Tidak terpengaruh

4.1K 152 0
                                    

"Duduk dulu deh Kak." Sinta menarik tangan Arshan agar ikutan duduk namun segera ditepis oleh laki-laki itu. Menurutnya tidak perlu berlama-lama di rumah gadis yang tidak dia sukai. Cukup mengajak adiknya pulang tanpa harus bicara apapun.

"Pulang!" Tegasnya tanpa ada bantahan.

Sinta mencebikkan bibir. Kakaknya itu tidak ada sopannya berada di rumah orang lain.

"Kamu juga, bukannya kamu sedang sakit. Kenapa malah duduk di teras?" Arshan menatap Adis datar.

Mata Adis berkedip berkali-kali. Arshan tadi bicara padanya, dan apa katanya tadi?

"Adis udah sembuh Kak." Sinta yang menjawab sambil menyenggol pelan kaki Adis yang berada di sampingnya. Mata kirinya juga mengerling.

Adis menunduk sambil menahan senyumnya agar tidak di sadari Arshan yang tampak peduli padanya.

"Mau sampai kapan kamu di sini?"

"Bentar lagi Kak, aku masih kangen sama Adis nih. Ya?" Sinta mengatupkan kedua tangannya agar Arshan bersedia menunggu.

"Tidak masalah, Kakak tinggal kamu!" Arshan membalik badan, meninggalkan adiknya yang tidak mau diajak pulang. Percuma juga membujuk, ujung-ujungnya Sinta tidak menuruti omongannya.

"Loh loh, kok gue malah di tinggal?"

Sinta tentu panik karena kedua orang tuanya pasti marah jika ia ketahuan pulang lebih dari jam sembilan, jam yang sudah ditentukan oleh Pak Brata. Kedua orangtuanya itu tidak mau anak gadisnya salah pergaulan diluaran sana, kecuali keluar bersama Arshan.

"Tuh kan, apa aku bilang? Udah cepat, susul Kak Arshan." Adis juga ikutan panik. Arshan memang tidak main-main. Jika seseorang tidak menuruti perkataannya, lelaki itu tidak akan peduli sekalipun itu adiknya sendiri.

"Iya-iya, gue pulang ya." Pamit Sinta dengan buru-buru. Tas di atas meja Sinta sambar dengan kasar. Berlari mengejar Arshan sebelum di tinggal pulang. Bisa-bisa kena hukuman dari Papanya jika sampai melanggar aturan yang sudah berlaku sejak dirinya duduk di bangku SMA.

"Kakak kira kamu nggak bakal pulang. Taunya takut juga." Suara Arshan dingin sambil membuka pintu mobil.

"Udah diem. Jangan banyak omong." Sinta memasang sabuk pengaman dengan kesal.

"Memangnya belum puas juga. Empat jam lebih kamu di rumah teman kamu itu." Arshan melajukan mobilnya.

"Belum lah." Jawab Sinta ketus.

"Cewek memang seperti itu, suka ngerumpi hal tidak jelas. Tidak berfaedah."

Saat mendekati adiknya, Arshan mendengar apa yang Sinta dan Adis bicarakan.

Sinta langsung menolehkan kepalanya. Matanya mendelik. Ia tidak terima.

"Memang apa urusan Kakak. Terserah aku lah, mau bahas apa aja sama Adis."

"Selalu gosip yang kalian suka." Arshan masih belum puas bikin Sinta kesal.

"Bukan gosip ya, tapi itu kenyataan!"

"O ya?" Arshan tersenyum miring.

"Nggak percaya, nih aku kasih buktinya!" Sinta menyodorkan ponselnya ke muka Arshan setelah membuka pesan yang Haikal kirim. Arshan hanya melihat sekilas karena setelah itu pandangannya mengarah kembali ke jalan raya.

Sinta menatap kakaknya sinis. Ide cemerlang muncul di otak pintarnya.

"Nggak nyangka, rupanya Kak Haikal kenal Adis juga."

Ada kepuasan tersendiri saat Sinta berkata seperti itu. Matanya mengawasi wajah Arshan ingin melihat seperti apa reaksinya, namun raut wajah kakaknya itu biasa saja. Tidak marah atau kesal ketika tahu Haikal tertarik kepada Adis.

Tidak mendapat respon apa-apa. Sinta kembali memanasi kakaknya.

"Kak Haikal yang ganteng, cocok lah sama Adis. Apalagi Kak Haikal minta ketemuan sama Adis jika Adis punya waktu luang. Kira-kira tempatnya di mana ya? Em.. apa mungkin di bioskop atau dinner di cafe, ya?" Sinta berpikir sambil mengetuk-ngetuk dagu.

Raut wajah Arshan tetap sama. Bahkan Arshan mengemudi dengan sangat santai.

"Bener-bener nih orang. Dasar manusia batu!" Sinta ngedumel dalam hati, kakaknya ini tidak terpengaruh juga. Sulit sekali membuat Arshan menyukai Adis. Tapi ia tidak boleh menyerah, ia harus membantu Adis.

.

.

.













BATASAN CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang