Lihat lah aku

6.8K 241 0
                                    

Jarum jam terus berjalan sesuai arah angka, namun Adis belum bisa memejamkan kedua mata. Hujan di luar masih turun meski tidak sederas di awal-awal.

Ingatannya kini menerawang ke masa lalu, di mana dengan terang-terangan berkata menyukai Arshan. Saat itu ia sudah duduk di kelas tiga. Usia yang cukup tepat untuk mengungkapkan perasaannya kepada lelaki yang ia kagumi secara diam-diam itu.

Dan entah keberanian dari mana, ketika melihat Arshan berjalan ke halaman samping. Dengan cepat ia segera menyusul lalu mengulurkan surat cintanya yang bersampul biru muda.

"Kak Shan, aku MENYUKAIMU!" Ucapnya lantang.

Setelah itu ia tidak berani menatap wajah Arshan, yang entah bagaimana ekspresi laki-laki itu sekarang.

Antara gemetar dan takut, ia menanti jawaban dari laki-laki di hadapannya. Berharap apa yang ia rasakan mendapat balasan. Tapi setelah menunggu beberapa menit, laki-laki yang usianya lebih tua tujuh tahun darinya itu tidak mengatakan apapun, membuatnya harus mendongakkan kepala untuk melihat.

"Kak Shan.." Cicitnya pelan ketika Arshan memberi tatapan tajam, tidak bersuara sama sekali. Bisa disimpulkan jika lelaki itu sangat tidak menyukai apa yang barusan ia lakukan.

Pelan, ia menarik tangannya ke bawah, menggenggam erat-erat suratnya yang seharusnya Arshan terima.

"Minggir, jangan halangi langkahku." Arshan berkata dingin sambil mendorong bahunya.

Adis menatap nanar kepergian Arshan dan juga suratnya yang masih dalam genggaman. Sia-sia ia merangkai kata demi kata yang begitu sulit untuk ia tulis demi mendapat kata yang tepat. Namun apa yang di dapat sekarang, hanyalah penolakan.

Halaman samping rumah yang juga merangkap sebagai taman menjadi saksi kegagalan cintanya pada seorang Arshan.

"Apa karena aku miskin. Apa karena aku tidak menarik seperti gadis di luaran sana?" Gumamnya sambil menghapus buliran kristal bening yang tiba-tiba jatuh membasahi kedua pipinya.

Resiko memang menyukai seseorang yang berbeda derajatnya. Harusnya ia sadar bahwa Arshan tidak akan pernah menyukainya, tidak akan pernah melihatnya. Tapi rasa suka juga tidak bisa dihilangkan begitu saja. Ia sudah berusaha semampu mungkin untuk menghapus rasa tersebut, tapi sangat sulit untuk dilakukan. Enam tahun bukanlah waktu yang singkat, setiap hari ia selalu berharap agar perasaannya mendapat balasan.

"Kak Arshan, kapan aku bisa mendapatkan hatimu? Lihat lah aku sedikit saja." Lirihnya dengan tubuh terlentang menatap langit-langit kamar.

Bahkan ia sampai membayangkan Arshan akan menyapanya, menyebut namanya. Ah, sampai sekarang saja ia tidak pernah mendengar Arshan memanggil dirinya. Apakah sesulit itu mengeja namanya? Anak kecil saja lancar memanggil dirinya.

"Apa aku begitu buruk di matamu Kak." Tak terasa matanya mulai memberat, ia akhirnya terlelap.

🍁🍁🍁

Pagi yang basah, embun yang membasahi rumput. Dibalik selimut tebalnya, Adis tengah kedinginan. Suhu tubuhnya panas akibat kehujanan semalam. Gadis itu meringkuk sambil bergumam lirih. Memanggil-manggil sang nenek.

"Tumben belum bangun juga?" Nenek yang tengah menata sarapan di atas meja bergumam heran. Tidak biasanya cucunya itu masih belum keluar juga.

"Nenek..." Sekali lagi ia memanggil nenek walau pelan. Tubuhnya benar-benar tidak bertenaga, lemah yang Adis rasakan.

Tidak lama terdengar suara pintu terbuka, perlahan kelopak matanya terbuka.

"Nenek.." Mendengar rintihan Adis, wanita tua itu langsung mendekat.

"Ya Allah, badanmu panas sekali, Nak?" Nenek terlihat panik melihat wajah pucat cucunya.

"Badan Adis sakit semua, Nek?" Keluhnya pelan sambil mengeratkan selimut.

"Tunggu sebentar, nenek ambil obat dulu."

Adis mengangguk.

"Ayo bangun. Sebelum minum obat, kamu harus makan dulu."

"Nggak mau, mulut Adis pahit." Adis menggeleng saat sendok berisi nasi dan lauk hendak nenek suapkan ke mulutnya.

"Jangan gitu. Kamu mau sembuh atau tidak?" Bujuk nenek.

Melihat nasi aja, perut Adis berasa mual. "Minum teh hangat aja ya, Nek."

"Teh hangatnya nanti, sekarang makan dulu." Cucunya memang manja jika sakit, tidak heran harus ekstra sabar membujuknya.

"Ayo, buka mulutmu?" Pinta nenek dengan sabar.

Meski enggan, Adis membuka mulut. Mengunyah secara pelan nasi dan lauk yang masuk. Hambar yang ia rasakan di indera pencecapnya. Dan hanya empat suap yang masuk ke perutnya, setelah itu nenek memberi obat penurun demam.

"Sekarang tidur. Biar panasnya cepat turun. Nenek sedih lihat kamu sakit kayak gini."

Adis mengangguk, ia harus banyak istirahat agar segera sembuh. Ia juga tidak ingin membuat nenek khawatir meski hanya demam biasa.

Di saat Adis sudah tertidur pulas akibat obat yang ia minum, ponsel miliknya berdering.

Nenek yang saat itu berada di dapur mendengar deringan nyaring ponsel berkali-kali di kamar cucunya, bergegas masuk ke kamar. Dilihatnya benda pipih itu, dan nama Sinta memenuhi layar ponsel cucunya.

"Hallo." Sapa nenek begitu ponsel Adis melekat di kuping kanannya.

"Hallo, Adis mana Nek?" Tanya Sinta.

"Adis lagi sakit, Nak."

"Hah, sakit apa Nek?" Sinta tentu kaget mendengar sahabatnya sedang tidak sehat.

"Demam, badannya panas sekali tadi."

"Udah minum obat belum?"

Nenek tersenyum, Sinta begitu perhatian. "Sudah, sekarang lagi tidur cucu nenek ini."

"Oh syukurlah kalo udah." Sinta mendesah lega. "Cucu nenek itu emang bandel sekali. Tiap dikasih tahu selalu aja ngeyel. Udah dibilangin jangan naik ojek, masih aja ngebantah. Sekarang jadinya kek gini kan, sakit." Sinta ngomel-ngomel layaknya seorang ibu.

"Sekali-kali naik ojek juga nggak apa-apa, Nak. Sama dengan memberi rezeki pada orang lain." Jelas nenek.

"Ya, itu kalau siang hari Nek, nah ini malam hari lho. Perempuan lagi. Pokoknya nenek harus beritahu Adis biar nggak naik ojek lagi. Sudah ada Aji masih aja pesan ojek. Dikasih enak malah nggak mau. Heran aku sama cucu nenek satu itu."

Nenek tertawa pelan. "Iya, nanti nenek nasehati cucu nenek ini."

"Iya, harus itu Nek! Ya udah Sinta tutup dulu ya Nek, nanti Sinta jenguk Adis setelah pulang kerja."

Sinta meletakkan ponselnya di atas meja makan setelah memutus sambungan telponnya.

"Cerewet sekali kamu." Dingin suara Arshan. Kupingnya begitu panas mendengar adiknya mengomel di pagi hari.

"Gimana nggak cerewet. Sekarang aja Adis lagi sakit. Siapa yang ngerasain coba, Adis sendiri kan?"

"Itu salahnya sendiri tidak bisa menjaga imun tubuh." Jawaban Arshan tentu membuat Sinta mendengus kesal.

"Kak, bisa nggak sih, dikit aja peduli sama Adis."

"Nggak bisa."

"Ya Tuhan.. kenapa aku bisa punya Kakak nggak ada jiwa empatinya sama sekali?" Keluh Sinta dengan nada dibuat-buat.

Bu Brata selaku Mama Arshan dan Sinta hanya bisa geleng kepala.

"Sudah, sekarang waktunya sarapan." Lerainya ketika Pak Brata sudah datang bergabung.

.

.

.

BATASAN CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang