Pegang tangan

5.5K 180 0
                                    

"Papa kecewa sama kamu. Kamu main tinggalkan Cindi begitu saja semalam. Sangat tidak berperasaan!" Pak Brata menatap Arshan dengan datar.

Sinta bisa melihat gurat kemarahan di wajah Papanya. Ia kini berganti melirik Arshan. Kakaknya itu justru menikmati sarapan dengan tenang tanpa terusik dengan kalimat yang baru saja Pak Brata lontarkan.

"Kamu tahu, yang kamu lakukan semalam membuatnya sakit hati. Kamu juga membuat kami malu dihadapan Pak Wirya!" Tandas Pak Brata.

Memang Pak Wirya tidak mengatakan apa-apa terkait Arshan yang meninggalkan Cindi di pesta tersebut. Namun Pak Brata tetap tidak enak hati. Apalagi melihat raut sedih di wajah putri koleganya itu, membuatnya hanya bisa menahan amarah.

"Aku sudah menuruti keinginan kalian untuk datang ke pesta itu. Apa itu juga belum cukup?"

"Harusnya kamu juga ngajak Cindi pulang. Dia berangkat sama kamu, pulang juga harus sama kamu." Sahut Bu Brata kalem.

"Bukannnya orang tuanya sudah ada di sana? Kenapa harus repot-repot mengantarnya pulang. Dia juga tidak keberatan." Arshan tersenyum sinis.

"Kamu sudah dewasa, Arshan! Jangan memainkan perasaan wanita!" Suara tegas Pak Brata mengalun di ruang makan tersebut. Sinta sampai tidak berani membuka mulut, ia khawatir akan mendapat kemarahan juga dari Papanya.

Arshan tersenyum miring lalu meneguk air putih dalam gelas.

"Siapa wanita yang Papa maksud. Cindi? Aku dan dia tidak memiliki hubungan apapun. Jadi jangan menghakimiku seperti ini." Ucap Arshan tidak suka.

"Apa yang kurang dari Cindi sih, Nak. Kalian itu sangat serasi jika bersanding. Mama tidak suka dengan sikap kamu semalam. Kamu seperti tidak menghargai wanita saja."

"Harus berapa kali aku mengingatkan kalian. Aku tidak suka ada yang mencampuri urusan hati." Ucap Arshan dingin.

"Jika Mama dan Papa tidak ikut campur. Mau sampai kapan kamu sendiri terus. Cindi wanita yang sangat tepat untuk kamu. Percaya sama Mama, Arshan."

"Tanpa bantuan dari kalian, aku masih mampu cari sendiri. Jadi jangan ikut campur masalahku lagi. Aku sudah selesai." Pamitnya dan meninggalkan sarapan yang tinggal separuh.

"Pa.." Bu Brata memegang tangan Pak Brata. Meyadarkan suaminya yang masih menatap kepergian Arshan dengan guratan emosi.

"Apa kita sudahi saja rencana kita ini?"

"Kamu tahu yang dekat dengan Kakakmu saat ini, Sinta?" Tanya Pak Brata.

"Eh, Sinta nggak tahu, Pa." Sinta menjawab dengan gelagapan begitu mendapat pertanyaan.

"Kamu yakin?" Mata pria parlente itu menyorot tajam, mencari kebohongan di kedua mata putrinya.

"Nggak bohong, Pa." Sinta menggeleng cepat. "Tapi, kenapa Papa ngotot sekali ingin menjodohkan Kak Arshan dengan Cindi?" Tanya Sinta penasaran meski rada takut.

"Papa sama Pak Wirya sudah berteman dekat semenjak kita menjadi partner kerja. Dan ketika Pak Wirya mengatakan ingin menjalin hubungan yang lebih dari sekedar teman bisnis. Di situ Papa mulai paham. Jika Pak Wirya tertarik dengan kakakmu."

"Em.. rencana kalian ini tidak ada kaitannya dengan perusahaan kan. Seperti, pernikahan bisnis gitu." Ucap Sinta pelan. Akibat perkataan Aji, Sinta akhirnya memberanikan diri bertanya.

"Hus, kamu ini ngomong apa, Nak." Tegur Bu Brata.

Sinta menyengir. "Aku kan cuma nanya aja Ma. Papa dan Pak Wirya kan sama-sama punya perusahaan." Sinta melirik Pak Brata takut-takut.

Pak Brata meletakkan sendok di atas piring. Kemudian meneguk segelas air putih.

"Itu tidak ada kaitannya dengan perusahan. Rencana Papa dan Pak Wirya ini murni tanpa menyangkut pautkan bisnis yang sudah lama kita geluti." Jelasnya tegas.

BATASAN CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang