Demonov Carla Beliard

299 30 0
                                    

Jeniffer menahan Carla yang diam diam keluar di malam yang sudah terbilang larut. "Mama, mau kemana ?" tanya Jeniffer peduli dengan ibunya.

"Mama harus bicara pada papamu." jawab Carla.

Jeniffer menghadangnya sehingga menghentikan langkah Carla. "Tidak perlu ! Apa yang perlu mama bicarakan dengan papa ?" cecar Jeniffer tidak setuju.

Carla menatap Jeniffer singkat, ia sebisa mungkin mengontrol emosinya agar tak meledak pada Jeniffer. "Kenapa kamu melarang mama ?" tanya Carla dengan suara rendah.

Jeniffer menghela nafas lelahnya, ia menyadari bahwa sang ibu pasti memikul beban yang berat sebagai ibu dan istri. Ditambah sifat tega Armstrong yang mengakui Hazna sebagai anaknya di depan publik. Pasti sangat menggores harga diri Carla sebagai istri sahnya, mengingat Hazna adalah anak dari hasil selingkuhan Armstrong.

"Jeniffer gak mau mama membuang buang waktu dan tenaga mama hanya untuk meladeni pria gila seperti papa. Jeniffer gak mengijinkan mama memohon mohon seperti dulu !" ucap Jeniffer.

Carla menghela nafas beratnya, ia kembali mendengarkan pendapat Jeniffer. "Biarin aja, Ma. Biarin papa sibuk dengan dunianya, kalo emang papa gak nganggap Grace sebagai anaknya lagi, cukup kita selalu di sisi Grace, Ma. Kondisi Grace drop lagi karena ulah papa, Grace masih butuh mama dan orang yang peduli ke dia. Bukan orang yang acuh dan abai seperti, papa."

Tutur kata Jeniffer membius Carla untuk berfikir logis. Selama ini Armstrong hanya sibuk dengan dunia bisnis, uang, dan anak selingkuhannya tanpa ada niat menjenguk putrinya secara berkala. Bahkan jika diingat ingat Carla yang selalu memberi kabar dan tidak ada niat menanyakan bagaimana kondisi Grace layaknya seorang ayah. Carla menyesali keputusannya sejak awal menikah hanya didasari oleh kontrak keluarga. Ya, pernikahan Armstrong dan Carla adalah hasil perjodohan orang tua mereka. Ambisi yang menyeruak di dunia bisnis membakar dan menjadikan abu pernikahan yang belasan tahun dibina.

"Jen, dia papamu. Grace juga masih membutuhkan sosok papa-"

"Mana buktinya ?"

"Setiap saat Grace mengeluh, ma. Dia mengeluhkan luka disekujur tubuhnya akibat dipukuli papa tanpa ampun hanya karena rankingnya turun. Dia mengeluh frustasi karena nilai sejarahnya stuck. Dia mengeluhkan setiap malam ia tidak bisa tidur karena merasa terancam oleh papa. Dia mengeluh tidak bisa menangis hanya karena papa tidak suka orang lemah dan melarangnya menangis. Dia ketakutan dan trauma jika mendengar suara papa. Dia merasa terintimidasi setiap ia berada di rumah hanya karena pergerakannya diawasi dan selalu dibatasi. Dia-"

Ucapan Jeniffer berhenti ketika menyadari ada orang lain yang berdiri tak jauh dari mereka. Rachel berdiri mematung tak sengaja mendengar pembicaraan ibu dan anak tersebut. Sebuah fakta baru ia temukan dari percakapan tersebut, hatinya kembali teriris pilu. Semakin ia menyelami sosok Grace, semakin dalam pula pisau yang menancap di batinnya. Bak peribahasa semakin terang benda tersebut, maka semakin gelap pula bayangannya. Itulah yang terlintas di benak Rachel.

"Rachel ?"

"M-maaf, kak. Rachel mau jenguk Grace, tidak bermaksud menganggu percakapan kalian. Maaf, Tante." kata Rachel sambil segera menghapus air matanya yang sempat membasahi pipinya.

Setelah mendapat persetujuan untuk masuk, Rachel meninggalkan kedua orang tersebut. Disana Carla tak bisa berkutik dengan kalimat kalimat Jeniffer. Ia tersadar dari semua hal keji yang telah terjadi pada Grace begitu berdampak. Namun, tetap saja Carla selaku memikirkan sudut pandang lain. Ia tak bisa berfikir jernih hingga ia berkata, "Jen, tapi kali ini mama harus pergi."

Jeniffer tak mau membiarkan sang mama pergi sendiri ke rumah. Ia memutuskan untuk ikut setelah meyakinkan jika Grace aman bersama Rachel. Keduanya menuju kediaman Armstrong.

Skor+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang