Kicauan beberapa burung di atas dahan menyambut datangnya pagi. Berlompatan riang di ranting-ranting pohon yang berjejer rapi. Namun riangnya burung tak seriang hati Adis. Semua perkataan Cindi semalam bagaikan kaset rusak menari-nari di pikirannya bahkan tidurnya juga tidak tenang.
"Adis, Nak, kamu sudah bangun belum?" Suara nenek terdengar di luar kamarnya.
Adis yang menyandar di kepala ranjang bangkit sambil malas-malasan. Nenek telah berdiri di depan pintu kamar dengan senyuman. Namun senyum wanita tua itu langsung surut begitu tahu wajah cucunya sembab dengan kedua mata membengkak.
"Apa ada masalah?" Tanya nenek khawatir.
Adis langsung menghambur ke pelukan nenek. Menangis sesenggukan.
"Menangislah jika itu membuatmu lega, keluarkan semua bebanmu, jangan dipendam sendiri." Ucap nenek lembut sembari membelai rambut Adis. Seakan mengerti, apa yang menimpa cucunya.
Isak tangis Adis semakin menjadi bahkan terdengar pilu di telinga nenek. Tak henti-hentinya tangan tua itu membelai kepala lalu berganti ke punggung. Entah apa lagi yang membuat cucunya kembali menangis. Tapi satu dugaannya, pasti persoalan cinta.
Dirasa puas mengeluarkan sesak di dada, tangis Adis mulai reda. Ia mengurai pelukannya sambil menyeka buliran-buliran air mata di kedua pipinya. Nenek hanya tersenyum tanpa bertanya apa yang sebenarnya terjadi.
"Sekarang sudah lega?" Tanya nenek kemudian.
Adis mengangguk pelan. "Tadi kenapa nenek manggil Adis?" Tanyanya dengan suara parau.
"Nenek sampai lupa. Itu, di meja teras ada bunga mawar."
"Bunga mawar?"
Nenek mengangguk.
"Tadi waktu nenek buka pintu. Bunga itu sudah ada di meja, sepertinya sudah dari semalam."
Kening Adis semakin mengerut dalam. Siapa yang telah meletakkan bunga di rumahnya. Setahunya, ketika dirinya pulang diantar Aji tidak ada bunga di meja teras.
"Adis lihat dulu ya, Nek." Bergegas ia ke depan melihat bunga yang di maksud.
Benar, sebuket bunga mawar berwarna-warni tergeletak di atas meja tanpa tanda pengenal. Tidak ada note di situ setelah ia periksa.
"Dari siapa ya?" Semakin penasaran dengan si pengirim bunga karna tidak meninggalkan tulisan apapun.
Sementara di tempat lain. Arshan memandang hampa ke arah luar balkon kamarnya. Tangannya memutar-mutar ponsel. Ingin sekali menghubungi Adis, untuk mendengar suaranya. Semalam ia tidak berhasil mengejar Adis, lantaran terhalang lampu merah. Ketika mobilnya sudah tiba di rumah Adis, Aji menyuruhnya pulang karena Adis sudah masuk rumah.
"Kak!"
Panggilan Sinta di luar kamarnya tidak Arshan dengar. Pikirannya berkelana tentang Adis.
"Kak Arshan!!"
Barulah ia tersadar ketika pintunya digedor keras. Arshan memijat pelipisnya sebentar sebelum beranjak dari duduknya. Pagi-pagi adiknya itu sudah buat gaduh saja.
"Waktunya sarapan." Sinta tersenyum lebar ketika Arshan membuka pintu.
"Duluan saja. Kakak belum lapar." Tolak Arshan dengan enggan.
"Tapi Mama sama Papa udah nunggu di bawah."
"Bilang saja, Kakak bisa makan nanti."
"Kakak ada masalah ya?" Sinta melihat guratan lelah di wajah Arshan. Tidak seperti biasanya wajah kakaknya itu lesu tidak bertenaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATASAN CINTA
RomanceKenapa kau takut untuk menatap mataku. Bukankah kau yang mengendalikan hati. Cinta memang hal buruk, kau mengakuinya. Aku menyadari rasa yang kutemukan pada cinta, sangat sulit untuk membuat hatiku mengerti. Dimana cinta akan terjadi, terjadi apabil...