34

347 53 7
                                    

Seperti biasa, pagi itu Yechan lah yang terbangun lebih dahulu. Sementara Jaehan masih meringkuk dengan dengkuran pelan sebagai pertanda bahwa tidurnya nyenyak dan nyaman.

Cukup lama menatap langit-langit kamar, Yechan memutar bola matanya ke arah jendela. Berkedip pelan, ia baru menyadari bahwa langit masih gelap sekali, mungkin masih dini hari.

Karena tak bisa tertidur lagi, Yechan pun perlahan bangun dan berdiri. Memakai baju dan syal yang tergeletak sembarangan, Yechan keluar kamar hanya untuk berjalan-jalan.

Tentu saja, tak lupa ia membawa katana-nya.

Tak ada yang berubah, koridor di menara Kim memang selalu sepi, seolah tak berpenghuni. Hanya ada beberapa pengawal di beberapa titik. Membuat Yechan bertanya-tanya, mengapa Jaehan hanya menempatkan sedikit penjaga di sekitar kamarnya?

Tak tentu arah, Yechan hanya berjalan mengikuti ke mana kakinya melangkah. Beberapa tempat pernah ia datangi bersama Jaehan, selebihnya ia tak mengenali sama sekali tempat apa ini.

Entah karena indentitasnya sudah diketahui atau memang ada alasan lain yang mendasari mengapa penjaga yang melihatnya berkeliaran di hari gelap seperti ini justru tampak tak peduli.

Yechan ingin tahu, namun tak memiliki cukup niat untuk mencari tahu. Memilih membiarkan, Yechan meneruskan perjalanan meski tanpa tujuan.

Sampai ia tiba di sebuah tempat yang sama sekali berbeda.

Sepertinya itu sebuah taman. Ada air terjun buatan, juga bunga-bunga yang bermekaran. Itu indah meski berada di dalam kegelapan dan hanya diterangi oleh cahaya bulan.

Terlalu jauh, Yechan tahu ini bukan lagi wilayah milik Jaehan. Akan tetapi, siapa yang peduli? Selama tak ada yang menegur, Yechan akan tetap di sini.

Yechan pun duduk, menikmati kesendirian yang memang ia sukai. Sesekali ia memejamkan mata hanya karena ingin mendengar suara air. Pendengaran akan lebih tajam saat ia menutup salah satu inderanya.

Hatinya mencari ketenangan, namun debaran itu kembali datang.

Ia bahkan tak mengerti mengapa semalam bisa melakukan hal di luar batas pada seseorang yang ia sebut pangeran. Bahkan meski mereka saling berbalas perasaan, apakah ia benar-benar yakin mampu mempertanggung-jawabkan?

Yechan menarik napas cukup panjang, lalu perlahan ia hembuskan, berharap bersama dengan itu, kegelisahannya pun ikut hilang.

Namun, kesendirian yang ia harap akan bertahan rupanya tak berlangsung lama, karena pagi tiba begitu cepatnya.

Udara masih dingin, namun sinar matahari sudah meyembul di satu titik. Terpaksa Yechan beranjak sebelum ada yang mengusirnya pergi.

Suara gaduh dari dapur istana adalah yang pertama menyapa saat Yechan hendak kembali. Dalam hatinya berharap Jaehan belum terbangun dan mencarinya kesana kemari.

Yechan menyentuh tempat di mana jantungnya berada, karena terasa lagi degupan kencang begitu ia memikirkan sang pangeran.

Tiba-tiba saja Yechan ingin segera melihat Jaehan. Ia percepat langkah, hanya saja belum tiba di menara tempat Jaehan berada, ia melihat seseorang yang begitu lekat dalam ingatan masa lalunya, tak mungkin bisa ia lupakan sosok yang sudah merenggut nyawa kedua orang tuanya.

Orang itu ...

──────⊹⊱✫⊰⊹──────

Jaehan memakai jubah tidurnya dengan tergesa. Tak sempat ia membersihkan diri atau bahkan mengenakan pakaian kerajaan di saat genting seperti ini.

BloodLine ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang