Langit malam memancar sinar. Terlihat seorang gadis menatap ke angkasa yang dihiasi kemerlip bintang bertaburan. Tak terhitung berapa jumlahnya di kejauhan sana. Yang pasti ada satu bintang, yang begitu terang sinarnya.
"Cucu nenek lagi melamunin apa?"
Seorang wanita baya berusia sekitar tujuh puluhan mendekat ketika mengetahui sang cucu duduk di teras. Lalu mengelus lembut surai hitam sebahu gadis itu.
"Nggak ngelamunin apa-apa kok, Nek." Jawabnya dengan seulas senyum manis
"Kangen Ayah dan ibu ya?" Tebak sang nenek. Lalu duduk di samping cucu yang hanya ia miliki di dunia ini.
"Kira-kira sedang apa ya Nek, mereka?" Tanyanya kemudian merebahkan kepalanya ke bahu wanita lanjut itu dan kembali menatap langit.
"Yang jelas mereka sudah damai di alam sana, bersama kakekmu." Jawabnya pelan dengan mata berkaca-kaca. Mengingat almarhum suaminya yang juga menyusul anak dan menantunya menghadap sang pencipta. Meninggalkan dirinya dan sang cucu yang masih dalam keadaan berduka waktu itu.
"Nenek nangis?" Kepalanya ia angkat dari bahu rapuh yang sudah tidak seperti dulu lagi. Bahu yang menjadi sandarannya ketika ia merasa gundah. Bahu yang selalu memberinya kenyamanan setelah kepergian kedua orangtuanya sepuluh tahun silam.
"Tidak, nenek tidak nangis." Sanggahnya dengan buru-buru menghapus buliran cairan bening dari kedua mata tuanya.
"Nenek nggak bisa bohongi Adis." Kekehnya, pura-pura tertawa renyah. "Terus ini apa kalau bukan nangis?" Lanjutnya sambil menyentuh pipi yang masih basah akan air mata.
"Kamu ini." Nenek tidak bisa untuk tidak tertawa dan menepuk pelan bahu Adis.
"Ya sudah ayo masuk. Tidak baik angin malam buat kamu." Ajak nenek dan beranjak dari kursi yang di duduki karena semakin malam udara semakin dingin. Wanita baya itu tidak tahan dengan udara dingin.
"Nenek duluan aja. Adis mau di sini sebentar."
Ia masih ingin memandang bintang. Di tambah suasana malam yang sunyi membuatnya tidak ingin beranjak dari tempat duduknya. Suasana yang mencerminkan perasaannya saat ini. Perasaan yang selalu berkecamuk jika seseorang itu melesak ke hatinya.
"Ya sudah, tapi jangan lama-lama. Setelah itu masuk ke dalam."
Adis mengangguk. Setelah sang nenek pergi. Ia kembali termenung. Hatinya sesak akan satu nama yang selalu membuatnya tidak nyaman.
Arshan Mahendra.
Laki-laki yang selalu menatapnya tajam dan penuh kebencian jika melihat dirinya.Tak terasa setetes kristal bening jatuh di pelupuk matanya mengingat semua sikap laki-laki itu yang tidak ada kesan baiknya.
Dari pertemuan pertamanya dengan Arshan, Adis sudah dibuat jatuh cinta. Cinta pada pandangan pertama. Entah apa yang membuatnya bisa menyukai Arshan, yang jelas hatinya sudah terpenuhi oleh kakak sahabatnya itu.
Pertama kali bertandang ke rumah Sinta, sahabat karibnya. Ia tidak sengaja menabrak tubuh kokoh Arshan akibat tidak fokus dengan jalannya. Kakinya terus melangkah tapi matanya justru bergerak ke sana kemari mengagumi kemegahan rumah yang pertama kali ia masuki. Bukannya minta maaf atas kesalahannya, Adis justru dibuat terkesima dengan laki-laki tinggi nan tampan di hadapannya.
Dengan pandangan dingin, Arshan juga menatapnya namun itu hanya beberapa detik. Karena setelah itu Arshan berlalu begitu saja meninggalkan dirinya yang melongo di tempat. Jika tidak dikagetkan Sinta, mungkin ia akan menjadi patung dadakan di rumah megah itu.
Hah.. jika di ingat-ingat memang sungguh konyol pertemuan pertamanya dengan Arshan. Kesannya tidak ada manisnya. Bahkan sampai saat ini pun laki-laki itu tidak tertarik dengannya.
Sungguh miris sekali.
.
.
.
27 September 2023.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATASAN CINTA
RomanceKenapa kau takut untuk menatap mataku. Bukankah kau yang mengendalikan hati. Cinta memang hal buruk, kau mengakuinya. Aku menyadari rasa yang kutemukan pada cinta, sangat sulit untuk membuat hatiku mengerti. Dimana cinta akan terjadi, terjadi apabil...