43

262 44 6
                                    

Begitu sudah rapi, Hyuk bergegas untuk kembali. Ia benar-benar gelisah dan merasa tidak bisa meninggalkan Sebin bersama sang kakak sendirian.

Melangkahkan kaki ke tempat  di mana ruang tidurnya berada, saat itu pula Hyuk melihat Jehyun menerima sesuatu dari pengawalnya.

"Hyungnim!" panggilnya.

Jehyun menoleh, mata kucingnya menyipit karena tersenyum. "Ini obatnya. Oleskan dua kali sehari. Kurasa kau juga perlu memanggil dokter untuk minta obat penurun panas."

Hyuk menerima dengan senyum lega di wajahnya. Ia pun mengiyakan saran dari Jehyun, bahkan membungkuk berkali-kali hanya untuk berterima kasih.

Tertawa, Jehyun menepuk bahunya, "Jika aku tidak mengenalmu, aku bisa menyangka bahwa kau benar-benar jatuh cinta padanya, Hyuk-ah."

Hyuk yang saat itu tersenyum, langsung terdiam. Namun, berbeda dengan wajahnya yang berubah datar, hatinya justru sebaliknya.

"Ya, sudah. Aku pergi dulu." Jehyun sempat melangkah, namun kembali menoleh saat teringat, "Ah, Hyuk-ah! Dari tadi dia terus mencarimu."

"Mencariku?"

Jehyun mengangguk. Dengan senyum yang masih terpatri di wajah cantiknya, pangeran kedua pun meninggalkan putra mahkota yang wajahnya sudah bersemu karena fakta yang ia berikan itu.

Hyuk yang kehilangan kata-kata saat mendengar Sebin mencarinya pun memasuki ruangan di mana pelayannya itu berada. Sedikit ragu, canggung, lebih dari itu ia merasa hatinya berdebar-debar tak menentu.

"Hyuk-ah ..."

Hyuk berhenti, sekarang bahkan debaran itu lebih parah lagi, seolah tak bisa ia tangani.

Suara Sebin sangat merdu, manis seperti madu. Hanya saja, ia tak menyangka jika Sebin masih akan memanggil namanya dan bukannya panggilan seperti biasanya.

Mungkin karena melihat raut datarnya, Sebin yang tadinya memanggil dengan begitu lembut, kini mencoba untuk bangun, "Ah! Maafkan aku, Yang Mulia-"

"Jangan banyak bergerak. Berbaringlah lagi." Hyuk mendesah, lalu membungkuk hanya untuk membantu Sebin yang terlihat lemah sekali.

Suhu tubuhnya masih menyengat, terasa panas yang amat sangat.

Begitu pelayannya itu sudah berbaring, Hyuk mengambil kain yang tadi terjatuh, dan kembali mengompress dahi Sebin.

"Kau bisa memanggil namaku." Hyuk mungkin tak menyadari bahwa ia bahkan melembutkan suara berkali-kali lipat dari saat ia bicara dengan orang lain.

"Sebin-ah ... jangan takut padaku."

"Aku tidak takut."

Hyuk tertawa kecil, "Baguslah kalau begitu." Lalu, ia teringat dengan obat yang Jehyun berikan. Dilanda dilema, Hyuk tak tahu apakah harus dia atau yang lain untuk mengoleskannya?

Yang tentu saja ia tak akan rela siapapun menyentuh miliknya.

"Yang Mulia, ada apa?"

"Hyuk-ah."

Pipi Sebin memerah, tidak tahu karena demam, atau karena Hyuk yang bersikeras.

"Maafkan aku, tapi boleh aku mengobatimu?"

Sebin melihat sesuatu di tangan Hyuk, dengan lirih ia bertanya, "Obat?"

Hyuk mengangguk, "Karena aku, analmu jadi terluka."

Tentu saja jawaban Hyuk semakin membuat Sebin merasa malu luar biasa. Teringat semalam, ingat dengan apa yang sudah mereka lakukan.

"Tidak perlu malu, hanya ada aku."

Hyuk kembali meminta maaf sebelum menyibak selimut yang  menutupi tubuh Sebin sejak semalam.

Namun, belum juga Hyuk membuka kotak obatnya, Sebin kembali menyela, "Hyuk-ah, kenapa kau begitu berubah?"






༺ღ༒ ֮ϐׁᥣׁׅ֪ᨵׁׅׅᨵׁׅׅժׁׅ݊ᥣׁׅ֪ꪱׁׁׁׅׅׅ݊ꪀꫀׁׅܻ݊  ༒ღ༻







Berubah?

Benar. Ia berubah.

"Aku ... tidak tahu."

Ingin rasanya Hyuk bertanya, apakah ini karena dirimu, Sebin-ah?

Namun, ia terlalu pengecut untuk melakukan itu.

Hyuk kembali mengangkat selimut, membuka sedikit kaki Sebin yang meringis menahan perih.

"Maafkan aku, tahan sebentar dulu."

Sebin mengangguk. Merasa canggung, merasa malu, tapi Hyuk bahkan sudah melihat semuanya semalam, rasa malunya itu apakah masih berguna?

Lagi pula, itu tak lama. Kata Hyuk padanya.

Begitu rasa dingin itu pergi, Hyuk menyelimutinya lagi.

"Tanganmu jadi kotor."

Hyuk menatap jarinya, menggeleng setelahnya, "Tak apa."

Keheningan datang setelahnya.

Sebin yang memejamkan mata, sementara Hyuk tak henti menatapnya.

"Hyuk-ah ..." pelan Sebin memanggil.

"Ya."

Kelopak mata yang tadi tertutup, kini perlahan kembali terbuka. Dua netra beriris gelap itu beradu, saling memandang dengan perasaan yang mereka sendiri tak mengerti apa artinya itu.

"Pangeran Jaehan, apa kau masih mencintainya, Hyuk-ah?"

Mata Hyuk membola.

"Maaf, karena aku lancang bertanya."

"T-tidak . Tidak apa-apa, tapi bagaimana kau tahu soal itu?"

Sebin tersenyum, "Pangeran kedua mengatakannya padaku. Aku bertanya karena jika benar, maka aku akan merasa sangat bersalah padamu."

"Mengapa begitu?"

"Karena seharusnya aku bisa menahan diri saat kita melakukan itu malam tadi."

Untuk sesaat Hyuk terdiam.

"Kau menyesal?" tanyanya kemudian.

Akan tetapi, Sebin memberi sebuah gelengan pelan. "Justru aku harus minta maaf padamu, karena aku kau jadi tidak bisa menjaga perasaan cintamu itu."

Hyuk kehilangan kata-kata. Tampaknya Jehyun hanya menceritakan tentang Jaehan. Pangeran kedua jelas tak memberitahu Sebin tentang betapa bejat perilakunya.

Hyuk merasakan sebuah tamparan tak kasat mata. Perih, bukan di wajahnya, tapi di hati terdalamnya.

Ia merasa malu, terlebih dengan tatapan polos yang Sebin layangkan padanya saat itu.

"Jika aku berjanji hanya ada dirimu setelah ini ... Sebin-ah, apa kau akan mempercayaiku?"

BloodLine ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang