Hangyeom terbangun sore itu.
Terduduk, ia sejenak merenung. Kata-kata Yechan masih terekam jelas dalam ingatannya.
"Jika kau sudah cukup kuat untuk berjalan, berkunjunglah untuk melihat Jaehan. Hyung... tidak berharap dia akan datang dan meminta maaf, 'kan?"
Fisiknya ia yakini cukup kuat, namun nyalinya yang tak kunjung terkumpul.
Ia merasa telah mengkhianati Jaehan, tak pantas rasanya ia mendapat pengampunan, atau bahkan mendapatkan secuil maaf dari sang majikan.
Sejak dulu, ia tahu ayahnya dan menara Kim selalu berseberangan. Tak jarang ia membela Jaehan dengan lantang, namun hari itu, hanya karena Yechan, ia lupa pada siapa kesetiaan ia berikan. Ia lupa bahwa Yechan sudah menggantikan dirinya menjadi kesayangan sang pangeran.
Bukan rasa iri yang menjalar di hati, tapi Hangyeom merasa tak berguna sampai Jaehan tak mau memanggilnya lagi.
Hangyeom mendesah, merasa hatinya begitu sempit. Padahal sebenarnya ia paham bahwa perasaan Jaehan pada Yechan jelas berbeda dari apa yang Jaehan rasa pada prajurit rendahan seperti dirinya.
Rasa cintanya bukan hal yang sia-sia, hanya tak pantas bila ia berharap terlalu banyak bahkan menginginkannya seorang pangeran akan membalas.
Tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan dan penyesalan, Hangyeom memutuskan untuk membersihkan dirinya.
Mengambil pakaian, Hangyeom yang sejak terluka tak pernah keluar dari kamarnya kini sudah membulatkan tekad untuk berlutut meminta hukuman.
"Tuan ingin kami antar?" tanya salah satu penjaga. Hangyeom mengangkat tangan. Tanpa menjelaskan, para penjaga sudah paham bahwa ia ingin sendirian.
Tertatih, Hangyeom berjalan perlahan. Sesekali ia berhenti hanya untuk memastikan bahwa luka di dadanya tak kembali terbuka.
Jaehan yang murka bukanlah seseorang yang akan berteriak dan menyerang membabi buta, melainkan tetap tersenyum dengan pedang yang sudah terhunus tanpa musuh tahu betapa berbahayanya itu.
Dulu Hangyeom hanya menyaksikan, kini ia sendiri yang merasakan. Walau masih terasa bahwa Jaehan sedikit berbaik hati karena tak berniat membuatnya mati.
Jaehan tetap menyayanginya, Hangyeom tak ingin melepaskan keyakinan terbesarnya ini.
Susah payah dan butuh waktu yang tak sebentar hingga ia akhirnya tiba di tempat yang dulu sering disambanginya.
Sayangnya, begitu tiba di depan pintu kamar Jaehan, ia harus menelan kekecewaan. Penjaga memberi tahu bahwa pangeran tengah berkuda bersama Shin Yechan.
Hangyeom mengangguk, jadi Yechan sudah mulai berkuda sekarang?
Anak itu istimewa, semua mampu dia kuasai dalam waktu yang cukup singkat. Meski lemah dalam pelajaran karena cepat bosan, nyatanya Yechan selalu mendapat nilai sempurna di setiap ujian saat evaluasi akhir pekan.
Hangyeom tak menyangkal, Yechan memang pantas menjadi kesayangan. Ia ... benar-benar akan disingkirkan.
Hangyeom mencoba untuk menyusul, mengabaikan hatinya yang semakin patah di setiap ia melangkah.
Namun, lagi dan lagi, ia sudah terlambat karena Jaehan sudah pergi.
"Aku dengar mereka akan pergi ke menara jam. Tunggu saja di sini, Senior Hangyeom. Lukamu akan kembali terbuka jika kau memaksakan diri ke sana."
Hanya saja, luka di hatinya jauh lebih sakit saat ini. Hangyeom ingin bertemu Jaehan, ia tak ingin lagi kehilangan kesempatan yang sudah ia sia-siakan.
Ia tak bisa menunggu, Jaehan pun mungkin begitu.
Tanpa sang pangeran, ke mana lagi ia akan pergi? Karena kini, Kim Jaehan adalah satu-satunya tujuan yang ia miliki.
༺ღ༒ ֮ϐׁᥣׁׅ֪ᨵׁׅׅᨵׁׅׅժׁׅ݊ᥣׁׅ֪ꪱׁׁׁׅׅׅ݊ꪀꫀׁׅܻ݊ ༒ღ༻
"Kau tak ingin tahu mengapa ibumu bisa bertarung melawan Ayah Hangyeom saat itu?"
"Bagaimana jika ternyata kau juga merupakan sebagian dari garis keturunan kerajaan?"
"Ibumu ... dia adalah bibiku, Yechanie."
Hangyeom yang tak sengaja mendengar percakapan antara Jaehan dan Yechan sekali lagi bertanya untuk meminta kepastian akan kebenaran.
"Yang Mulia, apakah yang kau katakan pada Yechan tadi ... adalah sebuah kebenaran?"
Jaehan tersenyum, "Kau tahu bagaimana aku."
Kim Jaehan tak pernah menjelaskan apapun pada siapapun. Percaya atau tidak, Jaehan tak peduli.
Hangyeom menunduk. "Apa anda sudah tahu sejak melihat Sebin yang menghampiri Yechan malam itu?"
"Hmm ... bagaimana menurutmu?"
Meski ia yang selalu ada di sisi sang pangeran, bahkan membantu memenangkan Yechan dalam pertempuran, nyatanya Jaehan tetap tak mau memberitahu kebenaran sepenting ini padanya?
"Tapi, Yang mulia ... ini menyangkut ayahku juga. Mengapa anda tak menceritakan apapun padaku sebelumnya?"
Tatapan Jaehan tampak berubah, lebih serius, lebih tajam. Kesan santai yang tadi ia tunjukkan sirna, pergi entah kemana. Hangyeom juga menyadarinya, namun merasa tak berdaya.
"Dosa ayahmu ... mengapa harus kau yang menanggungnya?"
Jaehan menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan-lahan. Desahannya terdengar sesak.
"Itu yang membuat sikapku padamu sangat berbeda dari perlakuanku pada Yang Hyuk, Gyeom-ah. Akan tetapi, kau menghancurkan itu. Kau tak tahu duduk perkaranya, tapi berani menyerang Yechan tanpa bertanya. Kau seharusnya paham, kau bahkan tak bisa dibandingkan dengannya ..."
Saat itu juga Hangyeom menjatuhkan pedangnya dan berlutut.
Hangyeom mengabaikan rasa sakit di dadanya, di mana darah mulai merembes keluar karena lukanya yang kini terbuka lagi. Tak peduli, ia tetap memilih untuk memohon agar Jaehan memberinya hukuman yang setimpal dengan kesalahan yang sudah ia lakukan.
Namun, alih-alih menanggapi, Jaehan justru diam dengan mata yang sudah terpejam.
༺ღ༒ ֮ϐׁᥣׁׅ֪ᨵׁׅׅᨵׁׅׅժׁׅ݊ᥣׁׅ֪ꪱׁׁׁׅׅׅ݊ꪀꫀׁׅܻ݊ ༒ღ༻
Mengapa anda begitu tertarik dengan Shin Yechan ini, Yang mulia?"
Jaehan menatap Hangyeom sebelum kembali memalingkan wajahnya, menatap pemandangan luar kamarnya.
"Hmm ... entahlah. Mungkin karena aku merasakan perasaan familiar saat menatap matanya."
Dulu Jaehan tak tahu, tapi setelahnya ia menyadari, ternyata mata Yechan sama seperti mata seorang wanita pemberani, satu-satunya yang membela ibunya di saat semua orang mengarahkan ujung pedang pada sosok ratu yang sudah dibuang sia-sia oleh suaminya.
Dari semua waktu, mengapa ia baru bertemu dengan Yechan malam itu?
Ini akan selalu menjadi penyesalan terbesar yang Kim Jaehan miliki.
Bahkan meski dulu ia selalu ingin menyerah dan mengharapkan kematian, kini karena Shin Yechan, Jaehan jadi berharap agar ia memiliki umur yang sangat panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
BloodLine ✅
FanfictionKim Jaehan is a prince who failed to become crown prince, met Yechan who intended to take revenge, but ended up falling in love with the prince