pt. 22 - kejutan

1.9K 179 14
                                    

Bola bulu menjadi pemandangan pertama yang Alsha lihat saat membuka mata. Tak hanya itu, tubuhnya terasa sesak karena diapit oleh dua manusia, yang satu berukuran mini dan yang satu berukuran large. Kadang saja dipeluk bak guling oleh Pramudipa saja cukup menyesakkan karena tubuhnya yang besar itu, lah ini diapit depan belakang.

Sejak semalam Aldean tidur di kamar orang tuanya. Saat tahu sang ayah akan pergi ke luar kota selama sebulan, Aldean merengek ingin tidur bersama.

"Mama" parau Aldean saat merasakan belaian di wajah dan kepalanya. Pria kecil itu semakin mengeratkan pelukannya di dada Alsha.

"Tidur lagi sayang" bisik Alsha menenangkan. Namun pria kecil itu malah memundurkan badannya lalu mencebik. "Kenapa?" Sungguh Alsha masih belum ingin bangun. Ia melirik jam di nakas sebelah ranjang. Masih pukul 3 pagi.

"Papa mana? Papah belangkat ga bilang aku! Papah mana?!"

Detik kemudian Aldean menangis cukup kencang. Alsha yang sebelumnya belum sadar total kini langsung membuka mata lebar. Ia menyingkirkan tangan Pramudipa yang melingkar posesif di pinggangnya, kemudian sang suami terbangun karena pergerakan Alsha.

"De, ini papa masih disini. Papa belum berangkat." Alsha merengkuh tubuh Aldean lantas membawanya keatas badan sambil mengarahkan ke Pramudipa.

Tangan kiri terulur Alsha menepuk pipi Pramudipa membangunkan sang suami. "Mas, bangun mas! Ih anakmu nyariin."

Sayup-sayup Pramudipa membuka matanya, sekali ia memejamkan matanya lalu membukanya kembali. Sama seperti Alsha, Pramudipa juga masih tidak ingin bangun. Ia menyisir rambutnya ke belakang lalu memposisikan tubuhnya bersandar di headboard ranjang. Dalam keadaan belum sepenuhnya sadar, Praudipa mengangkat tubuh Aldean dan membawanya ke pangkuannya.

"Papah" lirih Aldean sambil memeluk Pramudipa, menyandarkan seluruh tubuhnya di dada Pramudipa sambil mencebik.

"Apa anak papa yang paling ganteng?"

"Papa belangkat hali ini? De ikut!" Aldean mendongak bersamaan dengan satu bulir air mata turun di pipi tembamnya.

Dengan mata sayu Pramudipa tersenyum tipis mengusap pipi Aldean. "Mama sendiri dong kalau De ikut?"

"Mama juga ikut" jawabnya cepat.

Alsha mendekat, masih dengan posisi berbaring, ia berada di sebelah paha Pramudipa. "De, papa kerja sayang. Kamu tau kan papa kerja buat Aldean? Biar Aldean bisa beli mainan, beli es krim, beli coklat."

"Mama kan yang beliin es klim kemalin" sahut Aldean

"Itu uangnya papa De" jawab Alsha memijat telapak kaki Aldean.

"Papa kelja ga pulang-pulang! Lama! Papa kelja apasih?" Begitu cepat perubahan ekspresi Aldean. Kini bocah berumur hampir tiga tahun ini memarahi sang papa.

"Papa bikin gedung kayak itu De" Tunjuk Pramudipa pada lukisan gedung tinggi pada malam hari.

"Itu papa yang gambal?" tanya Aldean menunjuk kearah gambar yang ditunjuk sang papa.

"Itu buatan auntie Gisel" Lukisan itu hadiah dari sepupu Pramudipa yang kini mengambil S2 di Juilliard.

Darah keluarga Alfaranda memang terkenal dengan slogan 'Banyak jalan menuju Roma dan Alfaranda mampu menembus segala jalan menuju kesana'

Semua kakak dan adik sepupu Pramudipa menempuh sarjana di luar negeri dan kampus yang mereka pilih tak sembarangan. Begitupula Shavira dan Pramudipa, mereka berdua alumni di Universtas Edinburg di Scotland. Sebenarnya Pramudipa asal saja memilih universitas yang sama dengan Shavira karena ia tak memiliki keinginan untuk pergi ke universitas di luar negeri.

Dearly Household [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang