02 (Antella Kingdom)

617 60 2
                                    





Yechan menghentikan langkah kakinya. Mendongak, ia melihat ke arah kastil tua tempat para raja dan ratu menggenggam erat kuasanya.

Gerbang hitam tinggi menjulang, Yechan rasa ia mulai paham mengapa negara ini jauh dari kemakmuran.

Bukankah itu akan bagus jika dicat warna biru?

Sekalipun Yechan menyukai hitam, ia tetap tak menyukai aura kesuraman yang bangunan megah ini pancarkan.

Putera mahkota sudah ditunjuk, Yechan sedikit tak mengerti, apakah semudah itu mengubah arah garis keturunan raja?

Dinasti Kim ini ... apakah benar-benar sudah digantikan dengan dinasti Yang di masa depan?

Bukankah mereka memiliki Pangeran yang lebih berhak menyandang gelar putra mahkota?

Bagaimana pun, Kaisar Kim adalah yang terburuk. Putera seorang Ratu tersingkir oleh anak selir.

Yechan tak terlalu peduli, tapi karena banyak yang membicarakan keluarga raja hari ini, mau tak mau membuat Yechan memikirkannya juga.

Bertanya-tanya, apakah pangeran pertama akan memulai peperangan?

Apakah akan ada kudeta?

Jika iya, maka rakyat jelata seperti dirinya inilah yang akan berakhir menderita.

"Para bajingan sialan ..." gumamnya. Entah umpatan itu ia tujukan pada siapa.

Mencoba mengabaikan, ia seharusnya lebih mementingkan perutnya yang kelaparan.

Berbalik, Yechan menatap sekali lagi kediaman pemimpinnya yang begitu gelap dan mengerikan. Dalam benaknya bertanya, bisakah ia memasukinya, duduk di atas singgasananya, dan menggenggam dunia di dalam cengkeramannya?

Menaikkan kembali kain yang melilit leher hingga menutupi sebagian wajahnya, Yechan pun pergi, meninggalkan segala mimpi yang sempat ia dengungkan tadi.

Jika ia bisa menjadi raja, bukankah itu akan luar biasa?







Jika ia bisa menjadi raja, bukankah itu akan luar biasa?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


*

*

*


Menatap lentera yang tergantung di depan rumah gubuknya, Sebin terduduk. Ia amati jalanan kanan dan kiri, berharap adiknya segera kembali.

Masih cukup ramai, banyak yang menyapa, namun Sebin hanya memberi senyum seadanya.

Di sekitar rumah yang Sebin tinggali, tak ada yang tak mengenal dua bersaudara yang malang ini. Entah Sebin harus bersyukur atau merana karena banyaknya iba yang ia terima.

Bagaimana pun, ia laki-laki dan memiliki harga diri. Dipandang serendah itu juga cukup mengganggu.

Sebin menghela, berdiri, dan mengatur napas lelahnya. Yang terpenting sekarang adalah ia harus mencari keberadaan adiknya. Ia tidak bisa membiarkan makan malam mereka berakhir dingin, karena Yechan yang tak kunjung kembali.


*

*

*


"Yechan-ah, sebenarnya di mana kau melarikan diri kali ini?"

Sebin putus asa, ia lelah dan lapar. Mengantuk juga, bahkan ia hampir pingsan jika saja tak ada lengan yang menahannya.

"Oh, maafkan aku. Aku tidak berhati-hati, maaf sekali lagi ..."

Sebin mengerjap dan memundurkan langkahnya dengan cepat.

Ia pun membungkuk sebelum meminta maaf juga mengucapkan kata yang tak mungkin terlupakan, terima kasih.

Sebin pikir, saat kembali berdiri, siapapun yang menahannya tadi sudah pergi. Nyatanya, ia kini justru terpenjara dalam tatapan mata yang seakan bisa menelannya.

Dari posturnya sudah jelas itu seorang pria. Lebih tinggi dari dirinya.

Tak hanya pakaiannnya yang serba hitam, tapi pupil matanya pun hitam legam, menatap Sebin dengan tajam. Anehnya, ia tak merasa jika siapapun yang ada di depannya ini tengah kesal atau jengkel padanya, dan meski wajahnya tak begitu terlihat, Sebin masih bisa merasakan aura yang begitu kuat terpancar dari dirinya.

Siapa dia?

Jelas, dia ini bukanlah orang biasa. Mungkin pengawal raja, atau siapapun yang bekerja di istana. Sebin hanya menerka tentunya.

Tak ingin terlalu kentara jika tengah penasaran, Sebin pun kembali membungkuk berterima kasih, sebelum memutuskan untuk pergi.

Ia pikir Yechan akan berada di salah satu tempat hiburan. Uhm, tak benar-benar menghibur untuk Sebin, karena itu adalah tempat di mana orang-orang yang memiliki uang bersenang-senang dengan mengadu orang.

Ya, tidak ada yang salah dengan pengucapannya. Itu adalah arena gulat. Tempat di mana para orang kaya mencari yang terkuat. Kebanyakan dari yang menang akan direkrut untuk dijadikan pengawal.

Siapa yang menyangka, tak jauh dari tempat itu Sebin sungguhan melihat adiknya. Yechan mungkin menutupi seluruh tubuhnya, tapi Sebin jelas lebih mengenalnya.

Yechan berdiri dengan kedua tangan berada di sakunya. Setengah wajah tampannya tertutup kain, namun mereka adalah saudara, tak mungkin Sebin salah dalam penglihatannya.

"Yechan-ah!"

Sebin berteriak dan berlari menghampiri, tanpa menyadari jika pria di belakangnya masih menatapnya sedari tadi.


BloodLine ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang