Chapter 12

163 8 0
                                    

"Loh, itu temannya kenapa?" tanya Bapak.

"Teman saya sedang sakit, Pak!" balas Gibran.

"Oh, ya sudah kalian kerumah saya saja!" sahut si bapak menawarkan.

Mereka pun mengikuti Bapak itu menuju ke rumahnya. Maya yang dalam kondisi lemah pun pingsan kembali ketika sampai di rumah Bapak itu. Istrinya merawat Maya dengan baik. Memberinya ramuan rempah-rempah yang sangat menyegarkan. Malamnya Maya kembali segar, walau masih ada bekas merah di lehernya.

"Neng, sudah enakan?" tanya Istrinya.

"Sudah Bu, terima kasih! Maaf saya merepotkan." Maya menunduk minta maaf.

"Aduh, kok pakai minta maaf segala, panggil aja saya Bu Ning! Kamu biasa seperti ini?" tanya Bu Ning.

"Maksudnya Bu?" Maya merasa heran.

"Neng, kalau punya masalah itu jangan di simpan sendiri. Nanti akan membebani pikiran. Walaupun di sekitarmu tidak sepemikiran denganmu. Ya, tetap berusaha untuk itu ya!" ucap nya.

"Iyaa!" meneteskan air matanya.

Maya tidak tahu apa yang membuat Bu Ning mengetahui semua. Ia hanya bisa tersentuh dengan ucapan Bu Ning yang di anggap seperti Mamanya yang sudah tiada. Tiba-tiba perasaan Maya berubah, ia langsung berdiri dan menghampiri Luna yang sedang duduk dengan Gibran dan Satria. Seakan ia kerasukan oleh sesuatu yang jahat. Ia mengambil sebuah pisau di tangan kanannya. Mendekati Luna dan menarik tangan Luna. Pisau itu sudah ia angkat dan ingin menusuk. Namun di halang oleh Gibran hingga ia pun terluka. Lalu Maya berkata,"Jika kamu bisa menjaga sikapmu kepadaku, aku tidak akan melakukan ini. Apa perlu kau yang menyaksikanku terbunuh di hadapanmu?"

Maya mulai mengarahkan pisau itu ke tangannya. Ia menggores tangan tanpa rasa takut bahkan kesakitan, hingga cairan merah mulai menetes. Irsyad langsung sigap untuk mengambil pisau itu dan membuangnya ke lantai. Ia merobek sehelai kain dari bajunya untuk menutupi luka di tangan Maya. Bu Ning langsung membawa Maya masuk dan memberinya obat untuk menghentikan pendarahan.

"Ndok, wes ora usah di gubris yo! Pokokne  dirimu aku jamin ora onok seng ingin mengusik kehidupanmu!" Bu Ning berbicara demikian.

Irsyad yang heran dengan perkataan Bu Ning pun bertanya, "Bu, maaf saya mengerti apa arti yang ibu bicarakan, tapi saya tidak mengerti maksud Ibu apa?"

"Enggak apa-apa Nak Irsyad, ini hanya obrolan yang biasa!" jawabnya.

Maya menghela napas panjang lalu seakan ada sesuatu yang pergi dari tubuhnya. Irsyad jelas melihat sesuatu yang aneh dengan Maya. Namun Irsyad lebih memilih diam.

"Kamu baik-baik aja May?"  tanya Irsyad.

"Hmm, iya!" Maya memberi jawaban tidak pasti.

"Neng, Ibu mau pergi dulu, kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk bertanya!" kata Bu Ning.

"Iya... terima kasih."

Bu Ning pun pergi meninggalkan Irsyad dan Maya. Irsyad menanyakan sesuatu yang menjanggal di pikirannya, "May, kamu ada apa?"

"Aku heran dengan Luna... Segitu bencinya kepadaku hingga hampir membuatku celaka!" ujar Maya.

"Ya... Aku juga bingung, Apa masalahnya?" balas Irsyad.

"Apa karena dia suka sama Gibran?" tanya Maya.

"Nah, mungkin bisa jadi!" balas Irsyad.

Keesokan harinya mereka mulai untuk mengekspor lokasi. Persiapan sudah disediakan, suami Bu Ning mengantarkan kami untuk melihat-lihat tempat yang di sakralkan. Di perjalanan panjang mereka Maya mulai berkata, "Pak, nama bapak siapa? Maaf saya lupa menanyakannya  karena!"

"Burhan, saya Burhan Neng! Pak Burhan!" kata Pak Burhan memperkenalkan dirinya.

"Pak, kita mau ke mana sekarang?" tanya Gibran.

"Ini adalah hutan yang di kramatkan dari zaman dulu dan kebetulan nanti malam adalah malam suro, kalau kalian mau, kalian bisa ikut melihat pelaksanaannya." Pak Burhan mengajak.

"Wih, keren dong! Gua ikut guys! Ini acara langka yang harus di dokumentasikan!" ucap Satria sangat bersemangat.

"Benar banget, aku ikut?" sahut Luna.

"Aku sama Oca enggak ya guys! Mau bantuin Bu Ning!" ucap Naura.

"Ya, sudah kalau begitu kita berlima saja!" balas Gibran.

"Eh, eh aku sama Maya kan belum jawab apa-apa?" ujar Irsyad.

"Syad, sudahlah peran kita di sini enggak ada, pendapat kita pun enggak di perlukan!" kata Maya.

"Egois, sekali!" Irsyad sedikit kesal.

"Sudah-sudah jika tidak ingin ikut juga tidak kenapa-kenapa? Bapak hanya menawarkan saja," kata Pak Burhan.

"Eh, tunggu-tunggu! Itu apa?" kata Luna.

"Eh, jangan ke sana!" Pak Burhan melarang.

"Memang itu tempat apa Pak?" tanya Maya.

"Di sana sangat angker, tidak banyak orang yang bisa keluar dengan selamat setelah masuk ke tempat itu," ujar Pak Burhan.

"Tapi kenapa? Banyak manusia di sana, Pak?" Maya bertanya kembali.

"Manusia?" Pak Burhan merasa heran dengan ucapan Maya.

"Mana ada manusia, Maya! Di sana cuma ada pendopo tua!" ucap Satria.

"Tapi aku melihat manusia di sana!" ujar Maya.

"Mungkin yang Neng lihat itu adalah manusia yang pernah hilang di sini, yang melanggar aturan yang di sini!" ujar Pak Burhan.

"Melanggar? Memang zaman sekarang masih ada hal seperti itu?" tanya Luna.

"Ya, memang sebagian orang enggak percaya apa lagi Anak-anak muda seperti kalian, jarang ada yang percaya!" ujar Pak Burhan.

Maya mendekat ke arah gapura pendopo. Melambaikan tangan ke seseorang di sana, yang tidak mereka lihat. Ia melihat ke arah pendopo tersebut. Tiba-tiba sesuatu terjadi, berbunyi suara gamelan dan iringan musik. Maya lalu sedikit mendekat lagi dan mengulurkan tangannya. Maya berbicara dengan seseorang yang tak nampak, menggunakan bahasa Jawa.

Begitu selesai berbicara Maya menundukkan kepala lalu berdoa. Tiba-tiba suara musik menghilang, bau harum tercium dengan pekatnya. Semua terkejut dan sedikit takut. Pak Burhan telah yakin bahwa Maya di sambut oleh mereka. Sambil menggenggam sesuatu Maya berkata, "Pak antarkan saya ke laut!"

"Baik!"

Mereka pun ke laut dan Maya berjalan ke laut lepas tanpa menggunakan apa pun. Ia larutkan dalam ombak yang semakin kencang. Maya menyuruh semuanya untuk berdoa. Setelah itu ia berkata, "Pak Malam suro ini siapkan(Ia membisikkan sesuatu kepada Pak Burhan) jika itu bisa mereka lakukan!"

"Baik, Neng! Kami akan siapkan semuanya!"

Gibran, Irsyad, Satria bahkan Luna yang tidak mengerti hanya saling memandang penuh tanya. Luna yang iri dan cemburu dengan kehebatan Maya pun melirik sinis seakan ingin melukainya.  Ombak semakin kencang hingga membentur batu-batu besar di pinggir pantai. Namun ombak itu tidak lah sampai ke pijakan kaki Maya.

"Tidak biasanya ombak begitu besar?" kata Pak Burhan.

"Memang biasanya seperti apa pak?"tanya Satria.

"Biasanya diam senyap tanpa ombak?" kata Pak Burhan.

"Tapi pantainya indah, rasanya aku ingin berenang!" ujar Luna.

"Berenang? Kalian harus izin dulu, di sini tidak sembarang orang yang bisa berenang!" ujar Pak Burhan menjelaskan.

"Alah, pantai begini aja! Tempat lain juga ada tapi enggak perlu pakai izin-izin segala. Kalian itu terlalu kuno percaya akan hal seperti itu. Kalau apa-apa harus izin leluhurmu! Kenapa tidak sekalian aja ciptakan manusia yang berakal sehat!" ucap Luna.

"Luna, Kamu!" balas Maya yang marah.

"Apa, Kenapa, Memang benarkan! Tidak semua urusan alam itu harus izin sama leluhur! Hmm, kalau tahu begini gua malas ke sini! Tempat enggak berguna! Langkah pun kita di atur!" ujar Luna yang semakin menantang.

"Luna!" Maya sangat marah.

MALAPETAKA ( Tamat )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang