07

385 57 12
                                    

Jaehan berjalan sendirian di lorong, menuju tempat di mana hatinya berada. Seseorang yang mampu membuat dirinya membenci raja sebegitu dalamnya. Kelemahan terbesar yang pernah dimilikinya.

"Ibu ..."

Itu adalah sebuah penjara. Berada di bawah tanah tanpa ada setitik pun cahaya yang bisa memasukinya.

Bahkan dirinya pun akan kehilangan semua kekuatan dan keangkuhan begitu masuk ke dalamnya.

Tak ada harapan, tak ada kebahagiaan, hanya ada kesedihan dan keputus-asaan.

"Yang mulia ..."

Jaehan berjongkok, tak peduli jika pakaian putih bersihnya kini kotor dan penuh lumpur. Ia hanya ingin melihat ibunya lebih jelas.

Penjara itu tak manusiawi. Tak ada siapapun yang masuk ke sana bisa berdiri ataupun meluruskan kaki.

Itu adalah tempat terburuk yang bisa Jaehan bayangkan ada di dalam istana megah yang di atasnya penuh dengan kemewahan.

Bisa dibayangkan seberapa dalam dendam atas rasa sakit setiap kali Jaehan mengunjungi ibunya seperti ini.

Ia bisa saja mengeluarkan hanya dengan satu perintah, tapi jika melakukan itu, gelar pangerannya akan dicabut. Jaehan tak bisa membiarkan karena nama yang disandangnya kini hanyalah satu-satunya jalan untuk membalaskan dendam.

"Ibu, berhenti memanggilku begitu."

Wanita cantik yang sekarang lusuh ini dulu adalah seorang permaisuri, namun kini dipermalukan sampa titik di mana tak ada lagi yang mampu menginjak lebih dari ini.

"Yang mulia, ibu dengar kau sakit? Benarkah? Bagaimana keadaanmu sekarang?" nada penuh kekhawatiran jelas sampai di hati Jaehan yang langsung dipenuhi kehangatan.

Pangeran tersenyum sedih, tangannya masuk ke dalam jeruji hanya untuk mengusap pipi ibunya yang kini tak lagi halus.

Jaehan menunduk, mengangguk. Ia berkata tak apa-apa, ia baik-baik saja. Namun, air mata jatuh semakin deras tanpa bisa ia cegah.

"Pangeran, anakku ... jangan menangis. Ibu tidak apa-apa. Kau tahu, di bawah sini jauh lebih aman untuk ibu daripada berada di sisi ayahmu."

Jaehan mengangguk. Ia tahu itu. Hanya saja, luka di hatinya tetap menganga. Tak tahu di mana obatnya. Apakah itu waktu, atau memang ia akan terus dikutuk seperti itu.

Jaehan mendongak saat merasakan usapan pelan di punggung tangan.

"Sekarang, ceritakan semua pada ibu."

Jaehan terdiam.

"Segala yang ada di pikiran dan hatimu, kau tak ingin membaginya dengan ibumu?"

**

"Kau akan datang?"

Sebin yang sedang menyiapkan sarapan pagi itu menghentikan sejenak kegiatannya dan menatap sang adik yang sedang membantu mengasah pisau dapur.

Yechan memang seperti itu. Sebentar memakinya, namun tak lama akan datang padanya dan bersedia membantu jika memang perlu. Tentu Sebin hanya harus menutup mulut yang kata Yechan memuakkan itu.

Jangan memerintahnya, biarkan saja Yechan melakukan semua sesuai kehendaknya. Walau terkadang, Sebin tak tahan juga untuk tak berbicara.

"Mereka mencari pelayan, sementara aku ingin menjadi pengawal."

Sebin mengangguk, mengerti dengan kegelisahan yang Yechan rasakan.

Menjadi pelayan istana tentu bergaji besar daripada pekerjaan yang mereka geluti sekarang, namun bagi Yechan itu pasti menyulitkan.

Mereka memang miskin, tapi Sebin selalu menyiapkan semua kebutuhan adiknya. Sesepele membuat teh -mereka jarang minum teh. Mengingat teh adalah jenis minuman yang hanya ada di kediaman raja dan para orang-orang kaya.

Ah! Tapi, mungkin hal sederhana seperti menuangkan air ke dalam cangkir Yechan bisa melakukannya.

"Tapi, bukankah aneh, Yechan-ah ..."

Yechan menoleh dan menatap sang kakak. Tak bicara, namun sorot matanya menyiratkan tanda tanya.

Sebin melanjutkan, "Jika hanya mencari pelayan, mengapa syaratnya harus mengalahkan putra mahkota?"

Sebin sedikit merona saat menyebut putra mahkota, mengingat ia yang tak tahu apa-apa dan begitu terkejut saat mendengar orang itu memanggil Pangeran pertama dengan sebutan 'hyungnim'.

Merasa bodoh juga karena Yechan ternyata mengetahuinya.

Sebin selalu menganggap Yechan masihlah anak kecil yang tak tahu apa-apa dan tak paham bagaimana kerasnya dunia bekerja. Nyatanya, yang naif itu sebenarnya dirinya.

"Hyuk sangat kuat, jika kau datang, apa kau akan baik-baik saja, Yechan-ah?"

Tentu bukan maksud Sebin untuk merendahkan adiknya. Hanya saja, melihat Hyuk ...

Memikirkan itu membuat Sebin semakin tak mengharapkan Yechan datang.

"Aku masih memiliki satu malam lagi untuk berpikir."

Yechan meletakkan pisau yang tak lagi tumpul itu ke meja. Menyantap sarapannya, ia pun pergi tanpa kata, seperti biasa.

Sebin hanya bisa menghela sembari menatap punggung lebar adiknya.

*

*

*

"Bagaimana? Apa mereka akan datang?"

Song Hangyeom masih berlutut, mengangguk, lalu menunduk.

"Tidak yakin dengan kakaknya, tapi adiknya berkata akan memikirkan lagi malam ini."

Jaehan jelas tak puas. Ia ingin jawaban pasti. Yechan harus kemari.

"Maaf lancang, Yang Mulia ..."

Jaehan meletakkan cangkir tehnya, menatap satu-satunya pengawal yang ia ijinkan masuk ke dalam kamarnya, "Katakan."

"Mengapa anda begitu tertarik dengan Shin Yechan ini?"

BloodLine ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang