Tempo Lusa

20 2 0
                                    

Amarah Defga saat di kantin hari ini, mengingatkan kejadian tempo lusa, sehari sebelum Sawala. Di dekat perpustakaan.

“Persetan sama sekolah! Saya... mau… Ibuk!”

Bella dan Asta yang akan ke ruang OSIS mendengar suara orang berkelahi. Mereka mempercepat langkah ingin menyambangi suara itu untuk melerai. Suara yang tidak asing. Ternyata, tidak ada yang berkelahi. Mereka melihat punggung anak cowok yang gusar sedang menerima telepon. Badannya maju mundur. Tangannya memijat tungkak kepala. Ya, cowok itu sedang ada masalah.

“Saya mau ke sana sekarang!”

Dia membalikkan badannya. Asta dan Bella hanya mematung ketika yang mereka hadapi adalah Defga. Defga menatap mereka bergantian.

“Aku udah ambil ini,” Nona menunjukkan buku, “Ayo kita ke…”

“Saya harus pergi.”

“Ke mana?” tanya Nona. Defga diam tidak mau menatap lawan bicaranya. Lebih tepatnya tidak mau ada yang tahu dengan kondisi Def. Ada yang tidak beres dengan Def.

Nona mengerutkan dahinya, “Aku ikut!”

“Nona,” Defga memegang pundak Nona, “Saya minta tolong kerjakan tugas hari ini. Kamu kerjakan sebisa kamu, sisanya saya tapi tidak sekarang. Nanti saya cerita. Janji.”

Defga mengangkat jari kelingkingnya. Jari kelingking itu disambut jari kelingking Nona. Defga berbicara lembut. Matanya teduh. Nona tersenyum. Dia percaya pada Def. Adegan romantis ini ternyata disaksikan dua orang yang dari tadi mematung. Tanpa menghiraukan Asta dan Bella, Nona berjalan ke perpustakaan, sedangkan Defga berlari ke arah gerbang sekolah.

“Kak Defga mau ke mana?” cegat Lisa. Defga menyingkir dan melanjutkan langkah cepatnya.

“Tuh orang pasti mau bolos!” gerutu Lisa.

“Eh ada Kak Asta dan Kak Bella,” kaget Lisa. Dia baru sadar ternyata ada Asta dan Bella.

“Kalian tahu nggak Kak Defga mau kemana?” tanya Lisa.

Asta dan Bella diam saja. Lisa yang merasa tidak menemukan jawaban, lalu pergi meninggalkan mereka. Asta menarik lengan Bella ke ruang OSIS.

***

Sore menjelang malam, Dewa dan Punggawa, Steffy dan Rosemari, dan Nona menjenguk ibu Defga. Defga yang tadi pergi cukup lama sudah kembali dan bertemu mereka di aula rumah sakit. Defga menyambut mereka dan mempersilakan teman-temannya duduk di sofa tamu sesampainya di bangsal. Mereka menanyakan kondisi ibu Defga yang ternyata kelelahan. Ibu Defga pingsan saat mau masak. Untung saja ada Bi Ani disampingnya. Ayahnya ada di luar kota karena tugas mendadak dan penting sehingga belum bisa pulang. Sehingga, Defga yang menjaga ibu. Sebenarnya, cukup Bi Ani yang menjaga ibu, tetapi Defga bersekuku merawat ibu. Setelah didiagnosa, ada pendarahan di otak. Untung saja lekas dibawa dibawa ke rumah sakit. Takutnya jika tidak segera ditangani bisa struk mendadak.

“Permisi, tokk… tokk... tokk,” terdengar suara ketukan pintu. Defga membukakan pintu. Defga dan kawan-kawan terkejut.

“Hai semua. Hai tante.” Belum diperbolehkan masuk, Lisa nyelonong menyingkirkan badan Defga yang menutupi langkahnya.

“Ngapain lo di sini?” tanya Dewa.

Lisa tak acuh dengan pertanyaan Dewa. Lisa mendekati kasur ibu dan meletakkan buah di meja samping kasur. Lisa mencium tangan ibu. Dia mendekatkan mulutnya ke telinga ibu. Seperti membisikkan sesuatu. Ibu mengangguk dan tersenyum.

Lisa menggeserkan badannya menghadap ke arah Dewa, “Gua ke sini mau memastikan apakah anak yang bolos tadi pagi benar-benar ke rumah sakit,” Lisa melirik Defga.

“Atau…. Cuma alibi doang biar bisa menghindari acara debat besok.” Dewa dan lainnya celingak celinguk. Ada apa dengan Lisa dan Defga.

“Kenapa lo ke rumah buat ketemu papa, Kak?” Lisa menyelidik Defga, “Beneran mau mengundurkan diri dari cawaket?”

Semua mata seketika menatap Defga. Defga tidak bisa mengelak. Benar dia ke rumah Pak Aji untuk mengundurkan diri jadi cawaket OSIS. Dewa sebagai caketos tidak kaget. Karena, sebelum ke rumah Pak Aji, Defga sudah berdiskusi dengannya. Dewa menyerahkan semua keputusan pada Defga.

“Maaf inetrupsi,” celah Nona, “Lisa, pertama kamu adik tingkat seharusnya lebih sopan. Kedua, ini di rumah sakit. Ketiga, pembicaraan seperti ini sebaiknya di luar. Kasihan ibunya Defga.”

“Tante nggak apa-apa, Nak. Tante udah feeling pasti Defga tadi pergi lama karena mau ke rumah Aji. Apalagi tante tahu hari ini seharusnya mempersiapkan diri buat debat tapi malah bolos. Defga mengambil keputusan gegabah. Ternyata, saat tante menghubungi papa Lisa, benar. Defga ke sana minta mundur demi bisa jagain tante 24 jam. Karena bagi Def, sekolah hanya membuang-buang waktu. Lebih baik di sini jaga tante. Begitu kan, Nak?” ibu menatap Defga. Defga mengangguk.

Dia tidak melawan sama sekali. Itulah Defga. Orang yang patuh sama apa yang orang tuanya katakan. Dia juga tidak bisa berbohong. Good personality, Def.

“Kalian tenang, Defga akan tetap maju, kok.”
Dewa dan semua tersenyum lebar. Mereka lega Defga tidak mundur. Mereka menaruh harapan besar kepada Defga. Mereka sangat berharap kali ini society harus menang. Menang melawan keangkuhan para penguasa yang tidak adil.

“Tante, Caca mau pipis, ya.” Lisa hendak berjalan ke WC kamar tetapi dihalangi Bi Ani.

“Maaf, Non. WC-nya tadi ada gangguan. Sudah diperbaiki tapi kata pihak rumah sakit diminta menunggu karena ada alat yang harus dipasang lagi. Jadi saat ini tidak bisa digunakan. Di luar saja, ya, Non. Di ujung luar ruangan ini ada toilet.”

“Ya sudah, sekalian Caca izin pamit ya tante. Sudah mau malam juga.” Lisa mencium tangan ibu Defga lalu keluar.

Perginya Lisa disusul dengan yang lain karena mau pulang juga. Mereka menyalami ibu Defga secara bergantian lalu keluar. Ibu mengutus Defga mengantar mereka sampai parkiran. Ibu meminta Defga sekalian pergi membelikan sesuatu pesanan ibu.

Keyakinan ibu akan Defga yang tetap bertahan di OSIS salah. Nyatanya, Defga tidak datang saat Sawala. Dia lebih pilih memantau sahabat-sahabatnya dari jauh. Tidak ada yang berani melawan argumen Defga. Adit, sebagai pengganti paling terpercaya juga mau menggantikan Defga menjadi wakil Dewa. Karena diantara semua anak society, Adit yang paling cocok.

"L" LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang