59

272 48 2
                                    

"Setidaknya bersihkan dirimu, Yang Hyuk."

Hyuk tak menanggapi perkataan Jaehan, ia hanya masuk begitu dipersilakan.

Ia bahkan tak duduk. Hyuk hanya meletakkan sesuatu yang sejak tadi ia bawa di hadapan Jaehan.

Mahkota.

Benar, Hyuk menyerahkan mahkota yang tak lagi berguna itu untuk Jaehan alih-alih nyawa.

"Aku akan pergi, tapi ..." detik itu Hyuk menatap ke arah Yechan sesaat, "Izinkan aku membawanya, izinkan aku bersamanya."

Yechan berdiri, karena tahu siapa yang Hyuk maksudkan. Namun, tangan Jaehan terangkat, menghentikan langkah Yechan yang tentu ingin menyerang Hyuk saat itu.

Walau pada akhirnya, keduanya dikejutkan oleh tindakan Hyuk yang tak pernah disangka-sangka. Pria itu berlutut di hadapan mereka.

"Aku mohon ... izinkan aku bersamanya. Aku ... tak bisa meninggalkan Sebin begitu saja."

𖧷

Sebin sudah dipindahkan ke menara Kim.

Dokter juga berkata bahwa kondisi Sebin sudah lebih baik, walaupun lukanya masih tetap harus diperhatikan.

Bagaimana pun, tetap sebuah keajaiban Sebin bisa selamat dengan luka sedalam itu.

Sayangnya, meski penjelasan dokter cukup melegakan, anehnya pria ini tak kunjung membuka mata.

Yechan menunggu setelah mengusir Hyuk yang ia anggap selalu menempeli kakaknya.

Menggerutu sepanjang waktu, meski Sebin tak mendengar itu.

Bukannya ia tak suka jika Sebin memang senang bersama pria besar itu, hanya saja keningnya selalu berkerut dengan sendirinya setiap kali melihat Hyuk yang menatap kakaknya penuh cinta.

Ada rasa ingin menendang dan menghajarnya. Lalu, Yechan tersadar bahwa ia tak lagi bisa melakukan itu semua dengan leluasa.

"Penobatanmu sebagai Raja Antella akan dilakukan saat kesehatan ibuku sudah membaik. Sebaiknya kau menurut dan banyak belajar lebih dari sebelumnya, Yechan-ah."

Yechan mendesah, "Hyung, Kim Jaehan itu ... aku bahkan tak pernah berkata iya dengan permintaannya yang satu itu. Menjadi Raja? Yang benar saja."

Seorang pemuda miskin yang dipungut untuk menjadi pelayan, bagaimana bisa dia menerima tanggung jawab sebesar itu di pundaknya?

"Kau ... akan menjadi Raja yang hebat, Yechan-ah."

Yechan yang mendengar suara kakaknya langsung mendekat, menggengam tangan kecil hyungnya erat.

"Hyung?!"

Sebin sedikit terkejut. Lagi dan lagi, karena berada di tempat ini, karena luka ini, Yechan berubah peduli.

Masih menyunggingkan senyum, sembari membalas genggaman adiknya.

"Yechan-ah, apa kau baik-baik saja?"

Yechan mengangguk dengan wajah yang sudah basah. Sebin tertawa, ia usap pipi putih adiknya, "Kau menangis? Untukku?"

Yechan mengangguk lagi, "Maafkan aku, aku tidak bisa menjagamu."

"Aku yang kakak di sini, seharusnya aku yang berkata begitu."

"Tapi, kau kan tidak bisa berkelahi."

Bagaimana bisa Yechan membuatnya tertawa?

Tawa yang sebenarnya membuat lukanya terasa sakit luar biasa. Akan tetapi, Yechan yang seperti ini terasa seperti mimpi.

Adiknya yang selalu membenci dan bersikap tidak peduli, kini bahkan menangis untuknya. Bagaimana Sebin tak bahagia?

Namun, saat itu juga ia teringat seseorang yang ia rindukan kehadirannya.

"Yechan-ah, Hyuk-ah ..."

Yechan mengusap kasar wajahnya, bertanya dengan cepat pada kakaknya, "Kau ingin bertemu dengannya?"

Sebin mengangguk.

"Aku akan memanggilnya, tapi kau harus diperiksa dulu oleh dokter."

Tak membantah, Sebin menurut saja apa kata adiknya.

"Yechan-ah, terima kasih ...."

"Jangan banyak bergerak, hyung tunggu saja di sini."

Sebin mengiyakan.

Begitu Yechan pergi, ia menyentuh luka di perutnya. Ada yang terasa basah di sana, sudah pasti itu adalah darah.

Menggigit bibir, Sebin berusaha untuk tidak menangis. Demi Tuhan, ini sakit sekali.

Menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, Sebin justru hampir tersedak karena sesak.

Menyerah, Sebin pun memejamkan mata. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu. Hanya saja, ingatannya kembali, dan perasaan saat mata pedang menyentuh tubuhnya, membuat Sebin tak bisa lagi bertahan dalam ketenangan yang sedari tadi ia pertahankan.

Itu terasa mengerikan, membuat tubuhnya gemetaran. Beruntung dokter segera datang, sayangnya sebelum ia diberi obat, kegelapan lebih dulu menyergapnya.

Sebin pingsan setelah tak mampu lagi menahan rasa sakit di tubuhnya.

"Sebin-ah?!"

𖧷

Sementara itu di ruangan lain, Kim Jaehan duduk dengan tangan bersidekap. Mata tajamnya tak hentinya menatap.

"Song Hangyeom, sampai kapan kau akan seperti ini?"

Ia lihat Hangyeom yang berubah diam setelah penyerangan. Sudah beberapa hari dan tak ada kemajuan yang berarti.

Luka-lukanya sudah diobati, wajah tampannya juga sudah terlihat lagi. Sayangnya, raut yang dulu dingin kini berubah sendu. Matanya terkadang menyiratkan kepiluan yang dalam, namun tak jarang juga tampak kosong seolah tak lagi memiliki binar kehidupan di sana.

Dokter berkata ini tanda depresi.  Mungkin syok juga karena melihat kematian satu-satunya keluarga yang pria itu punya.

Mendengar cerita, Yechan mematahkan leher sang ayah tepat di depan matanya.

Tak ada simpati, sejujurnya Jaehan cukup bangga dengan Shin Yechan ini.

Namun, Hangyeom juga masuk ke dalam barusan prajurit kesayangan. Jaehan berharap Hangyeom bisa kembali bertugas seperti sebelumnya.

"Gyeom-ah, kau marah padaku? Soal ayahmu yang sudah mati itu, bukankah kita sudah membicarakan ini sebelumnya? Kau juga sudah menyetujuinya ... jangan pura-pura lupa."

Jaehan tampak mulai lelah.  Sementara Hangyeom hanya diam dengan mata menatap ke luar jendela. Entah sengaja tak mendengarkan Jaehan atau memang jiwanya tak lagi berada di sana.

Karena tak tahan lagi, Jaehan pun berdiri. Ia tarik kerah pakaian yang Hangyeom kenakan, "Brengsek! Sadarlah, Gyeom-ah!"

Seolah tak cukup, suara tamparan keras menyusul setelah itu.

"SONG HANGYEOM!"

𖧷

BloodLine ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang