Bukan siapa-siapa

5.7K 240 1
                                    

Di pertengahan perjalanan, hujan turun dengan derasnya. Ojek yang Adis tumpangi terpaksa berhenti di emperan toko. Abang ojek tidak berani melawan arus hujan.

"Kita neduh dulu ya Mbak. Saya takut motor saya mogok nanti. Mbak juga tidak pakai jas hujan. Sekali lagi maaf ya Mbak."

Adis mengangguk saja sambil mendekap tubuhnya. Cukup sadar juga dengan keadaan motor si tukang ojek yang bisa dibilang keluaran lama.

Hujan turun dibarengi angin membuat Adis semakin menggigil kedinginan. Ia kemudian berjongkok menghalau dinginnya air hujan sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Tukang ojek berkali-kali meminta maaf kepada Adis.

"Iya, Bang. Nggak apa-apa."

Keadaan cukup sepi mengingat hari sudah malam. Bahkan kendaraan yang melintas hanya ada beberapa saja itu pun kebanyakan roda empat. Adis juga kepikiran nenek. Mungkin wanita tua itu sekarang mencemaskan dirinya karena belum kunjung pulang.

"Kapan redanya ini?" Keluh Adis dengan gelisah. Ponselnya kehabisan baterai. Ia tidak bisa menghubungi neneknya jika akan pulang terlambat.

"Sepertinya bakal lama Mbak. Awet gini hujannya." Sahut Abang ojek. Adis hanya bisa menghela napas kasar. Untung emperan toko lampunya terang. Tidak kebayang jika tidak ada pencahayaan di tempat teduhnya.

Setiap kali ada kendaraan yang lewat, Adis hanya bisa menghitungnya. Sudah dua puluh menit ia berteduh tapi hujannya belum reda juga.

Sementara itu, di dalam sebuah mobil. Arshan mengemudi dengan kecepatan sedang mengingat jarak pandang terbatas akibat terhalau air hujan. Ia geleng-geleng kepala melihat Sinta di sebelahnya sangat menikmati lagu dari radio yang di putar. Adiknya itu mengikuti lirik lagu dengan sedikit menggerakkan badannya.

"EH, KAK KAK, STOP STOP! BERHENTI!!" Teriak Sinta secara tiba-tiba membuat Arshan harus mengerem mendadak.

"Kamu ini apa-apaan!" Sentak Arshan kesal lalu menoleh ke belakang. Memastikan di belakangnya tidak ada kendaraan selain mobilnya.

Tanpa memperdulikan bentakan Arshan. Sinta keluar dari mobil dan menerobos air hujan untuk mendekati seorang gadis yang sedang berdiri kedinginan.

Arshan memicingkan kedua matanya ketika adiknya mendekati seseorang yang sedang berteduh.

"Gadis itu lagi." Decaknya. Kemudian meminggirkan mobilnya ke tepi jalan.

"Dis!" Panggil Sinta. Pakaiannya nampak basah akibat air hujan tapi tidak Sinta pedulikan.

"Sinta?"

Adis kebingungan melihat Sinta tiba-tiba menghampirinya.

"Lo kenapa ada di sini, Dis?"

"Ya neduh lah Sin." Jawab Adis tersenyum lucu.

"Iya gue tahu, tapi ini udah malam. Dan lo belum pulang juga. Nenek pasti khawatir sama lo." Sinta menunjukkan rasa kekhawatirannya.

"Mau gimana lagi, hujannya deras banget. Daripada resiko lebih baik nunggu hujannya reda, baru deh aku pulang." Jawab Adis dan melihat mobil Arshan, namun ia tidak bisa dengan jelas melihat laki-laki itu.

"Lo ikut gue pulang aja." Tanpa aba-aba Sinta menarik tangan Adis. Waktu sudah menunjukkan setengah sepuluh, Sinta tidak tega membiarkan Adis harus menunggu hujan berhenti. Entah kapan redanya.

"Sin, tapi aku udah pesen ojek." Adis berusaha melepaskan tangan Sinta sambil melirik Abang ojek yang berdiri agak jauh darinya. Memperhatikan ia dan Sinta dengan raut wajah bingung.

Sinta melepaskan tangan Adis. "Ya udah kalau gitu lo bayar. Setelah itu lo ikut gue pulang!" Perintah Sinta tanpa ada bantahan.

"Tapi Sin.." Adis ragu. Ia takut jika ia ikut, Arshan pasti memberi penolakan. Secara sikap laki-laki itu tidak ada ramahnya.

Tin.. tin..
Suara klakson yang Arshan bunyikan membuat Adis dan Sinta menoleh.

"Tuh kan, kakak gue udah manggil. Ayo buruan bayar." Desak Sinta dan mendorong pelan tubuh Adis agar segera memberi uang pada Abang ojek.

Tin.. tin..
Sekali lagi Arshan membunyikan klaksonnya mungkin laki-laki itu sudah kesal.

"Cepet Dis." Sinta melototkan kedua matanya. Mau tidak mau Adis  membayar ojek pesanannya. Setelah itu, Sinta menarik tangan Adis dan berlari menerobos air hujan untuk masuk ke dalam mobil Arshan.

"Lama sekali." Ucap Arshan dingin begitu Sinta sudah memasang sabuk pengaman. Adis di kursi belakang hanya menunduk karena Arshan menatapnya tajam lewat kaca spion.

"Maaf ya, Kak." Sinta nyengir.

Perlahan-lahan mobil Arshan membelah jalanan lengang.

"Untung aja gue lihat lo." Sinta memiringkan badannya ke belakang di mana Adis duduk.

Adis tersenyum canggung sambil melirik Arshan. "Coba aja kalau gue nggak lihat lo. Mungkin udah jamuran lo nunggu hujan reda." Ucap Sinta lagi.

"Kamu emang sahabat terbaik." Adis mengacungkan jari jempolnya. Beruntung sekali ia memiliki teman seperti Sinta, menerima ia apa adanya. Tanpa melihat status sosialnya.

"Biasanya lo pulang sama Aji. Ke mana tuh anak sampe nggak ngantar lo pulang?" Sinta juga kenal beberapa teman kerja Adis. Salah satunya Aji. Laki-laki berusia dua puluh lima tahun yang selalu mengantar Adis pulang.

"Aku tolak tawarannya." Jawab Adis. Meski Aji sendiri tidak keberatan tetapi Adis merasa sungkan. Apalagi Aji tidak pernah mau ia beri uang sebagai ganti uang bensin.

"Ngapain lo tolak tawarannya. Dis, lo tuh perempuan. Nggak aman kalo lo pulang naik ojek. Kayak lo baru kenal Aji sehari dua hari." Sinta mulai ngomel.

"Sungkan lah Sin. Tiap kali aku kasih uang sebagai ganti uang bensin tapi selalu di tolak. Kan nggak enak jadinya."

Sinta berdecak kesal. "Ya jelas lah di tolak. Aji kan ngantar lo pulang tanpa pamrih, ikhlas. Aman juga lo pulang sama Aji."

Selalu saja tidak enakkan sahabat satunya ini. Ya, Sinta mengerti jika Adis tidak ingin menyusahkan orang lain. Sebisa mungkin Adis akan berusaha sendiri, tapi jika Adis tidak mampu, baru akan meminta bantuan.

Sejak kepergian kedua orang tuanya ditambah hidup dalam ekonomi serba pas-pasan, Adis sudah mandiri. Apalagi mengingat neneknya yang harus banting tulang mencari nafkah membuat Adis tidak bisa berpangku tangan. Untuk itu sepulang sekolah Adis akan membantu nenek. Entah itu jualan gorengan atau bekerja di tempat laundry yang tidak jauh dari rumahnya. Semua itu Adis lakukan agar bisa membayar biaya sekolah.

"Pokoknya lo nggak boleh naik ojek lagi. Lo harus pulang bareng Aji. Titik!"

"Sin_"

"Nggak ada bantahan!" Sinta memotong perkataan Adis yang hendak protes.

"Atau gue suruh Kakak gue aja, biar jemput lo pulang, gimana?" Sambil melirik Arshan yang fokus mengemudi. Sepertinya bukan ide buruk.

"Jangan gila kamu." Arshan menyahut cepat dengan tatapan tajam. "Kakak bukan sopirnya. Biar dia pulang sendiri." Arshan tidak menyetujui ide bodoh Sinta.

"Tapi kasihan Adis Kak." Sinta membujuk Arshan dengan muka andalannya, memelas.

"Bukan urusan Kakak. Keluarga saja bukan, untuk apa membantunya segala." Jawab Arshan dingin.

Nyes..

Hati Adis rasanya perih. Benar yang dikatakan Arshan. Memang dia siapa?

"Kakak jangan ngomong gitu. Adis udah aku anggap kayak saudara sendiri!" Protes Sinta.

Adis hanya mampu meremat kedua tangannya dengan kepala menunduk mendengar dua bersaudara berdebat karena dirinya.

.

.

.










                                      

BATASAN CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang