"Kamu pulang sendiri. Adikmu nggak ikut pulang?" Tanya Bu Brata yang tengah menyiram beberapa bunga di depan teras.
"Nggak, katanya minta dijemput malam saja." Jawab Arshan lalu mendaratkan tubuhnya di kursi.
"Terus kamu dan Adis gimana? Kapan kamu bawa Adis ke rumah?"
Arshan menghela napas. "Do'akan saja Ma. Arshan masih belum bisa meluluhkan Adis. Masih sulit." Keluhnya.
Bu Brata tersenyum simpul. "Iya, do'a Mama selalu menyertaimu. Tapi kalau seandainya Adis tidak bisa kamu luluhkan. Apa yang akan kamu lakukan?"
"Berusaha Ma. Apapun akan Arshan lakukan demi calon mantu Mama itu."
"Apa perlu bantuan Mama?" Bu Brata membalik badan.
"Nggak perlu. Arshan masih bisa atasi sendiri."
"Tapi Mama masih nggak nyangka aja, kamu suka sama Adis. Padahal dulu-dulu kamu itu acuh, cuek setiap Adis ke sini." Bu Brata belum lupa dengan sikap putranya itu.
Arshan tersenyum tipis. "Iya, sekarang Arshan seperti kena karma. Dan Arshan bisa ngerasain gimana sakit hatinya Adis dulu." Sambil mengingat sikap acuhnya.
Selesai menyirami tanaman kini wanita paruh baya itu mengambil tempat duduk di depan sang anak.
"Mama yakin, dalam waktu dekat ini kamu pasti bisa mendapatkan hati Adis. Percaya sama Mama."
"Terima kasih Ma. Terima kasih juga sudah bersedia menerima Adis apa adanya." Arshan memegang lembut tangan Bu Brata di atas meja.
"Sama-sama, Nak. Kebahagian kamu, kebahagian Mama juga."
Malamnya, Arshan datang ke rumah Adis ketika sang pemilik rumah tengah makan malam. Sengaja ia datang cepat agar bisa ikutan makan malam bersama.
"Gimana Kak, enak kan rasanya?" Tanya Sinta.
"Iya, enak sekali." Jawab Arshan.
"Ini Adis lho yang masak." Sinta melirik Adis.
"Jadi, nanti kalo kalian udah nikah. Kakak nggak perlu lagi pergi ke cafe atau ke resto pas makan siang tiba. Tinggal minta Adis masak buat makan siang. Aku jamin deh, Kakak nggak bakal bosen." Lanjut Sinta dan tersenyum menyeringai.
"Jangan ngomong yang nggak-nggak ya, Sin." Adis memberi delikan tajam pada sahabatnya itu.
"Gue nggak bohong Dis, orangtua gue setuju banget lo sama Kak Arshan nikah."
Adis mencoba abai dengan kembali melanjutkan makannya. Sementara nenek hanya diam menyimak tanpa ikut campur.
"Yang dikatakan Sinta benar. Mama dan Papa memberi kita restu jika kamu tidak percaya." Sahut Arshan.
Tetap, Adis memilih bungkam tanpa menyahut apapun. Baginya, harapan untuk bersanding dengan Arshan sudah lenyap ketika Cindi memberinya tamparan. Walau bekas tamparan di pipi sudah hilang, tapi membekasnya dalam hati. Sulit sekali melupakannya dan selalu terngiang-ngiang di otak kecilnya.
🍁🍁🍁
Meski kerap mendapat penolakan ketika menjemput Adis pulang kerja, Arshan tidak menyerah. Berkali-kali ditolak tidak membuatnya mundur begitu saja. Ia akan standby di parkiran menunggu Adis keluar dari tempat kerjanya. Dan ini sudah hari ke enam Arshan menjemput Adis. Ia berharap kali ini Adis mau pulang dengannya.
Melihat Adis berjalan ke parkiran membuat Arshan segera keluar dari mobil. Adis berdiri mematung saat langkahnya dihadang sosok lelaki tinggi yang sangat-sangat ingin ia hindari.
"Sendiri aja, Aji mana?" Tanya Arshan sekedar basa-basi. Tapi memang ia tidak melihat keberadaan Aji yang biasanya keluar bareng Adis.
"Aji nggak masuk." Jawab Adis sambil berusaha untuk menyingkir. Tapi Arshan malah mengikuti geraknya. Ia geser ke kanan Arshan ikut ke kanan. Ia ke kiri Arshan juga ikut ke kiri. Hingga Adis merasa kesal dan menatap Arshan tajam.
"Minggir nggak!"
Arshan menggeleng. "Saya tidak akan minggir kecuali kamu ikut saya."
"Aku udah pesen ojek." Jawab Adis ketus.
"Kamu cancel saja. Kamu tidak kasihan sama saya. Saya sudah nunggu kamu lama di sini."
"Emang siapa suruh. Nggak ada yang nyuruh juga." Balas Adis sengit. Bisa-bisanya ia disalahkan.
"Memang tidak ada yang nyuruh. Tapi saya tidak tega membiarkan calon istri saya pulang malam-malam sendiri."
Adis mendengus mendengar sebuah gombalan keluar dari mulut Arshan.
"Aku bukan calon istri Kakak, ya. Jangan ngaku-ngaku." Protes Adis berbarengan dengan ojek yang Adis pesan tiba.
"Mbak Adis ya?" Tanyanya.
"Iya Bang." Angguk Adis.
Namun tanpa Adis duga, Arshan menyerobot, memberi uang pada Abang ojek tersebut. "Sebagai uang ganti, Pak. Karena pacar saya pulang sama saya." Ucap Arshan.
"Oh iya, nggak papa Mas." Tentu pria tersebut tidak ambil pusing karena Arshan memberi satu lembar uang bewarna merah.
Melihat ojek pesanannya pergi, Adis naik pitam.
"Kenapa Kak Arshan bertindak sesuka hati sih!" Geram Adis.
"Jika tidak begini, belum tentu kamu mau pulang sama saya. Ayo."
"Terserah deh. Pusing hadapi orang keras kepala." Tidak ada pilihan lagi, akhirnya Adis bersedia pulang bersama Arshan.
Sebelum masuk Arshan membuka pintu untuk Adis. "Jangan lupa sabuk pengamannya dipakai."
"Iya."
"Pintar." Arshan mengacak-ngacak rambut Adis lalu memutari badan mobil.
Adis menatap Arshan yang kelihatan senang sekali saat ia bersedia diantar pulang.
"Mau cari makan dulu?" Tanya Arshan di tengah perjalanan.
"Nggak laper." Jawab Adis sambil membuang muka.
"Yakin nggak laper. Biasanya sebelum pulang kamu mampir dulu beli makanan?" Arshan tahu kebiasaan Adis.
"Emang, tapi kali ini aku emang nggak laper." Adis terpaksa berbohong meski perutnya sangat lapar.
"Tapi saya lapar banget. Kita makan sebentar ya." Arshan membelokkan mobilnya ke tempat penjual sate tanpa persetujuan Adis.
Harum sate bakar membuat cacing di perut Adis meronta-ronta. Ia sampai meneguk ludah berkali-kali.
"Aku kan udah bilang aku nggak lapar." Ucap Adis saat Arshan memesan dua porsi sate ayam setelah menariknya keluar dari mobil.
"Sudah jangan gengsi, saya tahu kamu lapar. Buktinya kamu dari tadi ngusap perut terus." Arshan tersenyum menyeringai.
Adis membuang muka sambil menggerutu dalam hati. Sial, tahu saja lelaki ini kalau ia sedari tadi menahan rasa lapar.
Dua porsi sate ayam beserta minumnya sudah terhidang di atas meja.
"Di makan Dis jangan cuma di lihat. Nggak bakal kenyang kamu." Arshan menggeser piring berisi seporsi sate dan lontong yang sudah ia iris ke hadapan Adis.
"Buka mulutmu." Arshan bersiap menyuapi Adis ketika Adis tidak menyentuh makanannya.
"Aku bisa makan sendiri." Jawab Adis cepat sambil meraih sendok di hadapannya. Ya kali ia menerima suapan dari Arshan. Malu yang ada dilihatin beberapa orang di sekitarnya.
"Dis, Mama sangat ingin bertemu kamu. Kapan kamu siap saya bawa ke mereka?" Arshan bertanya dengan hati-hati.
Sendok yang tadinya akan Adis masukkan ke mulut mendadak menggantung di udara. Ia kesal dengan pernyataan Arshan barusan. Piringnya ia geser ke samping menyudahi makan.
"Kita ini nggak pacaran! Dan aku juga bukan calon istri Kakak! Jadi STOP bicara seperti itu lagi!" Adis memberi ketegasan di setiap ucapannya.
"Dan aku harap, ini adalah pertemuan terakhir kita!" Adis bangkit dari duduknya, meninggalkan Arshan yang diam terpekur.
.
.
.
19 November 2023
![](https://img.wattpad.com/cover/353069064-288-k774853.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BATASAN CINTA
RomanceKenapa kau takut untuk menatap mataku. Bukankah kau yang mengendalikan hati. Cinta memang hal buruk, kau mengakuinya. Aku menyadari rasa yang kutemukan pada cinta, sangat sulit untuk membuat hatiku mengerti. Dimana cinta akan terjadi, terjadi apabil...