08

364 57 4
                                    

Jaehan mematut diri, melihat ke arah cermin berkali-kali. Tak jarang ia bertanya pada pelayan yang membantu memakaikannya baju.

"Apakah aku terlihat bagus hari ini?"

"Bagaimana menurutmu? Apa aku harus menata rambutku?"

"Haruskah aku memakai warna selain putih hari ini?"

Masih banyak lagi, sampai-sampai membuat para pelayan kebingungan sendiri. Jaehan memang pangeran yang terkenal ramah dan hangat, namun tak pernah banyak bicara seperti ini juga.

Pada akhirnya, hari itu Jaehan tetap memakai pakaiannya yang biasa atas saran salah satu pelayan yang sudah bersama dirinya sejak lama.

Pakaian warna putih mencolok yang selalu disukai ibunya. Mungkin karena itu juga Jaehan meminta semua baju-bajunya diganti dengan warna putih dan hitam. Satu warna untuk mengenang ibunya dan yang lainnya untuk menunjukkan kedukaan yang ia rasa.

Salah satu bentuk protes juga untuk sang raja. Walau nyatanya tak pernah didengarkan lagi suara yang Jaehan punya sejak kehadiran Hyuk dalam hidup mereka.

Putra pertama pastilah menjadi kesayangan raja. Itu adalah salah satu omong kosong yang Jaehan dengar setiap kali keluar dari kamarnya.

Akan tetapi, bukan berarti itu sebuah kebohongan juga.

Tak masalah, Jaehan tak ingin merusak harinya dengan mengingat itu semua.

Ia senang. Senyumnya pun terlihat begitu cerah, rautnya juga berseri-seri. Sungguh kecantikan yang alami.

Gerbang sudah dibuka atas perintahnya, para pendaftar dipersilakan masuk ke tempat yang sudah ditentukan oleh Jaehan sebelumnya.

"Gyeom-ah, di mana Hyuk?"

Hangyeom belum menjawab, terlebih  dahulu ia mengingatkan tuannya agar memanggil nama sang putra mahkota dengan seharusnya, karena mereka berada di dalam istana sekarang.

"Ya, ya ... yang jelas, di mana dia? Aku ingin menemuinya terlebih dahulu."

Hangyeom tak bisa lagi memaksa. "Putra mahkota sudah menunggu anda di kamarnya, Yang Mulia ..."

"Hm, baiklah. Kau tunggu saja di sini."

"Yang Mulia-" tentu saja Hangyeom keberatan. Mengingat bagaimana hubungan keduanya, sebagai pengawal pribadi pangeran ini, Hangyeom merasa memiliki tanggung jawab tersendiri.

Namun, saat tangan Jaehan terangkat, tak ada yang bisa Hangyeom lakukan selain taat.

"Tenanglah, tidak akan terjadi sesuatu padaku, Gyeom-ah."

Jaehan pun tersenyum sebelum berjalan menuju istana di mana Yang Hyuk berada.

*

*

*

Menara Yang tak semewah miliknya memang, namun entah mengapa tetap membuat iri di hati Jaehan. Mungkin karena tempat ini adalah yang paling sering ayahnya sambangi daripada milik pangeran lainnya, termasuk dirinya.

Memang pantas jika Hyuk dijuluki sebagai putra mahkota yang membawa perpecahan di istana. Sekarang, para bagsawan kerajaan terbagi menjadi dua kubu, yang mendukung Hyuk, dan yang lainnya menentang tentu saja.

Sebagai pangeran tertua, Jaehan selalu berusaha menunjukkan bahwa ia ada di tengah-tengah, padahal siapa yang tidak tahu jika dirinya lah yang paling membenci si bungsu.

Tak peduli, Jaehan tak pernah mendengar apapun yang orang lain katakan tentang dirinya jika itu tak cukup menarik untuknya.

Jaehan menaruh tangan di belakang, seperti biasa. Ia pun masuk ke kamar Hyuk setelah meminta ijin pada dua pengawal yang menjaga.

Mungkin karena sudah biasa, ia tak menunggu lama sampai pintu itu akhirnya terbuka.

Di sana, berdiri sang putra mahkota yang sudah siap dengan baju tanpa lengan, menunjukkan betapa kuat dan kokohnya otot tangan, membuat iri siapapun yang melihatnya.

"Kupikir kau tak bersemangat dengan ini."

Jaehan menuju tempat tidur, duduk di sana sembari menyentuh selimut yang tentu sangat lembut.

Hyuk tak menjawab, Jaehan pun tak lagi membuka mulut.

Ingatannya kembali saat malam mereka pulang dari kota.



"Hyungnim ..."

Jaehan berada di kamar dan sudah mengenakan jubah tidurnya. Siapa sangka jika sang putra mahkota akan mendatanginya.

Sama seperti dirinya, Hyuk sudah memakai jubah tidur juga. Rambutnya yang turun membuat ketampanannya berkali lipat lebih terlihat.

Jika saja Hyuk bukanlah keturunan dari wanita yang paling dibencinya, mungkin Jaehan akan dengan senang hati memiliki adik seperti Hyuk ini.

Menatap Hyuk yang sudah berdiri di depan pintu, Jaehan berjalan mendekat, dan menyuruhnya untuk masuk.

Jaehan duduk di bangku panjang berlatar jendela besar.

"Ada apa? Malam-malam dan masih mengganggu  jam tidur kakak tertuamu."

"Hyungnim, kenapa kau melakukan itu?"

Jaehan memberikan tatapan penuh ejekan, mengangkat bahu, lalu memberi jawaban, "Aku hanya ingin mencari pelayan, seperti yang tadi aku katakan."

"Apakah mencari pelayan harus dengan mengalahkanku?"

Sejujurnya ia sudah lelah. Tapi, rupanya menyenangkan juga melihat adiknya yang memasang ekspresi kebingungan.

Hyuk mungkin kuat, namun di matanya, pangeran bungsu ini hanyalah bocah yang akan menangis jika Jaehan abaikan.

"Mm. Menjadi pelayanku haruslah bisa bela diri. Bagaimana bisa melindungiku, jika menjaga dirinya sendiri saja tidak bisa? Tidakkah kau berpikir hal yang sama?"

Hyuk melangkah, dengan lancang menggenggam pergelangan tangan Jaehan, bermaksud agar kakaknya itu mau memikirkan semuanya.

"Jika begitu, mengapa hyung tidak mengambil saja semua pengawal yang aku punya? Semua itu untukmu, Hyung tahu kan aku tidak akan keberatan memberikan segalanya pada hyung?"

Detik itu, tawa Jaehan terdengar hingga keluar. Bahkan saat tangannya masih dalam eratnya genggaman.

Itu mulai sakit, sedikit demi sedikit.

"Yang Hyuk ... apa kau sungguh tak mengerti maksudku?"

Hyuk terdiam. Mata yang tadi saling beradu, kini terputus dari jalinannya saat itu.

Begitu melihat kekosongan di mata si bungsu, Jaehan pun melanjutkan tanpa ragu, "Aku ingin mempermalukanmu ..."



BloodLine ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang