Hangyeom tak pernah berlaku lancang. Begitu tahu bahwa pangeran tertua sudah bersama pelayan kesayangannya di dalam gudang senjata, ia hanya berdiri di luar pintu, meski masih samar mendengar apa yang mereka bicarakan.
Bahkan meskipun Yechan berasal dari kasta terendah, apa yang dikatakannya adalah kebenaran.
Cukup lucu karena pangeran justru mendengar itu dari seorang anak kecil yang baru saja menginjak delapan belas tahun.
Hangyeom menghela dan memutuskan untuk berhenti menguping. Ia menegakkan punggung dan kini hanya fokus untuk menjaga tempat ini sampai pangeran selesai.
*
*
*
"Gyeom-ah, panggilkan dokter kerajaan besok."
Hangyeom yang tengah membawa lentera untuk menerangi jalan bagi pangeran mengangguk, tanpa banyak bertanya, tanpa ada sedikitpun ekspresi di wajahnya.
Yechan yang berada di sisi Jaehan pun membuka mulutnya, "Kenapa tidak malam ini saja? Kau sudah terlihat tidak baik sejak sore tadi."
Jaehan tak mengatakan apa-apa selain hanya tersenyum begitu tipisnya.
Merasa tak akan mendapatkan jawaban, Yechan tak lagi bertanya. Ia kembali berjalan dengan pandangan lurus ke depan, tanpa tahu bahwa di sisinya Jaehan memperhatikan.
Yechan ... meski terlihat acuh tak acuh, namun anak itu sebenarnya cukup perhatian. Jika dalam kondisi normal, mungkin ia akan menjawab dengan senang hati apapun yang Yechan lontarkan padanya. Sayangnya, ia terlalu lelah. Sisa tenaganya sudah ia gunakan untuk memberikan perintah pada Hangyeom tadi.
Jaehan bahkan berharap agar bisa segera tiba di kamarnya, memejamkan mata sejenak, walau selamanya terasa lebih menggiurkan untuknya.
Dari sisinya, Jaehan bisa melihat Yechan yang menggenggam erat pedang yang sudah dipilihnya. Katana berwarna hitam legam, sebenarnya itu cocok dengan kepribadian Yechan.
Jaehan bertanya-tanya, apakah waktu seratus hari cukup untuk menggapai semua ambisinya?
Apakah Yechan bisa melakukan semuanya?
Mendesah, Jaehan menolak memikirkannya.
*
*
*
Hutan pinus telah terlewati, menara Kim juga sudah berada di depan mata, namun saat Jaehan ingin berbelok ke tempat di mana kamarnya berada, salah seorang pengawal -sekaligus mata-mata berlutut di depannya.
"Ada apa?"
Pengawal itu berdiri, lalu mendekat, dan mengatakan sesuatu pada Jaehan.
"Katakan aku mengizinkan."
"Yang Mulia-"
Jaehan mengangguk, "Tak apa, aku juga penasaran apa yang akan dikatakan adikku padanya. Jadi, pastikan untuk terus mengawasi mereka."
"Bagaimana dengan Pangeran kedua, Yang Mulia?"
Jaehan lama terdiam, namun itu berakhir dengan dia yang tak mengatakan apa-apa, dan meminta pengawal itu untuk pergi dari sana.
Sementara cukup jauh dari sang pangeran, Yechan dan Hangyeom hanya berdiri mengamati. Tak ada percakapan ataupun interaksi yang terjadi, sampai Jaehan menatap keduanya, barulah mereka berjalan menghampiri.
"Gyeom-ah, pergilah temui Pangeran kedua ... jika bertemu, katakan padanya bahwa aku hanya akan mengampuninya satu kali ini saja. Setelahnya, tak akan ada lagi kesempatan untuknya."
Lagi-lagi, tanpa banyak bertanya, Hangyeom mengangguk dan pergi dari sana.
Saat itu, barulah Yechan membuka suara, "Hyung, kau sudah memiliki anjing penjaga yang sangat setia, mengapa masih mencari anjing yang lainnya?"
Jaehan menjawab tanpa menatap, "Bagiku ... kau bukan sekedar anjing penjaga, Yechan-ah."
Bukan sekedar anjing penjaga?
Kemudian, Yechan bertanya dengan lancangnya, "Hyung, apa kau menyukaiku?"
*
*
*
Jehyun berjalan mondar-mandir di kamarnya sendiri. Ia teledor kali ini. Ia benar-benar terlena pada rayuan adik bungsunya.
Hanya karena satu pujian. Jehyun ingin sekali memukul kepalanya, "Sejak kapan aku menjadi begitu murahan?"
Akan tetapi, kalimat yang Hyuk lontarkan benar-benar penuh ketulusan. Belum lagi wajah putus asanya saat kesal hanya karena seorang pelayan, Jehyun tidak tega melihatnya.
Memangnya siapa yang akan menyangka jika Sebin adalah permintaan yang Hyuk inginkan?
Menggigiti bibir dan kukunya sesekali, Jehyun berharap Jaehan tak segera mendengar kelancangan yang sudah ia lakukan malam ini.
Walau itu sia-sia, karena hampir semua tempat memiliki telinga, apalagi kepala pelayan adalah salah satu pengikut kakaknya yang setia.
Masih berkubang dalam kekalutan, tak lama Jehyun mendengar kamarnya sudah diketuk entah oleh siapa, membuatnya berprasangka bahwa itu adalah suruhan kakaknya.
"Siapa?" tanyanya waspada.
"Utusan dari Pangeran Jaehan, Song Hangyeom, Yang Mulia ..."
Mendengar nama itu, kekhawatiran berubah menjadi ketakutan. Jaehan bahkan langsung meminta pengawal terbaiknya untuk datang?
Dia pasti marah sekali ...
"M-masuklah!"
Hangyeom menggumamkan entah apa, itu bahkan tak bisa lagi Jehyun dengar dengan jelas karena tremor yang mulai ia rasa di seluruh tubuhnya.
"Haish! Yang Hyuk, Sialan!" umpatnya pelan.
Sampai pintu kamarnya akhirnya terbuka, dan mau tak mau Jehyun harus menunjukkan sikap tenang seperti biasanya. Berusaha keras ia menyembunyikan tangan dinginnya di balik punggung, tertutup jubah tidur kebesaran milik sang putra mahkota yang bahkan ia lupa untuk menggantinya.
Hangyeom menekuk lutut, tanpa menatap sang pangeran -karena itu tak diperbolehkan, kecuali jika mereka sudah mengizinkan. Seperti yang Jaehan lakukan.
"Ada pesan untukku?"
Hangyeom dengan sopan menjawab iya, diikuti pesan dari Jaehan. Semuanya, tanpa ada satu kata pun yang terlupa.
Tentu saja, pesan itu membuat Jehyun semakin gemetar karenanya.
"Apa aku bisa menemuinya sekarang?"
Hangyeom meminta maaf, "Pangeran tertua sedang beristirahat. Anda bisa menemuinya besok, Pangeran."
Jehyun berdecak pelan, lalu meminta Hangyeom untuk keluar. Lama ia menimbang, haruskah membiarkan Jaehan istirahat, atau tetap mendobrak masuk untuk bertekuk lutut memohon ampun.
Akan tetapi, ini sudah larut sekali. Desahan napas yang begitu berat Jehyun embuskan. Kembali duduk di ranjangnya, ia akhirnya mengambil keputusan untuk pergi ke kakaknya besok saja.
Lagi pula, ia sudah lelah. Yakin juga jika Jaehan tak akan tega terlalu lama marah padanya.
Berpegang pada keyakinannya yang tak seberapa, pangeran kedua pun terlelap juga pada akhirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BloodLine ✅
FanfictionKim Jaehan is a prince who failed to become crown prince, met Yechan who intended to take revenge, but ended up falling in love with the prince