39

309 54 4
                                    

Yechan mengusap peluh yang jatuh dari keningnya. Lelah, namun tak mengapa.

Selama Hangyeom dan Jaehan sakit, ia berlatih bersama prajurit lain.

Awalnya banyak yang menolak saat ia datang, cenderung menghindar, dan menjaga jarak. Yechan juga tak terlalu pusing memikirkan. Ia paham bahwa berita tentang dirinya pasti sudah menyebar dan mereka dengar.

Ia memutuskan untuk berlatih sendiri selama beberapa hari. Yechan bahkan menambah waktu untuk bermeditasi. Perkataan Jaehan tentang mengendalikan pedang mungkin sama artinya juga dengan dirinya yang harus mampu mengontrol emosi.

Yechan terus melakukan rutinitas itu hingga ada satu orang yang lebih dulu mendekati. Lambat laun, banyak yang penasaran padanya, sampai akhirnya mereka pun berlatih bersama.

Yechan yang biasa diam kini juga mencoba untuk sedikit terbuka. Masih tak banyak bicara, namun berusaha mendengar dan menanggapi yang kira-kira memang ia pahami.

"Bagaimana rasanya menjadi kesayangan pangeran Jaehan, Yechan-ah?" tanya salah satu dari mereka.

"Entahlah, hanya saja aku senang karena hidupku memiliki tujuan baru."

Percakapan mereka berlanjut, sebagian besar memang hanya membicarakan Jaehan. Yechan jadi tahu ternyata banyak juga yang mengagumi dan berkata bahwa Jaehan menjadi panutan.

Yechan cukup lega mendengarnya.

Menatap matahari yang sudah tergelincir, Yechan pun pamit pergi.

"Aku harus kembali sebelum gelap. Hyungdeul, terima kasih sudah menemaniku berlatih hari ini."

Mereka semua mengangguk dan melambaikan tangan ke arah Yechan yang sudah berlari menjauh dari tempat latihan.

Namun, sebelum masuk ke kamar sang pangeran, Yechan berbelok dulu ke tempat khusus mandi para prajurit untuk membersihkan diri.

Dirasa cukup, Yechan pun kembali. Kali ini berjalan cukup santai melewati koridor sepi.

Hari-hari sebelumnya ia sering terlambat kembali ke kamar Jaehan hanya untuk menjenguk Hangyeom. Walaupun sering ditolak, Yechan tak pernah mengambil hati dan akan datang lagi esok hari.

Sampai kemarin, akhirnya Hangyeom menyerah dan mengizinkannya untuk masuk ke kamar yang tanpa disangka itu cukup mewah.

Hangyeom yang masuk ke dalam pasukan elit jelas akan mendapat fasilitas terbaik. Belum lagi pengaruh ayahnya. Kehidupan penuh kemudahan yang tentu banyak orang dambakan.



"Kenapa kau bersikeras ingin menemuiku, Yechan-ssi?"

Yechan duduk di dekat Hangyeom berbaring. Dengan matanya yang selalu sayu, ia menatap pria yang dadanya kini dibebat dengan perban.

Jaehan sepertinya sudah memperhitungkan bagaimana membuat seseorang kesakitan tanpa harus menghilangkan nyawanya.

"Jaehan Hyung juga sakit setelah melukaimu. Apa Hyung sudah tahu?"

Hangyeom memalingkan muka, "Ya. Aku sudah mendengarnya. Apa Yang Mulia baik-baik saja?"

Yechan mengangguk, "Untuk saat ini, kurasa ... iya."

Keduanya jatuh dalam keheningan yang cukup panjang. Yechan juga tak berniat membuka percakapan, meski ia masih merasa belum waktunya untuk pamit pergi. Alasan yang ia sendiri tak mengetahui mengapa masih ingin berlama-lama di tempat asing ini.

Beruntung Hangyeom akhirnya membuka suaranya, "Yechan-ssi, mengapa kau melukai ayahku tempo hari?"

Yechan menatap Hangyeom lekat, tanpa ekspresi ia menjawab tanpa beban sama sekali, "Ayahmu membunuh kedua orang tuaku di depan mataku."

"Kau yakin itu ayahku?"

"Aku tidak pernah meminta siapapun untuk percaya." walau pengecualian bagi Jaehan, karena sang pangeran tak pernah sekalipun meragukan.

"Jika memang ceritamu itu benar, maka sudah sepantasnya ayah mendapatkan ganjarannya. Begitu pun diriku yang terluka, karena memilih untuk membela alih-alih bertanya lebih dulu tentang kebenarannya."

