(Bioskop) Debaran mengepung hati

5.2K 140 1
                                    

Merasa diacuhkan oleh kedua gadis di depannya, Arshan mencoba membuka suara.

"Dis, apa kamu sudah maafin saya?"

Adis diam sejenak sebelum menggeleng, kemudian kembali melanjutkan ngobrol serunya dengan Sinta.

Arshan tersenyum pasrah. "Baiklah, tidak masalah. Akan saya tunggu sampai kata maaf itu tiba."

Sinta menatap iba pada kakaknya, tapi mau bagaimana lagi. Jika hati sudah terlanjur sakit, sembuhnya tentu akan lama atau bahkan sangat sulit untuk menyembuhkan luka tersebut.

"Dis, tadi kan gue bantu nenek beresin kamar lo. Di atas meja ada bunga mawar, itu dari siapa?" Sinta tiba-tiba teringat dengan bunga mawar yang berada di kamar sahabatnya.

"Nggak tahu dari siapa. Nggak ada nama pengirimnya." Jawab Adis sambil mengangkat kedua bahu.

"Kalo nggak ada nama pengirimnya, ngapain lo simpen. Mending buang aja, nggak jelas gitu dari siapa."

"Sayang lah Sin, kalo dibuang, bunganya bagus gitu. Apalagi bunga mawar bunga kesukaanku."

Meski tidak tahu dari siapa, ia tetap menyimpannya dan nanti akan ia letakkan di dalam vas sebagai penghias ruangan.

"Bunga itu dari saya." Sahut Arshan.

"Hah, Kakak belikan Adis bunga?" Sinta nampak terkejut. Ternyata romantis juga kakaknya itu. Sementara Adis setengah tidak percaya.

Arshan mengangguk. "Iya, itu dari kakak. Saya senang kamu suka bunga itu. Lain kali saya belikan lagi." Arshan mengukir senyum indahnya kepada Adis.

"Makasih, tapi itu tidak perlu." Adis memaksakan senyum.

"Tidak apa-apa. Selain bunga mawar, kamu suka bunga apa?"

Sedikit demi sedikit Arshan akan membuat hati Adis luluh. Dan setelah itu, Adis akan ia bawa pada kedua orangtuanya. Mengenalkan sebagai calon istri.

Sinta menyenggol lengan Adis. "Jawab dong Dis. Jangan jutek gitu." Bisiknya karena kasihan juga melihat kakaknya terabaikan.

"Bunga lili putih." Jawab Adis pelan.

"Sering-sering aja Kakak belikan Adis bunga. Biar hati Adis makin berbunga-bunga. Eaa.." Canda Sinta dengan kekehan ringan.

"Nggak ya." Adis mencubit pelan lengan Sinta. Garing banget candaan sahabatnya itu.

"Mumpung kamu tidak ada kerjaan. Bagaimana kalau kita pergi ke bioskop." Ajak Arshan.

"Adis aja nih, aku enggak?" Tanya Sinta setengah kesal.

"Iya, kamu juga."

"Asyik, ayo Dis, berangkat. Gue ada rekomen film bagus." Ajak Sinta dengan semangat. Tangan Adis ia tarik agar segera berdiri.

"Film apa? Jangan film horor pokoknya." Sebenarnya Adis malas tapi demi menghargai Sinta, ia bersedia pergi.

"Nggak dong. Ayo."

"Bentar, pamit dulu sama nenek."

Ketiga orang itu masuk ke dalam, pamit pada nenek jika akan pergi keluar. Nenek mengizinkan tapi tetap memberi nasehat pada Arshan jangan sampai membuat Adis menangis lagi. Karena sudah cukup cucunya itu menanggung rasa sakit akibat disalahkan terus-menerus.

Adis dan Sinta berjalan beriringan menuju mobil. Ketika tangan Adis sudah bersiap membuka pintu mobil belakang, Sinta mendorongnya untuk duduk di depan.

"Kakak gue bukan sopir ya." Ucap Sinta pelan membuat Adis mengerucutkan bibir. Terkadang sebal juga dengan sikap Sinta yang sesuka hati.

Arshan menggeleng pelan saat Adis belum memasang sabuk pengaman.

BATASAN CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang