"Lo buruan balik, gue mau pulang." Sinta mendorong pelan tubuh tinggi Aji.
"Terus Adis gimana?" Aji berusaha menjaga keseimbangannya akibat dorongan Sinta.
"Tuh, udah di mobil Kakak gue." Sinta menunjuk dengan dagunya.
Aji menghela napas kesal. "Itu anak. Ya udah, gue pulang kalau gitu." Menepuk pelan kepala Sinta. Meski seringkali bertengkar karena hal sepele tetapi di antara mereka mudah kembali akur.
"Iya, hati-hati. Nggak usah ngebut bawa motornya. Ingat, keselamatan nomor satu." Pesan Sinta.
"Iya."
Sinta berjalan dengan menahan senyumnya melihat kedekatan Adis dan Arshan. Rencana dadakannya akhirnya berhasil meski sebelum berangkat ia mendapat tatapan tajam dari Pak Brata. Sudah bisa dipastikan jika ia akan mendapat banyak pertanyaan dari Mamanya besok.
Sinta membuka pintu bagian belakang dan duduk di sana. "Ayo, jalan Kak."
Arshan menyalakan mesinnya dan perlahan kendaraan roda empat itu melaju.
Adis memiringkan tubuhnya ke belakang. "Udah capek berantemnya?"
"Iya capek gue. Kak, minta minum dong." Sinta memajukan tubuhnya ke depan.
Adis mengulurkan botol yang ia pegang. Air di dalamnya tinggal separuh.
"Mau mampir beli makanan?" Tanya Arshan ketika di depan sana ia melihat sebuah angkringan.
"Boleh-boleh. Kita mampir dulu." Sinta menjawab cepat. Perutnya sekarang kembali lapar.
Setelah memarkirkan mobil, mereka bertiga masuk. Pecel lele manjadi pesanan mereka. Arshan memilih duduk di depan Adis bukan di depan Sinta padahal kursi kosong di sebelahnya ada.
"Tadi siapa ya pura-pura gue ajak pulang tapi bilangnya nggak mau?" Ucapan khas sindiran itu keluar dari mulut Sinta.
Adis mengangkat kepalanya sambil memberi tatapan tajam. "Makan nggak usah sambil ngomong, nggak baik." Adis tidak ingin Arshan sampai tahu jika tadi ia sempat menolak.
"Lo juga ikut-ikutan ngomong." Bantah Sinta.
"Aku kan mengingatkan." Koreksi Adis.
"Sama aja, intinya lo juga ngomong."
"Bisa diam, kalian!" Sahut Arshan tajam karena beberapa pengunjung lain menatap ke meja mereka.
Adis dan Sinta langsung terdiam dengan menunduk takut-takut. Mereka kembali melanjutkan makan tanpa bersuara sebelum Arshan kembali menegur.
Ponsel Arshan bergetar. Sebuah pesan masuk membuat Adis dan Sinta sama-sama melirik pada benda pipih itu. Arshan tidak perduli dengan pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Ia tetap melanjutkan makan dengan tenang. Sampai ponsel tersebut kembali bergetar.
"Kak, ponselmu tuh." Tunjuk Sinta.
"Biarkan saja." Jawab Arshan acuh.
"Siapa tahu penting."
Tetap, Arshan tidak menghiraukan.
"Aku buka ya?" Sinta meminta izin. Entah kenapa ia sangat penasaran. Dan beruntungnya ponsel kakaknya itu tidak terkunci sehingga memudahkan dirinya untuk membuka tanpa harus berpikir kata sandinya apa.
"Hm." Arshan mengangguk.
Segera Sinta buka. Adis ikut-ikutan melihat. Ia ingin tahu siapa saja nama orang yang pernah mengirim pesan pada Arshan. Namun yang ia lihat justru membuat hatinya sakit. Foto profil seorang gadis cantik terlihat, setelah Sinta membuka aplikasi pesan itu. Apalagi kata-kata yang gadis itu kirim.
'Hai, Kak Arshan. Save nomor aku, Cindi.'
'Pasti Kak Arshan bingung dapat darimana nomor ini. Mama kakak yang beri.'
'Apa boleh aku datang ke kantor besok. Sekalian aku bawakan makanan.'Adis berusaha terlihat baik-baik saja ketika Sinta menatapnya. Ia mencoba untuk menghabiskan makanannya namun perutnya sudah tidak berselera lagi. Dalam hati ia bertanya-tanya, siapa Cindi. Kelihatannya perempuan itu dekat sekali dengan Bu Brata.
"Ini, aku kembalikan." Sinta menyesal telah membuka ponsel kakaknya. Ia merasa bersalah kepada Adis. Sahabatnya itu sekarang terlihat tertunduk sedih. Pasti Adis kepikiran tentang pesan itu.
Arshan bisa melihat perubahan wajah gadis di depannya. Setelah mencuci bersih tangannya dan mengelapnya dengan tisu. Arshan meraih ponselnya lalu membuka pesan yang barusan masuk. Benda pipih itu kemudian ia tutup seketika.
"Kak, kita udah selesai." Ucap Sinta setelah makanan di piringnya habis.
"Ya." Arshan memanggil salah satu pegawai untuk membayar.
Adis beranjak dari duduknya tanpa menunggu kakak beradik itu. Sinta segera menyusul dan meninggalkan Arshan yang masih memberi uang kepada salah satu pemuda.
"Sin, kamu duduk di depan ya. Aku di belakang aja." Ucap Adis.
"Iya." Sinta mengiyakan saja tanpa berdebat. Ia tidak mau membuat perasaan sahabatnya semakin tidak karuan.
Sepanjang perjalanan hanya ada keheningan di dalam mobil. Sinta memandang sahabatnya melalui kaca spion. Adis menopang dagu dengan memandang keluar. Memandangi deretan pohon-pohon di tepi jalan.
Ketika turun dari mobil, Adis hanya mengucapkan terima kasih tanpa mengulas senyum. Langkah kakinya seakan berat begitu memijaki tanah rumahnya. Tasnya ia lempar begitu saja di atas meja. Terakhir tubuhnya sendiri yang direbahkan kasar ke atas kasur.
Masih lengkap dengan jaket biru mudanya, Adis menutupi wajahnya dengan bantal sambil memeluk guling erat-erat.
Ia menangis dalam diam. Akan semakin jauh ia bisa menggapai hati Arshan. Sudah pasti ia kalah jika Cindi yang menjadi saingannya karena Bu Brata menjadi lantaran diantara kedekatan mereka.
🍁🍁🍁
Bangun dengan wajah sembab akibat menangis semalam membuat Adis harus menyegarkan wajahnya. Pagi masih basah, seperti matanya yang basah akan air mata yang tiba-tiba mengalir begitu saja. Ponsel dalam tas ia raih, semalam ia melupakan jika daya baterai ponselnya melemah.
Beberapa barisan pesan masuk dari Sinta tidak ia hiraukan. Ia kecewa, Sinta tidak memberitahunya tentang Cindi yang dekat dengan Arshan. Namun jika dipikir-pikir ia siapa? Apa ia punya hak untuk marah. Sedangkan Arshan saja tidak pernah memandangnya.
Di lain tempat, Sinta masuk ke ruang gym ketika Arshan biasa melakukan rutinitas olahraga paginya.
"Kak, Adis aku telpon tapi nggak di angkat-angkat. Gimana nih, pesanku juga nggak dibalas?" Sinta merengek seperti anak kecil dengan ponsel yang masih melekat di telinga kanannya.
"Terus apa urusannya dengan Kakak?" Arshan yang berlari di atas treadmill bertanya dengan cuek.
"Ya ada lah. Gara-gara Cindi ngirim pesan ke Kakak, Adis jadinya cemburu."
Tangan Arshan bergerak mematikan alat olahraganya. Kemudian menyambar handuk lalu mengelap peluh di dahi. Kaos putih tipis yang ia pakai mencetak tubuh tegapnya yang basah oleh keringat. Sinta berdecak kesal melihat hal itu.
"Mana hape Kakak." Sinta menadahkan tangannya.
"Buat apa?"
"Mau telpon Adis pake ponsel Kakak. Mana?"
Arshan memilih pergi.
"Malah di tinggal." Sinta menghentak kaki lalu mengejar langkah Arshan yang justru turun ke bawah.
"Kak!!" Di anak tangga Sinta berteriak memanggil. Arshan pura-pura tidak mendengar dan masuk ke dapur.
"Kak!!"
"Ada apa pagi-pagi teriak?" Tanya Bu Brata.
"Nggak ada apa-apa kok, Ma." Jawab Sinta lalu memberi ciuman kepada Mamanya.
Sinta mendekati Arshan yang berdiri di depan kulkas.
"Aku udah tahu semuanya. Tentang Kakak dan Adis, jadi jangan mengelak lagi." Bisik Sinta, membuat Arshan segera menghentikan acara minumnya.
.
.
.

KAMU SEDANG MEMBACA
BATASAN CINTA
RomanceKenapa kau takut untuk menatap mataku. Bukankah kau yang mengendalikan hati. Cinta memang hal buruk, kau mengakuinya. Aku menyadari rasa yang kutemukan pada cinta, sangat sulit untuk membuat hatiku mengerti. Dimana cinta akan terjadi, terjadi apabil...