Chapter 33

135 9 0
                                    

"Justru aku memikirkan keselamatan kalian. Aku enggak mau mengambil resiko lebih dalam. Kalau kalian pergi malam-malam begini melewati hutan dan kampung kecil. Aku yakin itu cela buat dia, dia sengaja membuat aku terluka agar kalian bisa terpecah belah dan dia bisa melancarkan aksinya, yang jelas kita harus bertahan dan temukan Naura, Pak Burhan beserta istrinya. Setelah itu kita akan pikirkan kembali apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi Luna. Hm, aku ragu bisa menyelamatkan semuanya. Tapi, aku enggak bisa harus menyimpan keraguan itu di hati ini. Aku hanya berharap kalian selamat dari sini." ucap keluh kesah Maya.

"May, apa pun keputusan dan langkah yang kamu ambil, aku selalu mendukungmu! Aku tau mungkin kata-kata ini enggak bisa membantu lebih. Tapi aku juga akan berjanji sama denganmu aku akan berusaha menyelamatkan teman-temanku. Mungkin juga kamu benar dia bisa saja sewaktu-waktu datang bahkan memecah belah kita dalam perselisihan. Tapi aku yakin bahwa keimanan kita akan menang melawan dia yang hanya mengandalkan ilmu apa lah itu!" Irsyad berkata bijaksana.

"Iya, May! Aku juga, aku enggak bisa kehilangan teman untuk kedua kalinya lagi. Kehilangan Naura yang entah keberadaannya dimana? Itu sudah membuat ku merasa hancur. Aku merasa bersalah tidak bisa bertindak apa pun." kata Oca.

"Aku mungkin juga enggak pantas bicara. Tapi, di sini akulah penyebab dari segalanya. Jika, aku tidak mengikutinya mungkin juga tidak akan seperti ini. Aku sangat menyesal, aku minta maaf," kata Satria sambil menundukkan kepala dan meminta maaf.

Semua terdiam dan merenungi apa yang telah terjadi kepada mereka. Darah yang masih keluar dari bahunya, membuat Maya terlihat pucat. Tentu itu akan membuatnya tidak bertenaga bahkan bisa merenggut nyawanya.

Maya berinisiatif untuk ikat dengan kencang luka itu, setelah membalurkan dengan rempah-rempah yang pernah Bu Ning buatkan. Tiba-tiba saja Maya melihat sebuah penglihatan, dia melihat Naura berada di rumah tua. Maya langsung bergegas berdiri dan memberitahu teman-temannya keberadaan Naura. Seakan luka pun tidak dirasakannya lagi. Dia langsung menyiapkan tasnya dan beberapa perlengkapan yang dia butuhkan.

"Weh, weh tunggu ada apa sih? Naura memangnya di mana?" tanya Gibran.

"Aku lihat dia, aku temukan lokasi dia!" sahut Maya yang menggebu-gebu.

"Iya, iya sabar tenang! Jangan gegabah dulu. Apa benar itu dia? Ini bukan jebakan atau semacamnya kan?" tanya Irsyad.

"Aku yakin itu Naura." Keyakinan Maya semakin kuat.

"Serius itu Naura?" sahut Oca.

"Iya, Ca! Aku sangat yakin itu Naura. Lebih baik kita bergegas secepatnya ke sana sebelum hal yang tidak di inginkan terjadi." Maya Memerintahkan temannya untuk segera bersiap.

Mereka mulai melakukan perjalanan menemukan Naura. Di sisi lain Gibran khawatir jika Luna melakukan tindakan kembali. Tetapi perkataan itu di tepis oleh Satria.

"Enggak mungkin, pasti dia sedang melakukan pertapaan di goa dekat pantai." Satria memberi kesaksiannya.

"Memang untuk apa?" tanya Irsyad.

"Seharusnya malam ini adalah malam terakhir dia memenuhi persyaratan itu. Tapi aku gagal melakukannya. Seharusnya dia mempersembahkan kembali seseorang." Satria membuka semuanya.

"Iya, seharusnya korban selanjutnya adalah Oca," sahut Maya yang sudah mengetahui niat Satria waktu itu.

"Haa, iya! Dari mana kamu tau May? Haaa, apa benar yang di ucap Luna waktu itu, yang di maksudnya ada yang mengintip itu adalah kamu? Dan bahu mu itu karena Luna?" Satria terkejut dan tidak percaya.

"Ya, begitulah adanya," ujar Maya.

"Jadi kamu waktu itu ngajak aku mau ngambil barang itu adalah aku?" tanya Oca.

"Maafkan aku!" Dia memohon maaf.

"Kalau seandainya saat itu Maya tidak ada, apa yang akan terjadi sama aku?" tanyanya kembali.

"Dia akan melakukan apa yang berharga darimu!" jawab Maya.

"Maksudnya? Kamu akan ... Cih, bangkek! Lebih busuk dari bangkai lu, Sat!" jawab Gibran.

"Maaf, maafkan aku!" Satria tampak menyesali perbuatannya.

"Itu juga yang di lakukannya menyakiti Naura, aku enggak tau apa aku bisa percaya lagi sama kamu Sat! Tapi yang jelas aku cuma ingin kalian semua keluar dari zona enggak aman ini. Satria, tentu kamu tau lokasi Naura berada. Tapi kenapa kamu enggak beritahu ku. Jika kamu sudah tidak mengganggap aku temanmu. Paling tidak pakai hati kemanusiaan mu sekarang." Maya memberi ketegasan kepada Satria.

Mereka mulai berjalan di tengah malam dan melewati hutan yang gelap dan di pandu Satria. Tiba-tiba Oca berhenti berjalan dia menundukkan kepalanya dan tidak lama setelah itu dia tertawa melengking hingga membuat temannya menutup telinga. Sambutan untuk mereka di tengah hutan berlokasi angker bahkan titik awal terangker di desa itu. Semua panik ketika Oca kerasukan. Maya datang dan memegang tangan Oca. Makhluk itu seakan segan kepada Maya. Dia menundukkan kepala lalu pergi dari tubuh Oca.

"Ca, kamu baik-baik saja?" tanyanya.

Sambil memegang kepalanya dia menjawab, "Iya, tapi sedikit pusing!"

"Kuat jalan? Atau mau di gendong Gibran?"

"Sini aku gendong aja!" sahut Gibran dengan sukarela menggendong Oca.

Maya tersenyum atas tindakan Gibran yang semakin dewasa dalam menyikapi situasi. Mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah tua. Pendopo yang di buat acara malam suro itu terlihat ramai di mata Maya. Aktivitas mereka lakukan di sana dengan alunan gamelan dan tembang Jawa. Mereka terlihat menyapa Maya yang tengah melewati pendopo itu. Alunan Jawa semakin merdu dan menyejukkan hati. Apabila seseorang tidak mengetahui aktivitas mereka. Akan terhipnotis dengan sepoi-sepoi angin yang menandakan alunan musik.

"Gua kok tiba-tiba ngantuk? Berat banget mata gua?" kata Gibran

"Iya, Gib! Gua juga." Irsyad juga merasakan.

Oca dan Satria pun ikut merasakannya. Maya meminta untuk mereka menutup telinga dengan kain atau kapas. Ketika mereka lakukan seketika rasa ngantuk itu hilang. Barulah Maya menjelaskan apa yang terjadi. Penjelasan Maya membuat mereka merasa ketakutan.

Begitu mereka memasuki dimensi lainnya. Maya merasa ada  sesuatu yang menempel padanya. Maya bertanya kepada teman-temannya," kalian ada lihat apa di belakang ku?"

"Enggak ada May!" jawab Gibran.

"Aku lihat seorang putri berpakaian Jawa berwarna kuning!" ujar Satria.

"Kenapa kamu tanya ke kita May? Kan kamu bisa melihat?" tanya Irsyad.

"Entah kenapa? Mataku terasa aneh, aku juga tidak bisa melihat wajah kalian. Aku hanya bisa mendengar suara kalian dan langkah kalian." Mata Maya mulai kabur dan berbayang.

"Sekarang dia lagi membisikan sesuatu sama kamu," kata Satria.

"Iya aku dengar dia mengucapkan apa?"

Putri itu seperti membisikan sesuatu di telinga Maya. Tangannya di pegang dan di gerakan menunjuk ke arah Satria. Dia berkata, "Ndok, buat apa kamu membawa dia kemari?"

"Aku menjamin dirinya tidak akan melakukan larangan kembali." Maya bernegosiasi dengan Putri itu.

"Kembalikan semua barang yang dia simpan!"

"Aku yang akan bertanggung jawab dan kembalikan semuanya. Bisa kah kamu menuntun aku untuk menemukan temanku." Maya meminta pertolongan kepada putri itu.

MALAPETAKA ( Tamat )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang