Chapter 10

251 17 0
                                        

Setelah membawa Pak Sugeng ke rumah sakit, mereka pun pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul dua malam. Mereka menginap di rumah Gibran yang kebetulan tidak jauh dari lokasi. Di tengah perjalanan, mereka sedikit mengingat saat menuju ke rumah Sugeng si dukun.
"Coba lihat tadi, itu sangat membahayakan nyawa, kita bisa saja terbunuh, untungnya Maya mampu menghalau semua itu." Naura menghela nafas seakan ia telah lega terbebas dari situasi yang menegangkan.

"Ya, bahkan tadi rasanya seperti sedang di cabut oleh pencabut nyawa," ujar Irsyad.

"Kok ada ya, seorang suami yang begitu keji, sampai membuat istrinya bertahun-tahun menjalani sakit yang tidak pernah tau penyakit apa?" ucap Satria.

"May, tapi kamu sudah tidak apa-apa kah?" tanya Gibran. Namun, Maya hanya terdiam seperti ada sesuatu yang kurang enak di badannya. Dia seakan ingin memuntahkan suatu yang tidak bisa dia jelaskan. Sesampainya di rumah Gibran, Maya membersihkan tubuh teman-temannya yang masih lemah karena pengaruh Ilmu itu. Setelah semua di bersihkan Maya pergi untuk mengambil segelas air putih. Namun tubuhnya terlalu banyak menampung semua energi negatif, hingga ia lunglai dan terjatuh pingsan. Semua panik lalu mereka memutuskan membawa Maya ke rumah sakit.

Keesokan harinya Maya kembali lebih sehat dari sebelumnya. Namun masih harus mendapat perawatan. Di sebabkan ada luka di lehernya akibat cekikan yang dibuat oleh dukun gila. Tante dan Pamannya kembali datang setelah Teman-temannya berganti menjaga Maya. Mereka membawakan buah kesukaan Maya, Tante berkata, "May, apa tidak sudahi saja semua ini. Tante takut terjadi sesuatu yang lebih parah dari kemarin. Tante tidak akan memaafkan diri Tante sendiri bila!" Ucapan itu terhenti.

"Sudah Tante, selagi Maya masih di lindungi Eyang dan yang lainnya Maya yakin akan aman.  Selama Maya tidak melakukan hal yang salah, Maya pasti akan aman." ujar Mata. "Tante, Sini dulu!" Maya memanggil Tantenya untuk lebih mendekat.

"Ada apa?" Tante sedikit merasa heran.

"Tante, Tante enggak bawa seblak juga, Maya ingin seblak. Soalnya di sini dingin, Tan," ucap Maya.

"Ya, ampun Maya, Tante kira apa? Pesan online aja ya? Tante sudah di sini!" jawab Tante.

"Ada apa Ma?" tanya Paman yang baru saja datang.

"Ini, Maya minta seblak!" ucap Tante.

"Haha! Maya-maya!" Paman tertawa.

Semua kembali gembira dengan candaan sedikit yang di ucapkan Maya. Maya juga kembali tersenyum, ia berharap bisa seperti saat itu selamanya. Hanya mereka menjadi pengganti kasih sayang dari orang tuanya yang sudah tidak pernah ia dapatkan kembali.

Sore harinya Maya di perbolehkan untuk pulang. Ia kembali segar bagai tersiram air es. Namun ia harus istirahat di rumah. Menghadapi ulangan secara online di rumahnya. Walaupun dia tidak belajar Maya selalu mendapat nilai terbaik di sekolahnya. Terkadang teman-temannya iri, bila Maya mendapat nilai yang sangat bagus. Mereka pun beranggapan bahwa Maya memanfaatkan kemampuannya untuk membuat nilai pelajarannya selalu tertinggi. Ia hanya tersenyum bila pernyataan itu terdengar di telinganya.

Ulangan telah berlalu, pengumuman libur panjang juga Sudah terpampang nyata di mading. Hari itu yang telah ditunggu-tunggu oleh ke tujuh anak SMA ini. Gibran sudah menyewa kapal untuk kepergian dan kepulangan mereka. Persiapan sudah terlengkapi, kamera, lampu, makanan, tenda, dan barang-barang yang lainnya. Maya juga sudah mempersiapkan keperluannya. Hanya saja Maya terlupakan oleh kartu tarotnya. Sedikit bingung namun Maya berusaha untuk tetap tenang.

Mereka memulai berlayar, di laut yang biru dengan pemandangan indah. Maya duduk di depan kapal memandang ke laut lepas. Ia sempat berbicara dalam hatinya, "Indahnya kuasa Tuhan, ini tour terjauh yang pernah aku lakukan. Semoga aku masih bisa melihat keindahan ini."

"May, kenapa kamu melamun?" Irsyad mendatangi Maya yang sedang melihat suasana alam.

"Tidak, Aku hanya takut! Apa kita bisa pulang dengan selamat?" ke khawatirannya mulai timbul.

"Kamu bicara apa? Lebih baik berdoa, semoga kita tidak kenapa-kenapa, aku tahu kok apa isi dari kartumu!" ujar Irsyad.

"Siapa yang memberitahu?" tanya Maya.

"Dari Oca dan Naura, sebenarnya mereka juga takut pergi ke tempat ini, hanya saja mereka tidak ingin mengacaukan semuanya. Kamu tahu sendirikan kaya apa mereka kalau pemikiran yang tidak sejalan, pasti akan di paksa terus." Irsyad memberi penjelasan.

"Hmm, aku tahu kok, Memang sih! aku juga suka dengan begini, secara tidak langsung aku juga bisa belajar dari semua yang aku temukan. Hanya saja aku harus memikirkan keselamatan kalian juga. Aku tidak ingin terjadi hal yang tidak di inginkan, Hmm!" Maya menunduk dan berkaca-kaca.

"Sudah tidak perlu khawatir kan kamu bilang waktu itu, kalau kita tidak melakukan hal yang di pantang kan atau kalau kita kulo nuwun terlebih dahulu semua itu tidak akan terjadi kan?" Irsyad berusaha memberi semangat.

"Iya benar!" Maya menghela napas panjang.

"Hei ... kalian ngapain di situ?" tanya Luna.

"Pacaran." Irsyad balas teriak dari kejauhan. "Sibuk sekali dia, kadang aku ingin dia benar-benar tidak ada lagi." Irsyad mulai kesal dengan sikap Luna.

"Irsyad, jangan macam-macam dengan ucapanmu!" sahut Maya.

Mereka berbicara begitu serius dan itu di lihat oleh Satria dari kejauhan. Timbul rasa cemburu di benak Satria. Ungkapan perasaannya yang telah lama belum mendapatkan jawaban. Benda-benda pemberiannya di kembalikan dengan alasan bahwa ia tidak ingin merepotkan siapa pun. Satria berteman dengan Maya sejak di sekolah dasar. Gibran pun juga teman sekelasnya. Dari dulu Gibran dan Satria selalu bertengkar ketika berkaitan dengan Maya. Masalah yang mereka buat terkadang membuat Maya malas untuk memperhatikan.

Tiba-tiba suatu terjadi di kapal mereka. Mesin kapal mati begitu saja. Kapal yang berhenti mendadak membuat Maya terjatuh dari kapal. Maya yang tidak jago berenang tentu kesulitan bernapas di laut lepas.

Gibran langsung lompat untuk menolong Maya yang sudah kehabisan napas. Di bantu oleh Irsyad dan Satria, Maya di tarik ke atas kapal. Ia pingsan dan lumayan banyak meminum air laut. Luna merasa kesal melihat semua teman-temannya membantu Maya yang sedang pingsan.

Gibran memberi pertolongan pertama untuk Maya. Betapa terkejutnya mereka melihat Gibran melakukan hal itu. Satria yang kesal menarik badan Gibran dan memarahinya. Tak beberapa lama Maya sadar.

"May, kamu enggak apa-apakan!" ucap mereka.

"Mas, bisa bawa kapal tidak, kamu buat teman saya jatuh ke laut, kalau ada apa-apa gimana?" ucap Satria yang sangat kesal dengan pengemudi kapal.

"Maaf, mas ... Maaf!"

"Sudah-sudah aku enggak apa-apa." Maya menghentikan pertengkaran tersebut.

"Mas, memang tadi ada apa?" tanya Maya.

"Itu Mbak saya lihat orang langsung muncul di kaca kapal, saya kaget, Karena perempuan itu separuh badannya ular." Pengemudi kapal menjelaskan.

Maya hanya menunduk dan berkata dalam hatinya, "Kenapa? Apa sama dengan?" Pertanyaan mulai datang di pikirannya.

"Ya, sudah May! Kamu istirahat aja di dalam! Elu, sih Syad pakai acara bawa Maya ke sini segala!" kata Satria yang masih cemburu.

"Loh! Kok aku?" sahut Irsyad sambil menggaruk kepalanya karena bingung.

Maya pun istirahat di dalam kapal. Sambil memandang langit kapal, Maya menitihkan air matanya. Seakan ia rindu dengan kedua orang tuanya. Naura menghampiri dan bertanya,"Kenapa?"

"Boleh peluk enggak Nau!" Maya memeluk dan menangis di pelukan Naura.

Saat itu Maya menjadi wanita yang melow. Naura yang melihat dia menangis tak seperti biasanya pun bingung. Suara tangisan itu terdengar di telinga Irsyad yang tengah lewat di depan peristirahatan Maya. Irsyad yang suka heboh pun kaget dan langsung menghampiri.
"May, lu kenapa? Nau! Kamu apain?" tanya Irsyad.

"Aku enggak apa-apain gila!" sahut Naura.

"Lu pukul ya?" Irsyad mulai berbicara aneh.

"Gila, lu ya! Aku juga enggak tahu!" ujar Naura.

Tiba-tiba Maya terbalik kebelakang dan pingsan kembali.  Semua panik terutama Irsyad dan Naura. Mereka memanggil semuanya untuk membantu Maya yang tengah tak sadarkan diri.

MALAPETAKA ( Tamat )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang