Negosiasi

23 4 0
                                    

Lutfi dan Bella masuk ke ruang kepala sekolah. Lutfi menatap Bella begitu juga sebaliknya. Nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba mereka dipanggil Pak Aji. Mereka menerka pasti berkaitan OSIS.

“Nggak mau!” jawab Bella dan Lutfi kompak. Badan Pak Aji seketika setengah berdiri. Dia kaget dengan jawaban keras mereka.

“Bisa biasa saja kan menatap saya? Emangnya saya maling!” Walaupun Pak Aji terkenal tegas, tetapi beliau juga humoris kepada orang-orang yang sudah beliau percaya.

“Begini, loh, nak…”

“Nggak mau!” Bella dan Lutfi kekeh menolak tawaran Pak Aji.

“Izin, Pak!” Bella mengangkat tangannya. Pak Aji mempersilakan,
“Alasan saya tidak mau menjadi calon wakil ketua OSIS adalah yang pertama karena Asta. Saya tidak cocok sama dia. Terlalu ambisius dan narsis. Kedua, saya tidak minat sama sekali jadi bagian OSIS. Ketiga …”

“Bukan karena Defga kan yang jadi alasan kamu tidak mau?” potong Pak Aji. Bella diam. Ruangan hening beberapa detik. Bella menggelengkan kepalanya.

“Saya nggak peduli siapa yang mencalonkan diri, Pak,” jawab Bella dengan nada sedikit rendah. Seperti ada hal yang dia tutupi.

“Yang ketiga apa, Bee?” tanya Lutfi.

“Jawaban yang gua utarakan ke Pak Aji barusan,” Lutfi mengangguk dan membulatkan mulutnya.

“Kalau Lutfi?” Pak Aji mengarahkan pertanyaannya ke Lutfi.

“Kurang lebih sama dengan Bella, Pak. Tetapi ada satu jawaban yang berbeda. Saya tidak mau melawan Defga. Dia sahabat saya. Walaupun sekarang sudah putus komunikasi. Defga tetap sahabat saya.”

Pak Aji menghembuskan napasnya ke langit-langit. Ternyata ekspetasinya jomplang. Dia kira Bella dan Lutfi bisa diandalkan. Pak Aji kembali menatap mereka, “Kalian nggak mau membantu saya?”

Bella dan Lutfi menatap tajam Pak Aji. Mereka mencoba menerawang rencana yang ada dibenak Pak Aji.

“Rencana Pak Aji sebenarnya apa? Apa yang Pak Aji mau dari kami? Keuntungan?” Bella sedikit memajukan badannya. Dia memberanikan diri berkata seperti itu ke Pak Aji yang notabene kepala sekolah yang sangat dihormati di Eliam. Baginya, pertemuan kali ini ganjal.

“Saya cuma mau sekolah ini selamat dari huru hara “L” Letter. Kalian pasti sudah tahu kan? Orang itu bahaya. Jika didiamkan, dia akan memorak-porandakan sekolah ini. Kalian juga yang kena imbasnya secara tidak langsung. Saya tidak mau itu terjadi.”

“Lalu?” timpal Lutfi.

“Jika kalian tidak mau menjadi bagian calon wakil ketua OSIS. Setidaknya, bantu saya mengatasi aksi “L” dengan menjadi bagian dari OSIS. Jika apa yang ditulis “L” Letter itu berhasil, semua peraturan sekolah ini akan berbalik 180° dan itu pasti akan merugikan kalian semua.”

“Kenapa Bapak yakin bisa seperti itu?” selidik Bella.

Feeling saya. Feeling.”

Lutfi memutarkan badannya ke arah Bella. Mata mereka saling beradu. Berbicara melalui mata. Bella kembali menatap Pak Aji.

“Baik, Pak. Saya mau bantu Bapak. Sebenarnya, saya tidak rela jika OSIS diambil alih society. Ketakutan yang Bapak rasakan, bisa saya pahami, Pak. Saya rasa Lutfi juga setuju.” Pak Aji menatap lekat mata Lutfi. Lutfi tersenyum dan mengangguk setuju dengan apa yang Bella katakan.

Akhirnya Pak Aji tersenyum. Beliau tampak lega karena orang-orang yang dia percaya mau membantunya.

“Anak-anak, menurut kalian, siapa “L” itu?” Bella ingin menjawab tapi dihalau Pak Aji.

"L" LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang