Menghargai keputusan

6.4K 212 0
                                    

Sehari ini, Adis mendiamkan Aji dan juga Sinta. Perkaranya memang sepele namun hatinya yang tidak tenang.

Setelah orang suruhan Arshan datang mengantar ponsel. Ia melihat baterai ponselnya penuh. Yang semula hanya empat puluh persen menjadi seratus persen.

Ia tidak tahu apakah Arshan membuka ponselnya atau tidak untuk mengecek folder pesan dan juga galeri foto. Karena di antara isi galeri tersebut kebanyakan foto laki-laki itu yang ia ambil secara diam-diam. Sampai saat ini belum juga ia hapus.

"Dis, meja nomor sepuluh tolong kamu layani." Ucap Rita.

Adis mengangguk lalu berjalan ke meja yang di maksud.

"Permisi, mau pesan apa Mbak?" Ia mengulas senyum ramah kepada perempuan yang tengah menunduk menatap ponsel.

Ketika perempuan itu mengangkat kepalanya, Adis sedikit terkejut. Pengunjung yang tengah ia layani ternyata Cindi.

"Tunggu sebentar ya Mbak, teman saya bentar lagi tiba. Nggak lama kok." Cindi meletakkan ponselnya. Rupanya gadis itu tidak sendiri.

Adis hanya mengangguk. Dan benar saja, beberapa detik kemudian seseorang yang Cindi maksud datang juga. Adis berusaha menahan diri untuk tetap bersikap profesional. Di saat hatinya tidak baik-baik saja.

"Kak Arshan mau pesan apa?" Cindi bertanya ketika Arshan menarik tempat duduk di depannya.

Arshan melirik Adis yang terlihat tidak menatapnya. Teman adiknya itu hanya menunggu jawabannya untuk segera mencatat.

"Nasi goreng." Jawab Arshan singkat.

Cindi mengangguk. "Minumnya?"

"Jus alpukat."

Cindi menutup buku menu lalu tersenyum kepada Adis, senyum yang begitu mempesona. "Kami pesan dua nasi goreng spesial dan dua jus alpukat ya, Mbak."

Tanpa memilih menu lain, Cindi justru menyamakan pesanannya. Di sini Adis bisa melihat binar kebahagiaan di mata Cindi ketika Arshan tiba. Apalagi dengan setelan kantor yang melekat apik di tubuh tegap Arshan, makin menambah nilai ketampanan pria itu.

Yang mengherankan adalah, jas yang biasanya Arshan lepas kini masih terpakai di tubuh tegapnya. Tumben?

Setelah Adis pergi, Cindi mengajak Arshan berbincang meski hanya jawaban singkat yang Arshan beri. Namun Cindi tidak pernah kehilangan kata-kata karena Bu Brata sudah memberi semua informasi tentang Arshan.

"Kak Arshan hari ini sibuk nggak?" Tanya Cindi lagi.

"Sangat sibuk." Arshan menjawab sambil menatap ponsel.

"Ah, sayang sekali. Padahal mau aku ajak ke suatu tempat. Karena tempatnya bagus banget."

Arshan tidak begitu peduli dengan celotehan gadis di depannya. Jika bukan paksaan Pak Brata, tidak akan ia menemani Cindi makan siang. Tapi Papanya itu seperti menulikan telinga jika ia tidak suka dengan yang namanya paksaan.

Adis datang mengantar pesanan mereka dan menatanya.

"Silahkan di nikmati."

"Tunggu." Arshan menghentikan langkah Adis.

"Ya, ada yang bisa saya bantu, Mas?"

"Saya tidak jadi pesan nasi goreng. Saya mau ganti dengan sop iga." Arshan segera menyingkirkan seporsi nasi goreng yang nampak menggiurkan itu.

Dari harumnya saja sudah menggugah selera. Arshan justru ingin menggantinya dengan menu lain. Tentu membuat Adis dan Cindi terheran sekaligus bingung.

"Ada apa, Kak. Nasi goreng di sini nggak enak ya?" Pelan Cindi bertanya karena baru kali ini ia berkunjung. Ia tidak tahu bagaimana cita rasanya. Karena yang merekomendasikan tempatnya adalah Bu Brata.

BATASAN CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang