Tukang Parkir Dadakan

1K 62 4
                                    

Awas typo nya

HAPPY READING




Vania masuk ke dalam rumah setelah diantar oleh Dirgantara pulang. Di dalam suasana terasa sepi. Bunda dan ayahnya masih berada di luar negeri dan belum pulang hingga sekarang. Tanpa banyak pikir Vania langsung menuju tangga melewati ruang tamu tanpa menoleh ke arah kakaknya yang sedang duduk di sofa.

"Masih gak mau ngomong sama kakak?" tanya Jeffry suaranya tenang namun penuh perhatian.

Vania berhenti di anak tangga kedua. Ia diam sejenak punggungnya menghadap Jeffry. Hatinya bergejolak, perasaannya campur aduk antara marah, kecewa, dan sayang. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab, "Aku gak tahu kak. Aku masih butuh waktu."

Jeffry mendesah pelan matanya menatap adiknya dengan penuh rasa bersalah. "Kakak cuma pengen kita bisa ngobrol lagi Vania. Kakak tahu kakak salah tapi gak bisakah kita pelan-pelan memperbaiki semuanya?"

Vania menggigit bibir bawahnya merasakan sedikit perih yang mengingatkannya pada percakapan dengan Dirgantara tadi. Ia sadar, lari dari masalah gak akan memperbaiki apapun tapi rasa kecewa itu masih terlalu kuat.

“Besok kak, mungkin besok aku siap buat ngomong,” jawabnya akhirnya tanpa menoleh.

Jeffry mengangguk meski tahu Vania tak melihatnya. “Oke, Kakak tunggu kapan pun kamu siap.”

Vania kembali melangkah menaiki tangga suara langkahnya yang pelan mengiringi suasana hening di rumah itu. Saat dia sampai di kamarnya Vania menutup pintu perlahan dan duduk di ranjang, hatinya masih berat. Tapi setidaknya ia tahu bahwa kakaknya masih peduli dan masih ada waktu untuk memperbaiki semuanya ketika ia sudah siap.

Tepat pukul 00.00 Jeffry baru saja selesai dengan pikirannya yang berkecamuk. Setelah berjam-jam merenung di ruang tamu akhirnya ia memutuskan untuk naik ke atas. Namun, bukannya pergi ke kamarnya sendiri langkah Jeffry justru membawanya ke arah kamar adik perempuannya, Vania.

Ia berhenti di depan pintu kamar Vania menatapnya sejenak sambil menghela napas. Ada banyak hal yang ingin ia sampaikan banyak penyesalan yang terus menghantuinya. Perlahan Jeffry mengangkat tangannya dan mengetuk pintu dengan lembut ragu-ragu namun penuh harap.

"Vania, kamu masih bangun?" tanyanya dengan suara pelan hampir berbisik.

Tidak ada jawaban dari dalam kamar, Jeffry memutuskan untuk masuk ke dalam. Cahaya remang-remang dari lampu tidur menerangi kamar Vania. Jeffry melihat adiknya berbaring di ranjang, matanya terpejam dengan rapat.

Jeffry berjalan mendekat dan duduk di pinggir kasur adiknya. Dengan penuh kasih ia membelai rambut Vania dengan lembut merasakan betapa rapuhnya perasaan adiknya.

"Maafin kakak untuk hari ini," ucap Jeffry dengan suara pelan hampir berbisik. "Maafin kakak udah mengecewakan kamu hari ini."

Vania sudah tertidur dengan lelap napasnya teratur dan wajahnya terlihat tenang. Meskipun begitu, Jeffry tetap duduk di sampingnya, menatap adiknya dengan penuh kasih sayang. Ia tahu Vania tak akan mendengar tapi ada sesuatu yang membuatnya ingin tetap berbicara.

"Maafin Kakak sayang," bisik Jeffry dengan suara bergetar. Ia menatap Vania yang tertidur lelap. "Kakak sudah membuat kesalahan yang begitu menjijikkan, yang gak seharusnya Kakak lakukan."

Jeffry merasa matanya mulai memanas tapi ia menahan diri untuk tidak menangis. Perasaan bersalah yang menghantuinya begitu kuat seakan setiap kata yang diucapkan semakin memberatkan beban di dadanya. "Kakak gak tahu gimana caranya minta maaf yang cukup buat semua ini. Kakak tahu kata-kata aja gak akan cukup buat ngilangin rasa sakit yang Kakak sebabkan."

My First Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang