*
*
*
"Ssibal!"
Sebin menghela saat melihat sang adik dan temperamen buruknya. Tak banyak yang ia katakan, lagipula Yechan akan marah jika ia membuka mulut hanya untuk menceramahinya.
"Satu gerobak lagi dan kita akan pulang, Yechan-ah."
Tentu saja, apa yang ia harapkan dari respon adiknya selain tatapan mata tajam yang penuh penghakiman?
"Jika bukan karena dirimu, kita tidak akan hidup seperti ini, Sialan!"
Yechan membanting satu karung penuh berisi gandum yang harus mereka antarkan sore itu. Dengan keras ia sengaja menabrak bahu Sebin sebelum melangkahkan kakinya menuju keramaian, meninggalkan sang kakak yang lagi-lagi hanya bisa menggelengkan kepala dan melanjutkan pekerjaannya.
Sakit hati?
Tentu. Siapa yang tidak?
Akan tetapi, ia tidak bisa menyalahkan Yechan di sini. Jika bukan karena menyelamatkan dirinya yang hampir diculik untuk dijadikan budak di istana, orang tua mereka tak akan mati sia-sia.
Kini, meski Yechan sudah dewasa dan bukan lagi anak-anak, Sebin tetap merasa sang adik adalah tanggung jawabnya. Tak peduli ia didorong berapa kali, Sebin akan tetap menghampiri adiknya itu, lagi dan lagi ...
*
*
*
Sementara itu, jauh di tempat yang bahkan tak berani Sebin bayangkan, berdiri bersisihan dua pangeran. Keduanya menatap keramaian kota dari tempat tertinggi di istana.
Kim Jaehan tak berekspresi apa-apa. Senyum yang biasa mempesona, sore itu tak ditunjukkannya.
"Hyungnim, maafkan aku ..."
Jaehan menoleh, mendongak menatap adiknya. Tatapan mencemooh yang bahkan tak berusaha ditutupinya.
Yang Hyuk, entah bagaimana ia harus menyebutnya. Putra mahkota yang bersikeras tetap menyandang marga ibunya. Menindas garis keturunannya.
Mereka beda ibu, Jaehan dari istri pertama, sementara Hyuk entah dari selir yang mana. Jaehan bahkan tak benar-benar mempedulikannya. Mungkin ayahnya hanya memungut pelacur dan lupa membereskannya.
Bahkan sekalipun Hyuk baik padanya, itu tak akan mengubah rasa sakit karena tak hanya ayah, kini bahkan tahta pun sudah direbutnya.
"Kau tahu bukan, kata yang kau harapkan itu tak akan pernah keluar dari mulutku."
Jaehan sudah kehilangan semua. Ibunya, tahtanya, senyumnya, tak ada lagi yang tersisa selain harga diri yang tetap meronta agar ia tak meninggalkan istana yang seharusnya menjadi miliknya.
"Aku sudah memohon pada Ayah, tapi-"
"Cukup, Hyuk-ah. Berhenti menginjak harga diriku lebih dari ini. Mulai sekarang kau adalah putera mahkota yang dipilih langsung oleh raja. Jadi, bersikaplah selayaknya."
Tidak tahukah bocah naif ini jika banyak kritikan yang datang karena keputusan raja yang terkesan tergesa-gesa?
Jaehan hanya sakit, bukan sekarat.
"Hyungnim-"
Jaehan mengangkat tangan, tak mengatakan apa-apa, namun kembali menatap apapun selain adiknya.
Terdengar desah panjang yang Hyuk hembuskan. Akan tetapi, Jaehan tetap tak tergoyahkan.
Ia membenci Hyuk, membenci semua yang mengasingkannya, terlebih membenci semua yang menganggapnya lemah tak berdaya.
a.n : Gatel banget pengen bikin 😭
maafin, tapi ini ga akan apdet sebelum tiga itu selesai.Tapi, karena ini hasil dari gegabah, ga tau juga ntar kalau tau2 ilang. wkwkwkkw
btw, di sini aku bawa kopel ycjh x hyukbin lagi.
kapal2 gede ntar aku bikin yang agak ringan aja kaya my husband.
KAMU SEDANG MEMBACA
BloodLine ✅
FanfictionKim Jaehan is a prince who failed to become crown prince, met Yechan who intended to take revenge, but ended up falling in love with the prince