Sinta mengulum senyum. "Tenang aja, aku dukung Kakak dan Adis pacaran. Daripada sama Cindi, lebih baik sama Adis aja." Sambil menepuk bahu Arshan.
"Sana, bantu Mama masak!" Arshan mendorong tubuh Sinta.
"Eh, aku belum selesai ngomong lho." Sinta menahan lengan Arshan ketika laki-laki itu hendak pergi. Menghindari apa yang akan Sinta ucapkan.
"Lepaskan tangan Kakak, Sinta!" Geram Arshan pelan.
"Nggak mau!" Geleng Sinta cepat. Ia tidak sabar ingin tahu jawaban yang akan keluar dari mulut kakaknya itu.
"Kita keluar saja, jangan di sini." Sinta menggeret tubuh tinggi itu ke teras depan. Ngobrol berdua tanpa adanya Bu Brata.
"Jadi?" Tanya Sinta setelah mereka sama-sama duduk.
"Tidak ada apa-apa." Jawab Arshan dingin.
Sinta berdecak pelan. Harus ekstra sabar menghadapi manusia kaku seperti kakaknya ini.
"Kalau sama Cindi?"
"Sama juga."
Sinta memejamkan kedua matanya erat dengan gigi-gigi saling mengerat, setelah itu membuang napas pelan.
"Oke. Jika di antara Adis dan Cindi, siapa yang paling cantik menurut Kakak. Harus dijawab, nggak boleh nggak!"
"Cindi."
Ya, Sinta akui, Cindi memang sangat cantik. Berarti Arshan memang seperti laki-laki diluaran sana. Cantik ya bilang cantik. "Ah, nasibmu Dis.. dua kali Kakakku nggak muji keparasan wajahmu." Batinnya miris.
"Terus, kalo Mama sama Papa nyuruh Kakak menikah dengan Cindi. Apa Kakak bakal terima?"
Arshan memutar lehernya dengan cepat. Pertanyaan Sinta semakin menjadi.
"Urusan hati, siapa pun tidak bisa ikut campur." Jawab Arshan dingin.
"Termasuk Mama dan Papa?"
Arshan mengangguk. "Ya."
Sinta merebahkan kepalanya ke bahu kokoh itu. "Tapi aku pengen Kakak yang jadi suami Adis. Biar suatu saat ada yang jaga Adis semisal nenek udah nggak di sisi Adis." Ucapnya pelan dengan memandangi hamparan bunga-bunga di depannya. Bunga kesukaan Bu Brata.
"Jodoh sudah ada yang ngatur. Kita semua hanya mengikuti alurnya saja." Arshan membelai lembut rambut Sinta.
"Apa sedikit aja nggak ada perasaan di hati Kakak buat Adis?" Sinta mendongakkan kepalanya.
"Tidak ada." Jawab Arshan, wajahnya datar.
Kepala Sinta kembali merebah.
"Kakak tahu? Minggu lalu Adis tanya, apa aja makanan kesukaan Kakak. Terus aku jawab, gulai ayam makanan favorit Kakak. Dari situlah aku mulai curiga jika Adis ada rasa sama Kakak. Awalnya dia mengelak tapi terus-terusan aku desak. Sampai akhirnya ngaku juga. Dan minta maaf karena udah lancang menyukai Kakak."
Sinta menjeda kalimatnya, ingin mendengar sesuatu keluar dari mulut Arshan, namun tidak ada sepatah kata pun. Arshan setia mendengar ceritanya.
"Aku tanya udah berapa lama. Katanya udah enam tahun. Selama itu dia memendamnya sendiri tanpa memberitahuku. Katanya takut aku nggak setuju karena dia hanya gadis biasa saja. Dan selama itu pula, Adis menahan sakit hati karena sikap dingin Kakak. Kakak membenci Adis karena dulu Adis pernah mengatakan perasaannya dengan memberi surat cinta. Tapi Kakak tolak mentah-mentah."
Sinta berusaha menghapus air matanya. Membayangkan jika ia berada di posisi Adis saat itu. Sahabatnya memang gadis tegar. Susah senang Adis lewati dengan sebuah senyuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATASAN CINTA
RomanceKenapa kau takut untuk menatap mataku. Bukankah kau yang mengendalikan hati. Cinta memang hal buruk, kau mengakuinya. Aku menyadari rasa yang kutemukan pada cinta, sangat sulit untuk membuat hatiku mengerti. Dimana cinta akan terjadi, terjadi apabil...