Hormon Kortisol

1.6K 100 4
                                    

"Sekarang gue paham kenapa sepupu gue buang parasit kek lo dari hidupnya. Jihh,"

"Dan lo gak lebih baik dari pada Grace, dengan manfaatin gue yang lo sebut sebagai sampahnya Grace." balas Hazna tak kalah tajam dan mampu mematik kebencian pada Vanya.

Senyum miring berani ia tampilkan di depan Vanya, orang yang ia manfaatkan untuk menyambung hidup. Jelas sekarang Vanya menjadi emosi akibat perkataan Hazna.

"O iya ? Bukankah gunanya orang miskin rendahan seperti lo adalah dimanfaatkan untuk orang seperti gue dan Grace ?" balasnya dengan tetap tenang.

Vanya menyilangkan kedua tangannya di depan dada, kharisma angkuh dan sombong mampu membuat Hazna geram. "Hei, sadarlah tempat lo. Jaga ucapan dan sikap lo," tidak sekali dua kali ia mendapatkan ucapan seperti itu dari orang orang kaya.

"Kalo mau pinjam duit, inget etika orang miskin. Okay ?" ucap Vanya tertawa atas keberanian Hazna.

Satu gerakan tangan dari Vanya membuat orang orang suruhannya mengusir Hazna dari rumahnya. Dengan perasaan jentaka Hazna keluar diseret oleh dua orang satpam. Kini tatapannya penuh ambisi menatap rumah bak istana yang dipenuhi oleh orang orang berkuasa.

Pagar rumah ditutup dan rasa iri menyeruak dihatinya. Hatinya memberontak dan kesal pada orang orang yang memperlakukannya semena mena seperti sampah. Grace, Iyan, dan Vanya adalah orang orang yang menorehkan luka pada anak sebatang kara tersebut.

Layla menyentuh lengan kakaknya, "Kakak sudah selesai ? Ayo makan, aku lapar."

Tidak ada jawaban dari Hazna karena anak itu sedang memikirkan kalimat penenang apa lagi yang akan dia sampaikan pada adiknya.

"Kapan kita akan memiliki rumah sebesar itu kak ?" celetuk Layla ikut merasakan keinginan menjadi orang kaya.

"Entahlah. Jika kakak bilang secepatnya, apakah itu akan benar benar terjadi ?" gumam Hazna.

***

Di ruang keluarga telah berkumpul semua anggota keluarga beserta seorang kakek yang merupakan dewa dalam keluarga Armstrong. Grace dengan malas duduk di sebelah Clara sambil memasang earphone di telinganya.

"Lepas earphone mu dan jaga sikapmu," tegur Carla.

Grace menghela nafas kasar dan kesal. Berhadapan dengan kakek yang memiliki pemikiran kolot adalah sebuah bencana besar melebihi tsunami Aceh 2004. Jika diberi pilihan antara berbicara dengan kakeknya atau terjun dari lantai 5, maka Grace memilih yang kedua. Ia membuka earphonenya dan duduk dengan benar bak seorang bangsawan, walaupun dia hanya memakai baju tidur. Yang benar saja jika harus memakai gaun hanya untuk berbicara dengan kakek tua menyebalkan itu, pikir Grace.

"Lama sekali aku tidak mengunjungi rumah ini. Hmm tidak banyak yang berubah, hanya usang dan berdebu." ucapnya memperhatikan sekitar.

"Matanya buram ya ? Bersih kek pantat bayi gini dibilang berdebu," celetuk Grace pelan dengan menggerutu. Tangan Carla menyenggol Grace dengan lumayan keras untuk menegurnya.

"Ngomong ngomong bagaimana persiapan sekolah kedokteran Grace ?" tanyanya pada Armstrong.

"Gak ada yang akan ke sekolah kedokteran !" potong Grace lantang.

Hal tersebut mengundang kepanikan Armstrong dan keterkejutan si kakek. Suara tawa Armstrong mencairkan suasana. Sedangkan Carla memijat pelipisnya yang terasa berkedut akibat ulah Grace yang lancang.

Skor+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang