26

340 57 16
                                    

Yechan mengayunkan pedangnya, masih kaku. Tentu. Mau sebagus apapun pedang yang ditempa untuknya, dia tetap lah seorang pemula.

Namun, Kim Jaehan tetap melatihnya dengan sabar.

Benar. Guru terbaik yang ia katakan tempo hari adalah dirinya sendiri.

Hal seperti mengajari pedang ini sebenarnya tak pernah Jaehan lakukan sebelumnya. Sesuatu yang tak pernah ia lakukan bahkan pada saudara-saudaranya.

Jangankan mengajari pedang, bicara pada mereka pun kadang Jaehan merasa enggan.

"Mereka sudah memiliki guru masing-masing, untuk apa aku membuang tenagaku?" katanya dulu.

Sekarang pun masih sama, ia tak akan pernah memperlakukan adik-adiknya sebaik sikapnya pada Yechan.

Sekali lagi, berulang kali jika perlu, akan ia katakan bahwa Yechan berbeda. Yechan tak akan ia didik menjadi seperti mereka.

Pangeran kedua sedikit menjadi pengecualian -tentu saja. Karena meski manja dan menjengkelkan, Jehyun adalah satu-satunya saudara yang Jaehan akui keberadaannya.

Mungkin karena itu juga ia dengan mudah memaafkan Jehyun meski kata-katanya akan tetap sama, "Aku hanya akan memberimu kesempatan satu kali."

Karena bagi Jaehan, hanya orang bodoh yang jatuh ke lubang yang sama dua kali. Prinsipnya tak akan pernah berubah tentang ini.

*

*

*

Matahari sudah tinggi dan sedikit mengintip dari balik jendela yang tirainya masih tertutup sebagian.

Yechan memandanginya. Tak peduli silau, ia hanya merindukan sinar matahari yang biasa menjadi temannya sehari-hari.

Sejak berada di istana dan Jaehan terus membuat dirinya tak bisa kemana-mana, jangankan matahari, ia bahkan merasa begitu beruntung jika ada angin yang menyapa kulitnya lagi.

Yechan mendesah pelan, ia tak bisa tidur, bagaimana bisa tidur jika kebas di tangannya semakin menyiksa setiap menitnya.

Jaehan tidur seperti bayi, tak bergerak sama sekali. Sampai-sampai Yechan berulang kali menaruh jari di depan hidung Jaehan hanya untuk memastikan masih ada kah napas yang keluar dari sana.

Yechan memejamkan mata, namun itu kembali terbuka. Menunduk, ia mendapati wajah polos sang pangeran dengan bibirnya yang sedikit terbuka saking lelap tidurnya.

Matanya berhenti di sana. Itu adalah bibir yang sama, bibir yang sudah lancang mencuri ciuman pertamanya.

Yechan menyentuh di mana jantungnya berada. Ia bukan seseorang yang tak percaya cinta, tapi ini terlalu cepat terjadi padanya.

Yechan terus berpikir dan melamun sampai bunyi pintu diketuk kembali terdengar.

"Hangyeom Hyung?" tanya Yechan.

"Ya, ini aku. Apa pangeran sudah bangun?"

"Belum, hyung ... bisakah kau masuk dan membantuku?"

Mungkin karena takut terjadi sesuatu, pintu pun Hangyeom buka tanpa izin pemiliknya. Rupanya tak hanya Hangyeom saja, namun Jehyun juga ikut melihat ke kamar kakaknya.

Hangyeom tampak terkejut, sementara Jehyun terlihat menutup mulut.

"Kalian-"

Yechan tahu jika Hangyeom pasti masih bisa berpikir jernih, karena itu ia memilih untuk menatap ke arah pangeran kedua.

BloodLine ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang