Sinta, Adis dan Aji kini berpesta ria. Mereka makan-makan di teras diselingi canda tawa. Aji lah yang mendominasi. Lelaki itu tidak ada hentinya membuat guyonan hingga mengundang gelak tawa dari kedua temannya.
"Aduh Ji, stop. Perut gue sakit nih denger cerita absurd lo." Sinta memegangi perutnya akibat terlalu banyak tertawa.
"Cerita gue belum selesai, Sin." Aji masih ingin melanjutkan ceritanya yang belum sepenuhnya tuntas.
"Udah Ji, lo bisa lanjut kapan-kapan lagi. Capek gue dari tadi ketawa mulu."
"Keburu lupa gue." Mumpung masih hangat-hangatnya, Aji tidak mau memutus jalan ceritanya.
"Sumpah Ji, kalo lo terusin lagi bisa ngompol gue."
Adis terkekeh. Heran juga dengan Aji. Dapat dari mana cerita itu. Mereka baru pulang kerja sambil membawa beberapa makanan. Eh, baru saat duduk, Aji sudah mengeluarkan bayolannya. Sinta bahkan sampai mengeluarkan air mata saking lucunya cerita Aji.
"Iya-iya nggak gue lanjut lagi." Jawab Aji lalu meraih air minum. Saking semangatnya bercerita tenggorokannya menjadi kering.
"Ini udah jam berapa, tumben kamu belum di jemput?" Tanya Adis kemudian.
Sinta melihat waktu di ponselnya. "Baru jam setengah sepuluh. Biasanya kedua orangtua gue kalo ada acara di luar pulangnya jam sepuluh. Jadi masih aman gue, lagian Kak Arshan juga belum jemput. Waaw..."
"Kenapa Sin?" Tanya Adis heran.
"Ini. Mama gue ngirim fotonya Kak Arshan sama Cindi." Sinta menunjukkan foto tersebut.
"Serasi ya mereka." Ucap Adis.
Lain di hati lain di mulut. Itulah yang Adis alami sekarang. Makin hari, perasaannya selalu gundah. Dalam lubuk hatinya, ia masih belum mampu melupakan Arshan sepenuhnya. Meski selalu ia tampik tapi ternyata cukup sulit.
"Bener, serasi banget." Sinta menyetujui apa yang Adis katakan.
Adis hanya bisa meremat kuat bajunya. Rasa sakitnya sampai ke ulu hati.
"Andai kakak lo nggak pacaran sama Cindi. Udah gue gaet tuh cewek, cantiknya kebangetan." Sahut Aji sambil mengingat wajah ayunya Cindi.
"Mimpi lo mau jadi pacarnya Cindi. Dia tuh anak orang kaya, bokapnya punya perusahaan gede. Nggak bakal dilirik lo sama dia. Apalagi tampang lo yang nggak ada apa-apanya. Selera orangtua Cindi tuh kayak kakak gue. Tampan terus mapan."
"Elah Sin.. perkataan lo tajem bener. Gue cuma becanda kali. Gue juga sadar diri, orang kaya kayak mereka nggak bakal ngelirik orang miskin kayak gue." Ucap Aji.
"Gue nggak maksud ngehina lo kok Ji, cuma ngingetin aja. Sorry deh kalo ucapan gue nyakitin hati lo."
Sinta jadi merasa bersalah kepada Aji karena ucapannya membawa status sosial. Dan tanpa Sinta sadari, secara tidak langsung ucapannya juga menyakiti hati Adis. Walau niat Sinta hanya untuk mengingatkan Aji.
"Iya santai aja. Gue juga nggak marah. Jadi udah berapa lama kakak lo dan Cindi pacaran?"
"Mereka nggak pacaran, tapi orangtua gue dan orangtua Cindi punya niat ngejodohin mereka." Jelas Sinta sambil mencomot martabak telur.
"Hm, pernikahan bisnis nih ceritanya." Aji manggut-manggut.
"Ya, bisa dibilang kek gitu." Sinta tidak menampik jika yang diucapkan Aji ada benarnya. Memang apalagi kalau bukan pernikahan bisnis. Secara mereka, antara Papa Cindi dan Papanya sama-sama punya perusahaan.
"Wah, jadi rencana lo buat ngedeketin Arshan dan Adis gagal dong." Aji masih ingat dengan keinginan Sinta.
Sinta mengangguk lemah sambil melirik Adis yang hanya diam. "Gagal total." Jawabnya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATASAN CINTA
RomanceKenapa kau takut untuk menatap mataku. Bukankah kau yang mengendalikan hati. Cinta memang hal buruk, kau mengakuinya. Aku menyadari rasa yang kutemukan pada cinta, sangat sulit untuk membuat hatiku mengerti. Dimana cinta akan terjadi, terjadi apabil...