Tamparan di pipi

6.9K 170 10
                                    

Kedatangan Pak Brata dan Bu Brata disambut hangat oleh keluarga Pak Wirya. Pasangan paruh baya itu hanya datang berdua tanpa Arshan atau pun Sinta.

"Maaf Bu Wirya, Pak Wirya, anak-anak kami tidak bisa datang. Mereka punya janji masing-masing malam ini." Bu Brata berkata dengan sungkan sebelum mendapat pertanyaan dari sang tuan rumah.

"Sayang sekali, padahal saya sangat berharap Arshan bisa datang ke kediaman saya ini." Sahut Pak Wirya lalu menatap ke arah Cindi.

Yang menahan kekecewaan karena kedatangan Arshan sangat-sangat Cindi nantikan. Bahkan putrinya itu mengundang Arshan secara langsung, tetapi laki-laki itu justru tidak menghargai niat baiknya.

Pak Brata dan Bu Brata memilih diam. Mau bagaimana lagi, mereka juga tidak bisa memberi keputusan sepihak. Keputusan pertama ada di tangan Arshan dan mereka tidak bisa menentangnya. Meski sebenarnya sedikit menyayangkan.

"Lebih baik kita mulai makan malam saja." Ajak Bu Wirya ketika menyadari kecanggungan yang terjadi.

"Baiklah, mari Pak Brata, Bu Brata." Pak Wirya menggiring tamunya ke meja makan.

Berbagai hidangan ala barat tersaji sempurna.

"Ini semua putri kami yang masak." Bu Wirya tampak membanggakan kepintaran Cindi dalam memasak menu Western.

"Semoga Tante dan Om suka." Sahut Cindi.

"Selain cantik, kamu juga pintar masak. Masakan kamu enak, Nak." Puji Bu Brata setelah mencicipi salah satu makanan. Lidahnya tidak bohong jika masakan Cindi memang sangat nikmat.

Cindi hanya menimpali dengan senyuman karena dalam hatinya menahan geram. Ia sangat yakin, pasti Arshan sekarang berada di resto. Menunggui Adis di sana. Ia tidak boleh diam saja, Adis harus diberi ketegasan.

Begitu makan malam selesai, Cindi berpamitan kepada kedua orangtuanya. Dengan alasan salah satu temannya meminta bantuannya. Pak Wirya dan Bu Wirya percaya saja, lagi pula putrinya itu akan jenuh jika ikut terlibat obrolan para orangtua. Kecuali jika ada Arshan, mungkin lain lagi ceritanya.

Tiba di resto, Cindi mengedarkan pandangannya. Arshan tidak ada di mana pun setelah ia teliti lagi. Dan ketika pandangannya melihat Adis yang tengah melayani salah satu pengunjung, membuatnya harus bisa menahan kekesalan.

Meja tengah menjadi pilihannya. Dengan begitu memudahkan dirinya untuk mengawasi Adis. Setiap gerak-gerik Adis menjadi sasaran matanya sembari menikmati minuman yang baru saja diantar.

Hingga tidak berapa lama, Arshan datang. Melihat itu, Cindi langsung melambaikan tangan dan memanggil nama Arshan sampai Adis yang tidak jauh dari Cindi menolehkan kepala.

Kesal karena Arshan tidak menanggapi. Cindi bangkit dari duduknya.

"Lepas, jangan lancang kamu." Desis Arshan pelan sembari melepas tangan Cindi yang tiba-tiba membelit lengannya.

Cindi berusaha abai bahkan gadis itu berbicara dengan manja dan penuh senyum. "Kamu terlambat sayang, ayo duduk. Aku udah nunggu kamu dari tadi lho."

"Siapa yang kamu sebut sayang. Jangan ngaku-ngaku kamu!" Arshan menghempas kasar tangan Cindi. Tidak peduli jika Cindi kesakitan.

Orang-orang di sekitar yang melihat dan mendengar saling berbisik. Cindi tidak tuli, ia mendengar sebuah gunjingan yang terarah padanya.

Bibirnya berkedut menahan rasa sakit yang menghujam dada. Hati yang terlanjur sakit membuat Cindi murka. Kemudian mendekati Adis, menarik paksa. Dibawanya Adis ke toilet dan detik itu juga..

PLAAKK!!!

Tamparan keras mendarat sempurna di pipi kanan Adis. Sakitnya luar biasa.

Beberapa teman Adis yang mengikuti Adis ke toilet karena khawatir langsung membekap mulut. Mereka bertiga tidak menyangka, Adis ditampar telak oleh salah satu pengunjung yang pernah memarahi Adis beberapa hari lalu.

Aji dan Arshan juga mengikuti, tapi Aji segera menghadang Arshan yang akan masuk ke toilet wanita begitu mendengar suara tamparan.

Adis tersenyum pedih sambil mengelus pipinya yang menjalar panas. Buliran kristal perlahan-lahan mengaliri kedua pipinya. Kali ini apa lagi kesalahannya? Hingga hal yang tidak pernah ia duga harus ia terima.

Pertama kalinya di tampar, dan disaksikan di depan teman-temannya.

"Asal kamu tahu ya, Dis. Tamparan itu belum seberapa dengan sakit hatiku!" Hardik Cindi yang juga menahan tangis sembari menunjuk diri Adis.

"Aku sudah mengingatkanmu untuk jauhi Kak Arshan. Tapi apa!" Teriak Cindi. "Kamu malah mengingkari ucapannmu, Dis!"

Tangis Cindi pecah juga. Air mata banjir di kedua pipinya. Rasa cemburu dalam dadanya akhirnya meledak dengan emosi yang tidak bisa Cindi tahan.

"Harusnya malam ini keluarga kami tengah bahagia. Tapi karena keegoisanmu!" Kilatan amarah bercampur rasa sakit membuat Cindi tidak bisa menguasai rasa geramnya.

"Semua buyar! Impian kedua orangtua kami gagal karna dirimu!" Suara keras Cindi menggema di dalam toilet yang untungnya sepi. Kecuali mereka.

Adis berusaha untuk tidak menangis sambil mencengkeram erat baju bawahnya. Yang ia lakukan hanya menunduk, menerima semua tuduhan Cindi.

Sementara Arshan mengepalkan kedua tangannya erat.

"Minggir, jangan halangi saya lagi." Mendorong pelan tubuh Aji. Ia tidak terima, Cindi melimpahkan kesalahan pada Adis.

"Mau jadi pahlawan kesiangan, heh?" Aji berkata dengan lirikan sinis. "Inilah akibatnya kalo lo nggak dengerin kemauan Adis. Temen gue ditampar, dan sekarang.. dia disalahkan karena kebodohan Lo!" Tekan Aji menunjuk dada kiri Arshan.

"Kamu perusak Dis, kamu perusak kebahagiaan dua keluarga. Kamu merusak hubungan yang sudah terjalin. Kamu merusak segalanya!"

Tidak tahan dengan semua tuduhan itu, tangis Adis akhirnya pecah. Perkataan Cindi seakan menikam dadanya hingga ia berjongkok, menutup kedua telinga. Bergumam jika ia bukan perusak hubungan orang.

Rita, Afa dan Lia menatap sedih ke arah Adis.

"Kamu perusak Dis, kamu perusak!" Teriak Cindi dengan berlinang air mata. "Kamu hancurkan impian orangtua kami!"

Tidak tega melihat Adis yang tersudut oleh perkataan Cindi. Lia dan Afa meminta Cindi untuk segera berhenti. Sementara Rita mencoba menenangkan Adis yang menangis tergugu.

Di luar toilet, Arshan menonjok dinding begitu mendengar perkataan kasar Cindi yang sangat tidak beralasan. Sedangkan Aji meraup wajahnya kasar. Ia ikut terluka jika berada diposisi Adis karena Cindi membawa nama dua keluarga.

🍁🍁🍁

Meski Aji sudah mengusirnya tapi Arshan tetap menunggu Adis di dalam mobil. Semua kejadian tadi diluar perkiraannya. Bodohnya, tubuhnya tiba-tiba tidak bisa digerakkan ketika Adis keluar dari toilet dengan wajah berlinang air mata saat dipapah oleh salah satu gadis.

"Maafkan saya Dis, maafkan saya." Berkali-kali kepala belakangnya ia benturkan ke ujung kursi kemudi. Menyesali karena tidak bisa menghalau kemarahan Cindi.

Adis menatap nanar mobil Arshan yang masih berada di parkiran. Laki-laki tampan itu belum pulang juga. Sementara resto sudah tutup.

"Sudah biarkan saja." Aji menarik tangan Adis agar segera naik ke motornya.

Arshan yang ketiduran karena lelah menunggu, membuka kedua matanya ketika mendengar suara sepeda motor mengusik dirinya. Arshan menarik nafas dalam, bisa-bisanya ia tertidur.

"Jam berapa sekarang." Gumamnya sambil melihat jam di tangan.

Jam setengah sebelas, Arshan memukul kemudi. Itu artinya Adis sudah pulang. Sial, dia kecolongan. Tapi samar-samar ia melihat Adis dibonceng Aji keluar dari area restoran. Segera Arshan menyalakan mesin dan mengejar motor Aji.

Aji melirik kaca spionnya merasa ada mobil yang membuntutinya. Ia kemudian tersenyum sinis.

"Pegangan Dis, gue mau ngebut!"

.

.

.

8 November 2023

BATASAN CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang