11.D. Holding Happiness

16 3 0
                                    

Diana Anastasya's POV

Keesokan harinya pada jam istirahat. Perasaan dan kekhawatiran ini tidak pernah kualami sebelumnya. Hal yang terjadi kemarin itu memang sudah kurencanakan. Akan tetapi, dalam ekskusinya aku hanya merasa bahwa itu spontanitasku belaka.

Kini, aku tengah asik berbicara kepada teman sebangku dan rekan-rekan yang duduk di depanku. Namun, sesekali diriku ini menguping pembicaraan empat sekawan lelaki yang ada di belakangku. Terdengar bahwa David, Dika, dan Bagas sedang membujuk Reindra agar pergi bersama ke kantin.

Jawaban dari Reindra sendiri adalah penolakan terhadap tiga kawannya. Tumben saja lelaki satu ini tak ingin bersama-sama menuju kantin. Sedari tadi, aku ini kerap berpikir berlebihan terkait tindakan-tindakan yang akan diambil oleh Reindra. Jujur saja, aku memang menunggu jawaban darinya. Hal itu yang membuat berkali-kali khawatir.

Pada akhirnya ....
Terdengar pergeseran kaki kursi yang menandakan bahwa dia akan keluar dari bangkunya. Tidak usah menunggu berlama-lama, kini dia telah berada di sampingku. Aku hanya bisa berpura-pura tidak menyadari keberadaannya.

"Ekhem, Diana ...," panggil Reindra terdengar datar.

Kini aku melihat ke arah lelaki itu serta konsisten memasang senyuman untuk merespon panggilannya.

"Ah iya, kenapa Rei?" balasku.

"Ini ... baju yang aku pinjam kemarin, sudah kucuci dan kurapikan," ucapnya menyerahkan baju tersebut dan terdengar sedikit gugup.

"Oh iya ... terima kasih," balasku mengambil baju yang ia pegang dan langsung kumasukkan ke dalam tas.

Sekilas situasi ini sebenarnya membuatku tegang karena tadi kukira dia akan menjawab pertanyaanku tempo hari. Sembari memasukkan baju ke dalam tas, sesekali aku mencuri pandangan. Dia tetap berdiri di situ dan terdiam. Kusadari ia telah menarik dan menghela nafas.

"Diana," panggil Reindra.

"Ah, iya kenapa?" sahutku terkejut sesaat usai menarik resleting tas.

Pandanganku langsung sepenuhnya tertuju pada lelaki ini. Sempat lewat gambaran ucapan-ucapan yang ia akan sampaikan kepadaku. Hal ini membuatku tegang nan khawatir. Nada panggilan serta raut wajah yang ia tunjukkan, bagiku dapat menimbulkan beberapa dugaan serta pertanyaan.

Kini dia hanya terdiam dan mematung. Kelakuannya ini lah yang menambah beban pikiranku.

"Rei?" panggilku karena khawatir akan kesunyian yang ia tunjukkan.

Dia kembali menarik dan menghela nafas.

"Rei? Kamu gapapa? Kamu dari tadi diem aja, terus nafasmu kedengeran berat gitu," ucapku karena terus-menerus khawatir dengannya.

Dia tetap terdiam. Sebenarnya dia ini kenapa? Bahkan seketika bibirnya sedikit berubah. Apakah aku melakukan hal yang salah? Kucoba memanggilnya sekali lagi.

"Rei-"

"Oke, Diana!" potong Reindra.

Akhirnya dia berbicara. Namun, pandangannya tak kunjung konsisten dan gemar melihat sana sini.

"Diana ... maaf, aku belum bisa menerima perasaanmu."

Sebenarnya aku ini sudah mengetahui.
Seberapa besar dia mencintai gadis yang baru saja ia temui.
Aku sendiri merasa tak ada cara untuk memenangkan hati lelaki ini. Meskipun, aku lah yang berada di sisinya untuk menemani.

Kini, tatapan Reindra mulai tertuju kepadaku. Semoga rasa kecewa yang tertahan ini tak nampak di pandangannya.

Sembari berusaha menahan rasa kecewa, kucoba untuk perlahan membuka bibir dan ingin menjawab ucapan lelaki ini.

"Ah ... o-oh iya ... ehmm gak masalah kok buatku hehe," jawabku terdengar kaku karena beratnya menahan rasa kecewa.

Sejak awal, aku hanya berharap 'tuk kebahagiaanmu.
Meskipun kebahagiaan itu bukan dariku.

Itulah yang aku pikirkan selepas menjawab ungkapannya. Setelah balasanku. Dia kembali terdiam. Aku rasa kita sama-sama memiliki beban pikiran.

"Ya sudah aku mau ke kantin dulu," sahut Reindra datar seperti biasanya lalu pergi meninggalkanku.

Aku pun hanya bisa terdiam dengan penuh kekecawaan di relung hati terdalam sembari melihat kepergiannya.

Pada akhirnya.
Aku akan menyembunyikan perasaanku.
Tentu saja supaya kamu tidak tau dan tak terganggu.
Tentu saja ....
Tentu saja, aku kan tetap mendukungmu dari belakang supaya kamu lebih bahagia dari siapa pun.

Aku benar-benar kecewa akan keputusan tempo hari untuk menyatakan perasaan. Namun, jika tak kusampaikan maka hanya akan menjadi penyakit di dalam diri. Akan tetapi, aku juga sebenarnya tau.

"Reiii ...." Aku spontan memanggilnya dengan nada penggambaran pupus harapan.

Aku ingin menghargai perasaanku kepadamu.
Aku serius.
Dibandingkan dengannya, aku jauh lebih dulu jatuh cinta padamu.

"Jadi yang kamu terima perasaannya Alisa?"

Dia tak sepenuhnya melihat ke arahku selepas kulontarkan pertanyaan itu. Tatapannya sedikit terbelalak. Namun, tak lama kemudian kembali menghadap ke depan. Sekilas kuperhatilan tangan kanannya sedikit mengepal sembari mulai melanjut langkah meninggalkanku.

Ya begitulah ....

Jika kamu cinta padanya, sebesar cintaku padamu.
Itu artinya ... aku memang tak cukup pantas untukmu.

Aku mulai menunduk dan terdiam. Kusadari bahwa rokku terlihat basah karena tetesan-tetesan yang dihasilkan dari kedua mataku.
Terdengar teman-temanku mulai menyadari kesedihanku. Namun, aku tak tergeming akan hal itu. Karena sudah tenggelam dalam perasaan gelap.

Aku terdiam, meskipun jiwa ini ingin berteriak.
Tanpa sadar menampakkan kesedihan.
Meskipun keinginan ini kuat.
Bahkan dilanda kekecewaan.
Di antara siapa pun, kuingin kamu bahagia.

~***~

~***~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



ReshuffleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang