Kebohongan

6K 178 0
                                    

Adis yang bingung menurut saja saat Arshan menariknya keluar. Bahkan teriakan Sinta tidak begitu jelas di telinganya, karena dirinya sibuk menerka-nerka. Kenapa Arshan repot-repot mengantarnya pulang, padahal ia bisa pulang sendiri. Yang lebih mengagetkan lagi, laki-laki itu membukakan pintu untuknya. Di samping kemudi pula.

"Masuk." Ucap Arshan. Sinta di belakangnya nampak terengah-engah menyusul.

"Aku di belakang saja." Adis bersiap membuka pintu belakang namun dengan cekatan Arshan mendorongnya masuk di bagian depan.

"Jangan banyak protes." Sela Arshan sambil menutup pintu.

Sinta menatap bingung kakaknya. Semakin ke sini Arshan semakin perhatian pada Adis. Ada apa dengan kakaknya itu? Kenapa sekarang berubah. Atau jangan-jangan, Arshan sudah mulai membuka hati untuk Adis. Tapi itu tidak mungkin, Arshan sangat jelas membenci Adis.

"Kamu mau bareng Kakak atau berangkat sendiri?" Sinta masih berdiri di luar mobil mengharuskan Arshan bertanya sebelum ia benar-benar melajukan mobilnya.

"Ya bareng dong." Sinta langsung masuk mobil.

"Kenapa Kakak nolak permintaan Papa?" Tanya Sinta ketika mobil melaju.

"Tidak papa."

"Jangan gitu, Kak. Kasihan Cindi, nanti dia sedih lagi kalo Kakak nggak mau pergi dengannya."

Arshan menatap Sinta lewat kaca spion. Ringan sekali perkataan adiknya itu.

"Kamu tidak keberatan, Kakak dekat dengannya?" Tanya Arshan dingin.

"Untuk apa keberatan. Itu hak Kakak mau dekat sama siapa. Aku juga udah nggak mau ikut campur."

Adis diam mendengarkan dengan pandangan mengarah ke jalan. Terkadang mobil Arshan menyalip kendaraan lain.

"Nanti Kakak pikirkan." Sambil melirik Adis.

"Good." Sinta mengacungkan jari jempolnya dan tersenyum.

"Dis, nanti lo berangkat kerja jam berapa?" Sinta mengajak Adis mengobrol. Sejak tadi sahabatnya itu tidak berniat membuka mulut.

"Jam setengah sembilan." Adis membalikkan badannya saat menjawab.

"Kira-kira Aji udah sembuh belum, ya?"

"Udah. Tadi dia kirim pesan. Katanya hari ini dia udah masuk kerja lagi."

"Cepet banget sembuhnya tuh anak."

"Hus, kamu mau Aji sakit lama gitu?"

Sinta terkekeh. "Nggak gitu maksud gue. Biasanya orang kalo sakit kan paling lama itu dua atau tiga hari. Nah, ini Si Aji cuma sehari doang."

"Aji cuma kecapekan bukan sakit panas. Tinggal di pijat doang udah kembali bugar dia." Ucap Adis.

"Terus yang mijat Aji siapa?" Tanya Sinta penasaran.

"Ibunya punya tukang pijat langganan."

Sebelah alis Arshan terangkat. Gadis di sampingnya ini tahu banyak hal tentang Aji.

Sinta mengangguk-angguk. "Berarti entar malam lo udah pulang sama Aji lagi dong. Nggak butuh gue jemput."

"Iya, udah nggak."

"Mama sama Papa nanti malam pergi. Kak Arshan juga pergi. Bakal di rumah sendirian gue." Gumam Sinta sambil menyandarkan punggung.

"Ikut Kakak saja kamu." Sahut Arshan.

"Nggak deh, aku nggak mau jadi obat nyamuk. Nanti malah ganggu kalian."

Adis membuang muka ke arah jendela dengan tersenyum pelik. Itu semua bukan urusannya lagi. Sebisa mungkin ia harus bersikap biasa. Jangan lagi memikirkan yang bukan jangkauannya.

BATASAN CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang