16

362 52 4
                                    

Kini Jaehan tahu apa yang Hangyeom katakan pada Yechan saat itu.

"Jadi, sejauh apa yang kau ketahui?"

Yechan mendesah pelan, berharap malam panjang ini segera berakhir, karena sejujurnya ia lelah sekali.

"Selir Yang tidak meninggal karena melahirkan putra mahkota."

"Apa lagi? Hanya itu?"

Yechan mengangguk.

Jaehan memijit kening, seperti tak yakin. Namun, melihat Yechan, bocah ini sepertinya mengungkapkan kejujuran. Meski begitu, Jaehan tetap ingin mendengar sendiri dari mulut pengawal pribadinya. "Panggil Hangyeom sekarang."

Lagi pula, ke mana pengawalnya itu pergi?

Dia dan adiknya sudah hampir membunuh satu sama lain, tapi Hangyeom bahkan tak terlihat sama sekali.

Yechan tak menjawab ataupun memberi gestur apapun, pemuda itu hanya melangkah keluar dan meminta tolong pada pengawal yang berjaga untuk mencari di mana pengawal Song berada karena peringatan Yang Mulia.

Selama itu, tak ada percakapan apapun. Jaehan memejamkan mata, sementara Yechan memilih bersandar di dinding dekat jendela.

Ia memang menyukai malam hari, tapi satu-satunya hal yang ia inginkan saat ini hanyalah tidur.

Ia tak butuh kasur empuk, bahkan bila diijinkan, berbaring di lantai yang keras ini pun ia tak akan keberatan.

Sampai beberapa menit berlalu dan akhirnya datang juga yang mereka tunggu-tunggu.

"Kau bosan hidup?" itu adalah kalimat pertama yang Hangyeom dapatkan begitu kakinya menginjak kamar di mana tuannya sudah menunggu.

Jaehan memejamkan mata, namun selalu tahu saat langkah Hangyeom datang mendekatinya.

Pengawal itu berlutut, menunduk dalam. Tak lupa dengan permintaan maaf atas ketidak-hadiran.

Yechan yang merasa tak salah apa-apa memilih diam. Lagi pula, sebenarnya ia tak peduli bagaimana cara mati orang-orang di sini. Itu bukan urusannya.

Jaehan ingin kemenangan dan Hangyeom melakukan segalanya untuk menyenangkan Jaehan. Sementara dirinya, tentu saja Yechan menganggap dirinya adalah korban.

Mengapa juga ia harus memikirkan bagaimana cara mati seorang selir?

Seolah mereka semua peduli pada kematian orang tuanya.

Mungkin memang sempat ada rasa bersalah di hatinya pada Hyuk tadi, tapi setelah dipikirkan lagi, sebenarnya dirinyalah yang lebih kasihan di sini.

Tiba-tiba Yechan teringat dengan kakaknya. Apakah Sebin baik-baik saja? Apakah kakaknya itu juga mengalami drama serupa?

Kekhwatiran merayap di hatinya.

Yechan harus mencari kesempatan untuk bertemu dengan Sebin nanti.

"Yang Mulia ..." Hangyeom tampak masih berusaha.

"Kau dari mana? Sudah lupa apa tugasmu sekarang?" pelan Jaehan bertanya, namun nada tajam tetap mampu dirasakan oleh siapapun yang mendengar.

"Maafkan aku, Yang Mulia. Tadi malam Raja memanggil dan meminta laporan atas apa yang terjadi hari ini."

Jaehan perlahan mengangkat kelopak matany dan Yechan bisa melihat sorot mata tajam di sana.

Dengan keremangan dan melihat apa yang Jaehan pegang di tangan kiri, Yechan merasa ngeri.

"Mengenai Selir Yang. Mengapa kau memberi tahu hal itu pada anak ini?"

"Bukankah Yang Mulia menginginkan kemenangan?"

Detik itu, Yechan melihat Jaehan langsung berdiri dan kilau tajam menyilaukan itu Yechan lihat untuk yang kedua kali.

Bilah tajam itu terhunus tepat di depan Hangyeom yang mematung.

"Lancang."

Ujung pedang menyentuh ujung bibir Hangyeom yang tiba-tiba mengeluarkan darah. Yechan yang menyaksikan adegan mengerikan itu terkesiap pelan.

Akan tetapi, wajah dingin sang pangeran tetap tak berubah. Justru Hangyeom masih bisa membuka mulut untuk memberi jawabannya yang berharap bisa menenangkan.

"Yang Mulia, bukankah anda sendiri tahu apa kelemahan putra mahkota selain kakak tertuanya?"

Itu adalah ibunya.



*

*

*



Jadi, begini rasanya tidur di istana?

Rasanya ... sama saja. Bagi Sebin bahkan lebih nyaman di gubuknya.  Sebin ingin pulang. Namun, ia tak bisa membiarkan Yechan sendirian.

Di dalam ruangan yang mungkin dua kali lipat jauh lebih besar dari gubuknya, Sebin tak hanya tidur sendirian. Ada beberapa orang di sana. Tentu, laki-laki semua.

Saat datang, ia tak cukup disambut, kecuali satu orang yang cukup ramah, bahkan dengan sopan menunjukkan di mana tempat yang bisa digunakannya untuk beristirahat.

Pria itu tinggi, sayang sekali Sebin lupa menanyakan namanya. Mungkin nanti saat mereka semua sudah bangun, Sebin akan memperkenalkan diri.

Ia tak mengantuk, karena saat di penjara tadi sudah cukup banyak tidur. Berbeda dengan Yechan yang terus terjaga. Sebin tahu adiknya itu menjaganya.

Yechan selalu segan menunjukkan kepedulian, namun Sebin bisa merasakan. Adiknya itu meyayanginya dengan cara yang berbeda. Jadi, Sebin tak berhak menanyakan.

Memiringkan tubuhnya ke arah tembok, Sebin terkesiap. Hampir lupa karena itu full beton dan bukan berasal dari kayu ataupun bambu. Kamar seorang pelayan bahkan selayak ini di sini. Lantas, mengapa banyak rumor yang beredar bahwa orang-orang di dalam istana tak berhati semua?

Ya, tidak peduli juga. Setidaknya dengan semua perbedaan, Sebin mengharapkan kebahagiaan untuk Yechan. Di tempat penuh kemewahan, ia ingin adiknya bisa meraih apapun yang diinginkan.

Sebin berjanji akan selalu ada, entah itu sebagai kakak, ataupun sebagai sesama pelayan di istana.

"Yechanie, kau pasti senang sekali di sini."

**


**

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
BloodLine ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang