17

341 59 0
                                    

Semua hal tentang dirinya adalah aib.

Yang Hyuk tidak mengerti, mengapa dengan semua cerita buruk tentang ibunya, Raja masih tetap memilihnya menjadi putra mahkota.

Itu bahkan bukan lagi menjadi rahasia.

"Ibumu adalah seorang pengkhianat!"

Itu adalah kalimat buruk pertama yang ia dengar tentang ibunya.

Ia semula hanyalah anak-anak yang tidak tahu apa-apa selain bermain dan belajar, namun lambat laun ia mulai mengerti tentang apa-apa yang terjadi.

Para pangeran banyak yang membully, kecuali Jaehan -walau jelas matanya lah yang paling tajam menatap penuh rasa benci.

Meski begitu, dengan masa lalu yang seperti itu, ayahnya -sang Raja- tetap memilihnya.

Tak jarang, Hyuk merasa bahwa ia hanya akan dijadikan sebagai boneka, karena dibanding dirinya, Jaehan tetap terasa seperti pemegang kuasa tertinggi di kerajaan ini dan Raja tak pernah berniat untuk mengusik. Entah karena iba, atau sebenarnya raja tahu bahwa anak pertamanya itu mampu. Mengingat satu-satunya kelemahan yang dimiliki kakaknya hanya satu, penyakit jantung yang mungkin bisa merenggut nyawanya sewaktu-waktu.

Hyuk jadi memikirkan, apa Yechan sengaja dipilih Jaehan untuk hal tak terduga itu. Karena hubungan diantara pangeran tidak ada yang benar-benar dekat layaknya saudara. Semua bersaing untuk mengambil hati sang Raja. 

Jaehan ... mungkin akan melakukan kudeta.

Sayangnya, kakaknya itu begitu sulit ditebak. Belum lagi Hangyeom yang sekarang juga berdiri di belakangnya.

Yang pasti, Hyuk tak suka keberadaan Yechan di sekitar mereka. Bukan hanya tentang apa yang mungkin Jaehan rencanakan, tapi mengapa Jaehan memilih dekat dengan rakyat jelata seperti Yechan dibanding dengan adiknya, dalam hal ini dia.

Hari itu Putra Mahkota menolak untuk keluar kamar. Ia masih merasa terluka karena Jaehan yang tetap memalingkan wajah darinya. Namun, saat ia mengatakan alasannya, satu-satunya sahabat yang merupakan pelayan setianya memberi sebuah saran yang mungkin bisa ia gunakan.

Sebenarnya daripada saran, Hyuk menyadari itu adalah sebuah hasutan.

Ia bukan orang baik, tapi ... apakah hal ini benar-benar diperlukan?

Apakah ia masih memiliki pilihan?








"Jika Pangeran Jaehan bersama Shin Yechan, mengapa anda tidak mencoba menyandera kakaknya?"

*

*

*

Dapur istana adalah yang selalu pertama beraktivitas.

Masih dini hari, sinar bulan masih mendominasi.

Sebin sendiri merasa baru saja terlelap sebelum dibangunkan oleh rekan sekamarnya. Satu-satunya yang ia anggap peduli padanya.

Ia memaksa dirinya berjalan dengan cepat mengikuti langkah yang lainnya.

Suara kereta kuda pembawa barang, teriakan-teriakan yang mengintruksikan agar mereka berjalan dan bekerja dengan cepat, bahkan meski Sebin terbiasa dengan riuhnya suasana pasar, di sini jauh lebih ramai dan juga banyak orang yang berteriak dengan begitu keras.

"Kau! Kau anak baru?!"

Sebin yang sedang membawa sekarung kentang dipunggungnya itu mendongak, melihat pria paruh baya yang tampak galak dengan kumis hitamnya yang mencuat ke atas. Sebin bertanya-tanya siapa dia.

Namun, belum sempat ia menjawab, pria yang baik padanya tadi lebih  dulu menghampiri dan mengiyakan pertanyaan si pria yang lebih tua.

"Benar. Dia dibawa langsung oleh Pangeran tertua. Lebih baik kau bersikap baik padanya."

Sebin yang sedikit kepayahan tetap berusaha mengangguk dan menunjukkan senyuman -kecanggungan yang tak terelakkan.

"Jika begitu, letakkan saja itu di bawah meja dan ikuti aku. Bukan di sini seharusnya kau bekerja, uhm ... siapa namamu?"

"Sebin."

"Ya, Sebin. Ayo ikuti aku!" ulang sia pria tua.

Sebin yang sedikit kebingungan menatap si pria baik hati yang lagi-lagi ia lupa bertanya siapa namanya.

Namun, hanya anggukan yang diberikan untuknya. Seolah memahami apa maksudnya.

Meletakkan kentang-kentang itu, Sebin pun berlari kecil menyusul dua orang yang sudah berjalan jauh di depannya.

Tak ingin penasaran, Sebin meraih lengan pria baik itu dan bertanya, "Maaf, boleh aku tahu siapa namamu?"

"Kim Taedong." jawab pria itu cepat.

Kim ... Taedong?

Kim ...

"Semua pelayan yang dibawa oleh Pangeran Jaehan memiliki semacam tiket VIP. Jadi, bukan pekerjaan kasar yang akan kau lakukan nanti."

Sebin yang tengah tenggelam dalam pikiran mengerjap begitu mendengar kata VIP. Apa maksudnya?

Apa itu artinya ia akan berada di tempat yang lebih nyaman?

Sebin mendadak merasakan perasaan tak enak dalam hatinya.

Namun, apa dengan begini ia bisa lebih sering bertemu dengan adiknya?

"Kenapa?"

Bodohnya, dari semua hal yang bisa ia tanyakan, justru kata kenapa yang keluar dari bibirnya.

"Belum pernah ada yang bertanya kenapa atas kemurahan hati yang Pangeran Jaehan berikan."

Sebin terdiam. Namun, "Kenapa?"

Pria yang mengaku bermarga Kim itu tertawa pelan, "Kau lucu, Sebin-ssi."

Sebin menunjuk dirinya sendiri?

Lucu?

"Sudahlah. Ayo, cepat. Kepala pelayan bisa mengamuk jika salah satu bawahannya tak bisa berlari secepat kuda."

*

*

*

"Kau bisa menggunakan pedang?"

Itu adalah sore hari. Seharian ini Jaehan menghabiskan waktu di kamar, sementara dirinya juga tak diijinkan untuk keluar.

Yechan tak tahu apakah Jaehan memang selalu bersantai seperti ini atau hanya kebetulan saja bahwa sang pangeran sedang tak ada keperluan.

Merasa bosan, Yechan bahkan ketiduran. Anehnya, tak ada yang membangunkan, kecuali suara lembut dari sang Pangeran.

Benar, ia tak diijinkan ke mana-mana seperti tahanan. Tidur di kamar sang pangeran, walaupun Yechan bersikeras menolak saat Jaehan memberi perintah agar dirinya mau tidur di atas tempat tidur.

Jaehan adalah pangeran yang aneh, namun mengerikan. Yechan masih belum menemukan maksud dari apapun yang pangeran gila ini lakukan.

Ketika membuka mata, Yechan dapati Jaehan sudah rapi. Namun, bukan putih, melainkan Jaehan mengenakan pakaian kerajaan berawarna hitam dengan berhias batu-batu berlian. Cukup menyilaukan.

Kecantikan alami seperti ini, tak bisa sembarangan didapatkan.

Mengerjapkan mata, Yechan segera menegakkan punggungnya, dan meminta maaf. Tidak tahu juga mengapa justru kata maaf lah yang pertama keluar dari bibirnya.

Jaehan tersenyum, tangan tanpa sarung itu terulur. Dingin menyentuh pipi Yechan yang kebingungan.

"Yang Mulia-"

"Kau benar-benar seperti bayi, Yechan-ah. Bangunlah, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu."

BloodLine ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang