Hari selanjutnya di jam istirahat sekolah. David, Dika, dan Bagas mengajakku ke kantin. Akan tetapi, kutolak dan menyuruh mereka agar mendahului. Meskipun aku tau perutku kelaparan hanya saja di sisi lain ada suatu hal yang harus kuhadapi.
Selain itu, ini timing yang tepat karena aku tak mau melihat David terbawa suasana. Aku juga sempat berpikir, jika Bagas dan Dika melihatku menjawab pertanyaan Diana, maka akan timbul suatu hal yang tidak diinginkan. Aku juga tidak berani untuk bercerita kepada David mengenai hal kemarin.
Bagaimanapun pertemanan adalah hal yang utama.
Pada akhirnya ....
Aku memberanikan diri untuk beranjak dari tempat duduk, keluar dari bangku lalu selangkah ke depan dan menghadap kepadanya. Terlihat jelas ia baru saja memasukkan buku-buku pelajaran ke dalam tas. Masih kuperhatikan juga, dia sempat berbicara dengan teman yang lain.Aku tak ingin membuang waktu lebih lama dan segera berbicara.
"Ekhem, Diana ...," panggilku memasang lirikan tajam.
"Ah iya, kenapa Rei?" balas Diana sembari tersenyum menghadap kepadaku.
"Ini ... baju yang aku pinjam kemarin, sudah kucuci dan kurapikan," ucapku sedikit gugup menyerahkan baju tersebut.
Ah aku kehilangan rasa kepercayaan diriku saat menyerahkan benda ini karena ekspresinya.
"Oh iya ... terima kasih," balasnya mengambil apa yang telah kupegang dan langsung memasukkannya ke tas.
Seharusnya aku yang bilang terima kasih. Namun, ya sudahlah mungkin saja pikirannya sama-sama tidak tenang sepertiku. Aku mulai kembali memulihkan niat dan keberanian untuk menjawab pertanyaannya kemarin. Kini diriku segera menghirup dan menghembuskan nafas untuk menenangkan diri.
"Diana," panggilku sekali lagi.
Diana sedikit terkejut, "Ah iya kenapa?"
Tanpa berpikir panjang lebar lagi. Aku ingin segera menjawab pertanyaannya yang kemarin. Sempat terlintas suatu gambaran dibenakku tentang raut wajahnya ketika diriku telah menjawab hal kemarin. Ah ... Aku malah merasa tidak tega untuk meladeni gadis satu ini.
Apakah harus kutunda saja ya?
Tapi, aku sendiri tau rasanya digantung ketika menembak seseorang.
Bukannya segera menyinggung hal kemarin. Aku malah mematung dengan berbagai pikiran di dalam kepala.
Jika aku diam saja, maka akan ada banyak waktu yang terbuang.
Momentum ini sangatlah penting.
"Rei?"
Lagi-lagi aku menghirup dan menghembuskan nafas.
"Rei? Kamu gapapa? Kamu dari tadi diem aja, terus nafasmu kedengeran berat gitu," ucap Diana memecah fokusku.
Kembali lagi bayang-bayang perkiraan apabila aku telah menjawab pertanyaan kemarin. Sungguh labilnya diriku ini.
Aku sedikit menggigit tepian ujung lidahku meskipun tak sampai membuka mulut. Perubahan postur bibir ini rupanya dilihat Diana hingga membuatnya terlihat khawatir kepadaku.
"Rei-"
"Oke, Diana!"
Pada akhirnya ....
Aku tak sanggup menatap matanya itu yang akan berkaca-kaca kapanpun. Mungkin dari sudut pandang lain aku seperti menatap serius gadis ini. Akan tetapi, lirikan mataku mengarah ke sisi lain.
"Diana ... maaf, aku belum bisa menerima perasaanmu."
Aku memang tidak berani menghadapi kenyataan saat dirinya merespon jawabanku.
Suasana sejenak canggung. Hal itu sudah pasti akan terjadi. Bahkan teman-temannya terdiam kebingungan melihatku mengatakan kalimat tersebut.
Namun, bukan tanggapan yang belum kudapatkan sampai sekarang. Akhirnya aku memberanikan diri melihat raut wajahnya.
Terlihat jelas rupanya ....
Sudah kuduga akan terjadi seperti bayanganku.Selain itu, kenapa ya aku merasa bersalah?
Diana nampak menahan rasa kecewa. Kini dirinya mulai membuka mulut meskipun perlahan, "Ah ... o-oh iya ... ehmm gak masalah kok buatku hehe."
Dia kuat.
Dua kata yang dapat menggambarkan apresiasiku terhadapnya. Aku hanya dapat menanggapi ucapan itu dengan muka datar nan tegar. Permisalan jika diriku yang ditolak. Akankah aku mampu membuat balasan seperti itu? Atau hanya akan lari dari kenyataan?
Inginku tersenyum karena sifatnya yang kuat. Namun, diriku akan terlihat merendahkan dia jika tersenyum di hadapannya.
Kini diriku kembali menggigit tepian lidah untuk untuk menyeimbangkan pikiranku. Ya sudah, tak ada raut wajah yang harus kutunjukkan kepadanya.
"Ya sudah aku mau ke kantin dulu," sahutku berusaha datar dan langsung meninggalkan Diana.
Namun, baru saja beberapa langkah telah terlewati.
"Reiii ...." Terdengar panggilannya cukup halus sampai membuatku berhenti berjalan.
Aku sedikit menoleh ke arahnya. Akan tetapi, tak sampai sepenuhnya menunjukkan raut wajahku.
"Ada apa lagi Diana?"
"Jadi yang kamu terima perasaannya Alisa?"
Mataku sedikit terbelalak ketika mendengar pertanyaan itu datang dari Diana. Aku sebenarnya ingin menanggapi pertanyaan tersebut. Akan tetapi, lagi-lagi aku sendiri kembali memikirkan perasaannya. Aku tak ingin permasalahan ini semakin runyam. Akhirnya aku mengalihkan pandangan ke depan. Secara reflek diriku mengepalkan tangan kanan dan sedikit kesal sembari mulai melanjutkan langkah.
Akankah aku benar-benar akan terseret ke dalam suatu hal yang tak kuhendaki.
~***~
KAMU SEDANG MEMBACA
Reshuffle
عاطفيةReshuffle | Be Fake Seorang siswa SMA sekaligus penulis cerita meskipun masih amatiran dengan paras pas-pas'an. Itulah Reindra, lelaki dengan masa lalunya yang kerap gagal serta memiliki pengalaman buruk akan hubungan asmara dan memilih untuk menutu...