Yechan terkekeh pelan, "Tak apa. Bagaimana pun juga orang itu adalah ayahmu. Lagi pula, orang yang tak memiliki kekuatan apapun sepertiku sudah biasa jika jarang dipercaya."

"Yechan-ssi ..."

"Tak apa, hyung." bersamaan dengan itu Yechan berdiri, "Jika kau sudah cukup kuat untuk berjalan, berkunjunglah untuk melihat Jaehan. Hyung... tidak berharap dia akan datang dan meminta maaf, 'kan?"







Sayangnya, sampai hari ini pun Hangyeom tak kunjung menjenguk Jaehan. Yechan berprasangka baik, mungkin Hangyeom masih kesusahan  untuk berjalan.

Jaehan sendiri tak pernah menyinggung nama pengawalnya itu setiap kali mereka berbicara.

Mendesah pelan, Yechan membuka pintu kamar. Begitu masuk, ia melepas syal dan meletakkan katana-nya seperti biasa.

Berjalan sedikit lebih ke dalam, ia dapati Jaehan yang duduk dengan kertas-kertas yang berserakan.

"Apa yang kau lakukan?"

"Bekerja. Apa lagi?"

Yechan lagi-lagi mengembuskan napas lelah. Ia mendekat dan mengambil pena di tangan Jaehan, merapikan juga kertas-kertas yang ia tak mau tahu isinya apa.

"Kau punya banyak asisten. Apa gunanya mereka jika pangeran yang sedang sakit pun harus mengerjakan sendiri? "

Jaehan, bukannya marah, justru menyangga dagu, tersenyum setelah itu.

"Kau manis sekali, Yechanie ... Baiklah jika begitu maumu, aku siapa bisa melawanmu?"

Yechan memutar bola mata. Selesai merapikan meja, ia menarik Jaehan. Lembut, namun tetap tegas. "Istirahatlah. Aku akan meminta pelayan untuk membawakan makan malam."

Seperti anak baik, Jaehan menurut kali ini. Akan tetapi, memang sejak sakitnya kambuh, Jaehan menjadi pribadi yang manis sekali. Sebenarnya cukup mengkhawatirkan bagi Yechan, karena meski manis dengan tingkah manjanya, tapi ia merindukan Jaehan yang bermulut pedas seperti sebelumnya.

Setelah meminta pelayan membawakan makan malam, Yechan kembali duduk di sisi Jaehan yang sudah berbaring dengan tenang.

Tangan keduanya saling menggenggam. Sederhana, namun menenangkan, juga ...  mendebarkan.

"Bagaimana latihanmu, Yechanie?"

Bahkan sekarang Jaehan memanggilnya dengan manis sekali.

"Banyak yang membantuku. Aku akan berlatih dengan giat, aku juga tak pernah absen dalam pelajaran, jangan khawatir, dan jangan terlalu memikirkan itu. Aku ingin kau cepat sehat lagi."

"Hm, kenapa? Kau merindukanku?"

Yechan mengangguk. Tak ada penyangkalan sama sekali, membuat kedua pipi Jaehan bersemu menjadi merah jambu.

"Aku sudah tidak apa-apa. Jika kau memang menginginkanku, aku tak keberatan dengan itu. Kau tinggal meminta dan aku akan memberikan segalanya."

"Diamlah dan istirahat saja. Setelah makan kau harus minum obat, setelah itu tidur."

Jaehan merengut, "Kenapa kau memperlakukanku seperti anak kecil, Yechanie?"

"Tidak." Yechan menunduk, mencuri satu ciuman yang cukup dalam sebelum melepaskan. "Aku hanya tak sabar ingin berlatih bersamamu lagi. Melakukan segalanya sendiri terasa cukup sepi."

Padahal Yechan senang menyendiri, tapi biasa bersama Jaehan, kini ia merasa sangat kesepian. Teman-teman baru jelas tak mampu menggantikan eksistensi sang pangeran.

"Baiklah, aku akan segera pulih. Aku janji."

Yechan mengangguk, lalu terdengar suara ketukan dari arah pintu.

"Duduklah, makan malammu sudah tiba. Mau ku suapi?"

"Uhm!" Jaehan mengangguk dengan semangat kali ini.

Hal yang jarang terjadi, Yechan tersenyum melihat tingkah pangeran yang begitu ia sukai.










☆࿐ཽ༵༆༒ 𝑩𝒍𝒐𝒐𝒅𝒍𝒊𝒏𝒆 ༒༆࿐ཽ༵☆





BloodLine ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang