolak lelaki lain. Kurasa cara berpikirnya adalah suatu turunan.

"Benar sekali pak, saya juga ga mungkin pacaran dengan uang dari orang tua saya," balasku datar mempertahankan ekspresi kalem.

"Bagus-bagus, silakan masuk. Kamarnya di lantai dua, depan pintu ada namanya tinggal diketuk saja," jelasnya sembari mempersilakan untuk masuk.

Selang waktu berlalu, kini aku telah sampai di depan kamar gadis tersebut. Aku merasa tak sopan karena tidak mengabari untuk berkunjung. Hanya bermodalkan keberanian, kuketuk pintu itu.

"Masuk."

Terdengar suara yang tidak seperti biasanya. Terkesan lemah lembut, tapi lebih daripada itu. Aku langsung memutar gagang pintu dan mendorong ke dalam.

Aku menemukan ia terlentang dengan setengah badan terbalutkan oleh selimut. Kedua tangan gadis itu sedang asik memainkan gawai tepat berada di depan wajahnya.

Dia sama sekali tidak melihat ke arahku meskipun sedang kudekati. Mungkinkah dikira hanya pembantu? Entahlah, dia sendiri tengah sibuk menggerakan jari-jemari.

Kini aku telah berada di sampingnya dan langsung menaruh roti beserta beberapa apel tepat di atas nakas. Hal ini membuatnya langsung melirik kepadaku secara tiba-tiba.

Lucu rasanya melihat dia terkejut sampai terbelalak begitu. Mengingat kepribadian gadis ini yang kalem dan anggun. Namun, terkadang di beberapa waktu dia bisa menjadi sosok yang kekanak-kanakan.

"Kok bisa," ucap lemas masih dengan posisi yang sama.

"Temenmu yang ngasih tau," jawabku datar masih berdiri memandanginya.

Dia mulai membuang pandangan seakan-akan tak ingin melihatku. Kini diletakkanlah smartphone tersebut tepat berada di atas perut yang dilapisi piyama dan selimut.

"Ya ampun, kamu ini sudah tau lagi sakit, malah main hape. Kalau aku yang sakit trus dilihat ibuku, pasti udah disita hapeku," jelasku masih dengan nada datar.

Dia tak bergeming bahkan masih tidak melihatku, meskipun aku masih nyaman untuk melihat dirinya. Terlepas daripada itu, aku sudah terbiasa untuk tidak dipedulikan seperti ini. Apalagi aku ini bukanlah kekasihnya.

Inisiatifku mulai meronta.

"Kamu sakit apa?"

"Sakit biasa aja," sahut gadis itu masih tak menganggapku.

"Yaa biasa kayak gimana?" tegasku mulai sedikit kesal.

"Yaa biasa, besok juga sembuh," balasnya.

Aku mulai sedikit mengepal tangan kanan. Namun, tetap berusaha menahan amarah.

"Lebih detailnya lah, siapa tau aku bisa ngasih saran gitu," ucapku bersabar.

Pandangan gadis ini mulai menghadap ke langit kamar dan terlihat jelas jika dia sedang kesal. Kedua tangannya tidak lagi memegang gawai dan menjauh dari benda tersebut. Masih berada di atas selimut dan mulai mencengkram sekuat tenaga seakan-akan ingin memeras. Reaksinya sedikit membuatku tertular amarah.

"Kamu ini kenapa? Ada apa dengan-"

"KITA INI CUMA BOHONGAN LOH REINDRA, KAMU GA USAH PEDULI BANGET SAMA AKU."

Ungkapan itu seketika meledak dari bibir manisnya. Tak dapat kuperkirakan sama sekali, membuktikan bahwa aku sendiri kaget dengan ucapan tersebut.

Selain itu, aku serasa menelan ludah sendiri ketika mendengar kalimat itu.

Kini diriku lah yang hanya bisa terdiam membuang muka. Nyaliku menciut untuk memandangi wajahnya. Genggaman di tangan kananku perlahan terbuka.

Hal tersebut menciptakan momen hening di antara kami berdua. Pikiranku kosong karena kejutan kumpulan kata. Membuatku spontan untuk berkata.

"Maaf, kalau gitu ... aku pulang, semoga cepet sembuh," ujarku berbalik segera keluar dari kamarnya.

Aku tak sempat duduk dan mengobrol banyak. Mendengar dirinya melempar ucapan yang sama seperti sebelumnya, membuatku aneh sendiri.

Membuatku berpikir, "Ngapain ya ... aku capek-capek ke sini cuma buat dibentak doang?"

Aku menuruni anak tangga satu per satu tanpa perasaan kesal maupun sedih. Aku sendiri tidak dapat mendefinisikan perasaan ini.

"Kok cepat?" ucap pria itu keheranan.

Aku hanya bisa sedikit berkata dan pamit lalu meninggalkan kediaman.

Kejadian hari ini, membuatku berpikir jauh ke belakang untuk menemukan pencerahan atas perasaan maupun pemikirannya yang sangat relatif nan kompleks.

~***~

ReshuffleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang